Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Orang-orang yang Mencela Sahabat Nabi

Written By sumatrars on Jumat, 07 September 2012 | September 07, 2012

Kesudahan Orang-orang yang Mencela Sahabat Nabi

ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc
Para shahabat Nabi memiliki kedudukan demikian tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Namun sungguh mengherankan, ada orang-orang yang berani melecehkan mereka dan senantiasa berusaha mencari kelemahan mereka. Orang-orang yang berani merendahkan para shahabat Nabi adalah orang-orang yang tidak tahu diri, yang tidak tahu kapasitas dirinya. Di antara tanda-tanda keselamatan seseorang di dunia dan di akhirat, adalah kepekaannya untuk melihat dan mengintrospeksi diri sebelum melihat dan mengoreksi orang lain. Dia akan sangat mengerti tentang kapasitas dirinya sebelum mengerti kapasitas orang lain, sehingga ketika mendengar sabda Rasulullah :
“Janganlah mencela para shahabatku, janganlah mencela para shahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya (Allah), kalaulah salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar Gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai infaq salah seorang dari mereka (para shahabat) yang hanya sebesar cakupan dua telapak tangan atau setengahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 3673 dan Muslim no. 2540, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri)
Maka dia akan berupaya menahan hatinya dari berburuk sangka kepada para shahabat dan menahan lisannya dari mencela mereka. Karena dia sadar, bukan kapasitasnya untuk membicarakan, menilai dan mengkritik orang-orang yang telah mendapatkan rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya n itu. Namun di sisi lain, kita tak pernah lupa akan sejarah orang-orang yang tak tahu diri. Orang-orang cebol (kerdil) yang ingin menggapai bintang di angkasa sambil melolong dengan lolongan-lolongan keji, berkedok kebebasan dan sikap kritis.
Lolongan kaum orientalis kafir yang kemudian dikemas dengan kemasan sok ilmiah oleh antek-antek mereka dari anak-anak kaum muslimin untuk mengkritik para shahabat Rasulullah n. Dan ini bukanlah hal yang baru dalam peradaban umat manusia. Lolongan tersebut sesungguhnya merupakan kelanjutan dari lolongan kaum Syi’ah Rafidhah yang senantiasa berambisi menghancurkan citra Rasulullah dan ajaran agama Islam yang dibawanya.
Al-Imam Malik bin Anas berkata : “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi, namun tidak mampu. Maka mereka pun akhirnya mencela para shahabat beliau, agar kemudian dikatakan bahwa beliau adalah orang jahat. Karena, jika beliau itu orang baik niscaya para shahabatnya adalah orang-orang yang baik pula.” (Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t, hal. 580)
Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi t berkata: “Jika engkau melihat siapa saja yang mencela seorang shahabat Rasulullah maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Hal itu karena keyakinan kami bahwa Rasulullah adalah haq, Al Qur`an itu haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al Qur`an dan As Sunnah adalah para shahabat Rasulullah. Tujuan mereka dalam mencela para saksi kami (para shahabat) tidak lain adalah menghancurkan Al Qur`an dan As Sunnah. Mereka sesungguhnya lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah orang-orang zindiq1.” (Al-Kifayah, hal.49)
Para pembaca,
Semua shahabat Rasulullah adalah orang-orang baik dan adil, yang telah mendapatkan rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya. Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Allah telah memuji para shahabat Rasulullah di dalam Al Qur`an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itupun telah terukir melalui lisan Rasulullah, suatu keutamaan yang belum pernah diraih oleh seorangpun setelah mereka. Semoga Allah menyayangi mereka dan menganugerahkan untuk mereka kedudukan tertinggi di kalangan shiddiqin, syuhada` dan shalihin. Merekalah yang menyampaikan ajaran Rasulullah kepada kita. Mereka menyaksikan turunnya wahyu kepada Rasulullah, sehingga mereka benar-benar mengetahui apa yang dimaukan Rasulullah berupa perkara-perkara yang sifatnya umum maupun khusus, keharusan dan bimbingan. Mereka mengerti Sunnah Rasulullah, baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui. Mereka di atas kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara’, ketajaman berfikir dan memahami suatu perkara (berdasarkan ilmu). Pendapat-pendapat mereka lebih baik dan lebih utama bagi diri kita daripada pendapat kita sendiri.” (Manaqib Al-Imam Asy-Syafi’i, karya Al-Baihaqi, 1/441)
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Para shahabat semuanya adil, baik yang terlibat dalam fitnah (pertempuran di antara mereka, pen.) atau yang tidak terlibat di dalamnya, menurut ijma’ ulama yang diperhitungkan kata-katanya.” (At-Taqrib ma’a Tadribirrawi, 2/190).
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah, semua shahabat itu adil, karena adanya pujian dari Allah  di dalam Al Qur`an dan (Rasulullah) di dalam Sunnahnya terhadap segala akhlak dan perbuatan mereka, serta terhadap apa yang mereka korbankan berupa harta dan nyawa bersama Rasulullah, dengan semata-mata mengharap pahala dan balasan yang mulia di sisi Allah I.” (Al-Ba’its Al-Hatsits hal.154)
Al-Imam Ibnul Mulaqqin berkata: “Semua shahabat Rasulullah n mempunyai kekhususan, yaitu tidak perlu ditanyakan tentang keadilannya. Karena mereka telah mendapatkan rekomendasi di dalam Al Qur`an dan As Sunnah serta ijma’ ulama yang diperhitungkan ucapannya.” (Al-Muqni’ fi Ulumil Hadits, 2/492, dinukil dari Al-Inthishar Lish Shahbi Wal Aal, hal. 218)
Al-Imam Ibnul Atsir  berkata: “Para shahabat seperti para perawi lainnya dalam semua hal itu, kecuali dalam hal al-jarh wat ta’dil (pujian dan kritikan), karena mereka semua adalah orang-orang yang adil, dan tidak boleh dikritik. Hal ini karena Allah dan Rasul-Nya telah merekomendasi dan memuji mereka…” (Usdul Ghabah 1/10, dinukil dari Al-Inthishar, hal. 222)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata: “Ahlus Sunnah sepakat bahwasanya semua shahabat adalah orang-orang yang adil, dan tidaklah menyelisihi dalam hal ini kecuali orang-orang yang nyeleneh dari kalangan ahlul bid’ah.” (Al-Ishabah, 1/10-11)
Asy-Syaikh Mahmud Muhammad Syakir berkata: “Bila demikian agungnya keutamaan bershahabat dengan Rasulullah, maka seorang muslim manakah yang mampu setelah ini untuk menjulurkan lisannya mencela seseorang dari shahabat Muhammad Rasulullah ?! Dengan lisan manakah dia meminta udzur ketika saling beragumentasi dihadapan Rabb mereka (di hari kiamat)?! Apa yang hendak dia katakan saat telah tegak baginya hujjah dari Al Qur`an dan Sunnah Nabi-Nya ?! Hendak lari kemanakah dia dari adzab Allah pada hari (kiamat) itu?!” (Majallah Al-Muslimun, edisi 3 th. 1371 H, dinukil dari kitab Matha’in Sayyid Quthub fi Ash-habi Rasulillah n,, hal. 11).
Maka dari itu, orang-orang yang sok menilai, mengkritik dan mencela para shahabat, tak lain ibarat seekor kambing kerdil yang berambisi (dengan tanduknya) menghancurkan batu besar yang sangat kokoh. Batu itu pun tetap utuh tak bergeming, sedangkan si kambing kerdil menuai petaka. Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Barangsiapa melakukannya (mencela shahabat, pen.), maka wajib diberi pelajaran dan dihukum, tidak diberi ampun, bahkan terus dihukum hingga bertaubat. Jika bertaubat maka diampuni, namun jika bersikukuh dengannya maka terus dihukum dan dipenjara sampai mati atau rujuk (kembali kepada kebenaran, red.).” (Ash-Sharimul Maslul, hal. 568)
Al-Imam Malik bin Anas t berkata: “Barangsiapa mencaci Nabi (n)maka (hukumannya) dibunuh, dan barangsiapa mencela para shahabat maka diberi pelajaran.” (Ash-Sharimul Maslul, hal. 569)
Al-Imam Ishaq bin Rahawaih t berkata: “Barangsiapa mencela para shahabat Nabi maka harus dihukum dan dipenjara.” (Ash-Sharimul Maslul, hal. 568)
Dengan demikian, apakah para pencela shahabat itu dikafirkan?
Para pembaca, berdasarkan keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Ash-Sharimul Maslul, hal. 586-587, maka dapatlah disarikan sebagai berikut:
1. Mencela shahabat, dengan diiringi pernyataan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan, atau dialah yang sebenarnya sebagai nabi dan Malaikat Jibril telah keliru dengan menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad, atau menganggap bahwa Al Qur`an kurang sekian ayat dan ada yang disembunyikan dan lain sebagainya, maka tidak diragukan lagi kekafirannya, bahkan tidak diragukan pula kekafiran orang yang ragu akan kekafiran mereka.
2. Mencela shahabat namun tidak menjatuhkan keadilan dan agama mereka. Misalnya menyifati sebagian shahabat dengan kikir, pengecut, ilmunya sedikit, atau kurang zuhud dan lain sebagainya, maka yang seperti ini berhak diberi pelajaran/dihukum dan tidak dikafirkan.
3. Melaknat dan menjelek-jelekkan mereka dengan lafadz yang umum, maka masih diragukan apakah dikafirkan ataukah tidak, karena adanya kemungkinan antara laknat kemarahan dan laknat yang bersumber dari keyakinan.
4. Mencela shahabat sampai pada tingkatan meyakini bahwa mereka telah murtad sepeninggal Rasulullah n kecuali hanya beberapa orang dari mereka saja, atau semua telah melakukan kefasikan (sepeninggal beliau), maka yang seperti ini tidak diragukan tentang kekafirannya.
Akhir kata, demikianlah kesudahan buruk bagi orang-orang yang mencela shahabat Rasulullah n. Semoga Allah I menjauhkan kita dari akhlak tercela ini, dan tiada yang dapat kami ucapkan kecuali sebuah harapan dari Allah I yang terukir dalam lantunan doa:
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau biarkan kedengkian terhadap orang-orang beriman bercokol pada hati kami, Wahai Rabb kami, sungguh Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)
Amin ya Rabbal ‘Alamin.
1 Zindiq adalah orang yang menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keislaman. Asal-usul mereka adalah orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan dan meyakini reinkarnasi serta memiliki keyakinan sebagaimana orang-orang Majusi.
diambil dari asysyariah.com

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sayyid Qutb Pencela Shahabat

Sayyid Qutb Pencela Shahabat

ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
Abu Sa’id Al-Khudri z berkata: Nabi n bersabda:
“Janganlah kalian mencela shahabat-shahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas semisal gunung Uhud, niscaya tidak mencapai (tidak bisa menyamai) infaq satu mud salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.”
Hadits yang mulia di atas diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 3673, Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 2541, oleh Al-Imam An-Nawawi diberi nama bab-nya Tahrimu Sabbish Shahabah g (Haramnya mencela shahabat Nabi g), Al-Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 4658, Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3861, dan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya  3/11, 54, 63.
Sabda Nabi n:
“Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas semisal gunung Uhud, niscaya tidak mencapai (menyamai) infaq satu mud salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.”
menjelaskan bahwa apabila salah seorang dari kalian menginfaqkan semisal gunung Uhud berupa emas, niscaya pahala infaqnya itu tidak akan mencapai pahala dan keutamaan yang diperoleh shahabat dari infaq yang mereka berikan berupa satu mud makanan atau setengahnya,  karena infaq shahabat itu disertai dengan keikhlasan yang lebih dan baiknya niat. Juga karena infaq yang mereka keluarkan dalam keadaan mereka itu lebih membutuhkannya karena keadaan mereka yang serba kekurangan, banyak kebutuhan dan kepentingan yang darurat. (Aunul Ma‘bud, 12/269)
Al-Imam Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan, infaq para shahabat lebih utama karena infaq tersebut dikeluarkan pada saat darurat dan keadaan yang sempit, berbeda halnya dengan infaq selain mereka. Juga infaq mereka itu dikeluarkan untuk menolong dan melindungi Rasulullah, yang perkara ini jelas tidak terjadi sepeninggal Rasulullah. Demikian pula jihad mereka dan seluruh amalan ketaatan mereka. Allah I telah berfirman:
“Tidaklah sama di antara kalian, orang yang menginfaqkan hartanya dan berperang sebelum Al-Fathu1 dengan orang yang selain mereka. Mereka itu lebih besar derajatnya di sisi Allah  daripada orang-orang yang berinfaq dan berjihad setelah itu….” (Al-Hadid: 10)
Hal ini juga disertai dengan apa yang ada dalam jiwa mereka berupa rasa kasih sayang, cinta, khusyu, tawadhu’, mengutamakan orang lain (daripada diri mereka sendiri) dan jihad fi sabilillah dengan sebenar-benarnya. Dan keutamaan/kemuliaan bersahabat dengan Rasulullah, walau hanya sebentar tidak dapat diimbangi oleh satu amalan pun. Derajat ini tidak dapat dicapai dengan sesuatu pun, dan keutamaan itu tidak dapat diambil dengan qiyas. Yang demikian itu adalah keutamaan dari Allah yang Dia berikan kepada siapa yang diinginkan-Nya. (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)
Penjelasan Hadits
Tatkala terjadi perselisihan antara Khalid ibnul Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf, maka Khalid pun mencerca Abdurrahman. Sementara Abdurrahman lebih dahulu masuk Islam daripada Khalid, bahkan ia termasuk As-Sabiqunal Awwalun. Maka Rasulullah n menegur Khalid dengan sabda beliau di atas. Hadits di atas menunjukkan kepada kita semua tentang haramnya mencela para shahabat Nabi , sebagaimana hal ini telah dikemukakan sebagai penamaan bab di dalam Shahih Muslim oleh Al-Imam An-Nawawi .
Oleh karena itu, tidak ada alasan sedikit pun bagi kita untuk memperbolehkan pencelaan terhadap mereka. Karena apabila larangan mencela ini ditujukan kepada shahabat yang belakangan masuk Islam terhadap shahabat yang terdahulu dalam keimanan, sementara kedua-duanya memiliki keutamaan shuhbah (bershahabat dengan Rasulullah ) kita dapati perkataan Rasulullah n yang menunjukkan kejelekan pelakunya dan jeleknya hasil dari perbuatan ini.
Dan bila sesama shahabat saja dilarang saling mencela, lalu bagaimana kiranya bila yang mencela itu bukan shahabat? Atau malah orang yang tidak mempunyai keutamaan sama sekali dari kalangan Zanadiqah (kelompok zindiq), Rawafidh (Syi’ah), serta para pengekor hawa nafsu dan ahlul bid’ah? Kira-kira apa gerangan yang akan diucapkan dan dihukumkan Rasulullah terhadap orang-orang tersebut, dan bagaimana besarnya sanksi serta ‘iqab (hukuman) beliau n terhadap pelaku perbuatan tersebut?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Mengapa Rasulullah melarang Khalid mencela shahabat-shahabat beliau sementara Khalid  juga termasuk shahabat beliau? Dan akhirnya beliau menyatakan demikian:
Hal ini karena Abdurrahman bin ‘Auf dan yang semisalnya adalah termasuk As-Sabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama kali masuk Islam) yang menjadi shahabat beliau n, di mana pada saat itu Khalid  dan semisalnya masih memusuhi beliau. Mereka, para As-Sabiqunal Awwalun, menginfaqkan harta mereka dan berjihad sebelum Fathu (perjanjian Hudaibiyyah). Dan mereka ini lebih tinggi derajatnya daripada shahabat yang berinfaq dan berjihad setelah Fathu. Namun masing-masing Allah berikan kebaikan.
Sehingga shahabat seperti Abdurrahmanzdan semisalnya memiliki kelebihan dalam hubungan persahabatannya dengan Rasulullah yang tidak dimiliki oleh Khalidz dan shahabat semisalnya dari kalangan mereka yang ber-Islam dan berperang setelah Fathu. Maka Rasulullah  n pun melarang  mencela mereka yang bersahabat dengan Nabi sebelum Fathu.
Siapa saja yang sama sekali tidak pernah menjadi shahabat Rasulullah, maka perbandingan dia dengan orang yang menjadi shahabat Rasulullah seperti perbandingan Khalid dengan para shahabat yang terdahulu masuk Islam, bahkan orang tersebut tidak ada kadarnya bila dibandingkan dengan kemuliaan Khalid z dan para shahabatnya g.” (Ash-Asharimul Maslul `ala Syatimir Rasul, hal. 576)
Al-Imam ‘Ali Al-Qari menyatakan sangat dimungkinkan pembicaraan dalam hadits ini ditujukan untuk umat secara  umum, tidak dibatasi hanya shahabat yang berselisih tersebut. Yang dengan cahaya nubuwwah, Rasulullah n mengetahui bahwa perbuatan semisal ini akan terjadi pada ahlul bid‘ah. Maka beliaupun melarang mereka dengan hadits ini. (Tuhfatul Ahwadzi, 10/246)
Keutamaan Shahabat tidak Bisa Dicapai oleh Siapapun
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Imam Al-Qadhi ‘Iyadh bahwa keutamaan bersahabat dengan Rasulullah meski hanya sebentar tidak bisa dibandingkan dengan satu amalan pun. Tidak dapat dicapai derajat ini dengan sesuatu pun dan keutamaan itu tidak dapat diambil dengan qiyas, yang demikian itu merupakan keutamaan dari Allah yang Dia berikan kepada siapa yang diinginkan-Nya. (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)
Sehingga apapun amalan yang dilakukan oleh orang-orang yang datang setelah para shahabat, tidaklah dapat mencapai derajat para shahabat dari sisi shuhbah (persahabatan) mereka dengan Rasulullah n dan keutamaan mereka pernah bergaul dengan beliau, hadir di majelisnya, mendengarkan wejangannya dan pengajarannya dalam waktu lama ataupun sebentar, apalagi menyertai beliau dalam berjihad meninggikan kalimat Allah, menolong dakwah beliau dengan pengorbanan jiwa dan harta.
Jelas keutamaan seperti ini tidak dapat diraih oleh selain shahabat, sampai pun derajat shahabat yang paling rendah2 tidak akan bisa diraih atau shahabat yang hanya sesaat melihat Nabi n, beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan beriman.
Ibnu ‘Abbas  berkata: “Janganlah kalian mencela shahabat Muhammad . Sungguh, kedudukan salah seorang dari mereka sesaat bersama Nabi n lebih baik daripada amalan salah seorang kalian selama 40 tahun.”
Dalam lafadz yang lain: “Lebih baik daripada  ibadah salah seorang dari kalian sepanjang hidup.” (Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah no. 1006 dan atsar ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Albani dalam Tahqiq Syarhul ‘Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 469)
Ibnu Mas‘ud berkata: “Sesungguhnya Allah melihat ke hati-hati hamba-Nya, maka Allah dapatkan hati Muhammad adalah sebaik-baik hati para hamba. Allah pun memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya dengan risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati-hati hamba setelah hati Muhammad, maka Allah dapatkan hati-hati para shahabatnya adalah sebaik-baik hati para hamba. Allah pun menjadikan mereka sebagai penolong nabi-Nya, mereka berperang membela agama-Nya. Apa yang dipandang oleh kaum muslimin (para shahabat) baik maka itu baik di sisi Allah dan apa yang mereka pandang jelek maka itu jelek di sisi Allah.” (Riwayat Ahmad, 1/380 dan atsar ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Albani dalam Tahqiq Syarhul ‘Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 470)
Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras berkata: “Para shahabat itu pantas untuk mendapatkan kecintaan dan pemuliaan karena keutamaan mereka, terdepannya mereka dalam beriman dan kekhususan mereka  menjadi shahabat Rasulullah. Bersamaan dengan itu, mereka telah berbuat baik kepada umat ini karena merekalah yang menyampaikan seluruh apa yang datang dari Rasul mereka. Tidak sampai pada seseorang satu ilmu pun atau satu berita pun melainkan dengan perantaraan para shahabat.” (Syarhul ‘Aqidah Al-Wasithiyyah, hal. 166)
Al-Hafizh Abu Bakr Al-Khathib Al-Baghdadi setelah membawakan ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits nabawiyyah tentang kedudukan dan keutamaan shahabat, beliau berkata: “Berita-berita yang semakna dengan ini begitu luas, seluruhnya bercocokan dengan berita yang ada dalam nash Al Qur`an. Semua itu mengandung konsekuensi kesucian shahabat dan kepastian tentang kebaikan serta kebersihan mereka. Sehingga tidak ada seorang pun dari mereka yang membutuhkan pengakuan dari satu makhluk pun berkenaan tentang kebaikan mereka ketika Allah I  telah menetapkan hal tersebut terhadap mereka karena Dia jua-lah yang mengetahui apa yang tersembunyi dalam batin mereka.”
Beliau juga mengatakan: “Seandainya  tidak datang satu keterangan dari Allah dan Rasul-Nya tentang para shahabat dari apa yang telah kami sebutkan, niscaya keadaan yang mereka alami dan hadapi berupa hijrah, jihad, menolong agama Allah dan Rasul-Nya, pengorbanan darah dan harta (untuk membela agama Allah, pen.), membunuh bapak dan anak-anak mereka (yang masih kafir ketika berhadapan di medan laga, pen.), saling menasehati dalam agama, kekuatan iman dan yakin, cukuplah semua itu sebagai kepastian tentang kelurusan mereka dan untuk meyakini kesucian mereka. Mereka itu lebih utama selama-lamanya dari seluruh orang yang dianggap baik dan seluruh orang yang disucikan, dari kalangan orang-orang yang datang setelah mereka.” (Al-Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hal. 48-49)
Hukum Mencela Shahabat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Mencela shahabat Rasulullah n adalah haram hukumnya dengan dalil Al Kitab dan As Sunnah.” (Ash-Asharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hal. 571)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Mencela shahabat g adalah haram, termasuk perkara keji (buruk) yang diharamkan, baik yang dicela itu dari kalangan shahabat yang terlibat dalam fitnah (peperangan antara sesama muslimin, pen.) ataupun selain mereka, karena mereka itu berijtihad dalam peperangan tersebut dan melakukan penafsiran dalam perkara-perkara yang terjadi.” Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Mencela salah seorang shahabat termasuk perbuatan maksiat yang termasuk dosa-dosa besar.” (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)
Abu Zur‘ah berkata: “Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang shahabat Rasulullah n, maka ketahuilah orang itu adalah zindiq. Karena keberadaan Rasulullah n itu haq di sisi kita, demikian pula Al Qur`an. Dan hanya para shahabat Nabi saja yang menyampaikan Al Qur`an dan Sunnah-sunnah beliau kepada kita. Sementara para zindiq tersebut ingin mencacati persaksian kita terhadap mereka -para shahabat- agar mereka dapat membatilkan Al Qur`an dan As Sunnah yang kita ambil dari para shahabat beliau n. Justru mereka itulah orang yang lebih pantas dicacatkan keberadaannya, mereka itulah para zindiq.” (Al-Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hal. 49)
Adapun bentuk sanksi ataupun ‘iqab yang diberikan bagi orang yang mencela shahabat, diperselisihkan para ulama. Ada yang menvonis  harus dibunuh, ada yang tidak. Jumhur ulama sendiri berpandangan orang yang berbuat demikian diberi hukuman ta`zir3 dan tidak dibunuh. Sementara sebagian Malikiyyah berpendapat orang itu dibunuh. (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)
Al-Imam Ahmad berpendapat orang yang mencela salah seorang dari shahabat Rasulullah , baik dari kalangan ahlul bait ataupun selain mereka, maka hukumannya dengan dipukul keras, dan beliau tawaqquf4 dalam masalah membunuh dan mengkafirkan orang yang berbuat demikian. Ada yang berpendapat bahwa siapa yang melakukan hal itu maka  ia harus diberikan “pelajaran”, dihukum dan diminta bertaubat. Bila ia bertaubat maka diterima taubatnya, namun bila ia mengulangi maka diberikan hukuman dan dipenjara selama-lamanya sampai mati atau bertaubat.
Demikian dihikayatkan hal ini oleh Al-Imam Ahmad dari ahlul ilmi yang pernah beliau jumpai. Dan Al-Kirmani menghikayatkannya dari Al-Imam Ahmad, Ishaq, Al-Humaidi, Sa’id bin Manshur dan selain mereka.
Al-Harits bin ‘Utbah berkata: “Didatangkan ke hadapan ‘Umar bin Abdil ‘Aziz seorang lelaki yang mencela ‘Utsmanz.
‘Umar bin Abdul ‘Aziz bertanya:  “Apa yang mendorongmu untuk mencercanya?”
“Aku membencinya,” jawab si pencerca.
“Apakah jika engkau membenci seseorang, engkau akan mencelanya?” tanya ‘Umar lagi. Lalu ia memerintahkan agar si pencerca itu dicambuk 30 kali.
Ibrahim bin Maisarah berkata: “Aku belum pernah sama sekali melihat ‘Umar bin Abdil ‘Aziz  memukul seseorang, kecuali seorang laki-laki yang mencerca Mu’awiyah, maka ‘Umar memukulnya dengan beberapa kali cambukan.”
Al-Imam Malik berkata: “Siapa yang mencerca Nabi n maka ia dibunuh dan siapa yang mencerca shahabat maka ia diberi “pelajaran”. (Semua atsar kami nukilkan dari kitab Ash-Sharimul Maslul, hal. 567, 568, 569,  karya  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)
Sebagai kesimpulannya, mencela shahabat itu ada tiga macam:
Pertama: mencela para shahabat Nabi n dengan mengkafirkan mayoritas mereka atau menyatakan kebanyakan mereka itu fasik. Maka hukum orang yang berbuat seperti ini kafir karena ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya yang telah memberikan pujian kepada para shahabat dan ridha terhadap mereka. Bahkan siapa yang ragu tentang kekufuran orang yang semisal ini maka ia pun kafir, karena kandungan dari pencelaan tersebut berarti para shahabat Nabi n yang menyampaikan Al Qur`an dan As Sunnah kepada umat ini adalah orang-orang kafir dan orang-orang fasiq. Dalam Al Qur`an Allah I berfirman:
“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia.” (Ali ‘Imran: 110)
Sementara sebaik-baik umat ini adalah generasi pertamanya (generasi para shahabat). Namun dengan adanya celaan yang ditujukan kepada generasi pertama ini berarti mayoritas mereka para shahabat Nabi n adalah orang-orang kafir atau fasiq. Konsekuensinya, umat ini adalah sejelek-jelek umat dan pendahulu umat ini adalah orang-orang yang paling jelek.
Kedua: mencela  shahabat dengan melaknat dan menjelekkan mereka. Maka ada dua pendapat di kalangan ahlul ilmi, yang satu mengkafirkan pelakunya, adapun yang lain menyatakan pelakunya tidak kafir tapi ia harus dicambuk dan dipenjara sampai mati atau bertaubat dari apa yang diucapkannya.
Ketiga: mencela shahabat dengan perkara yang tidak berkaitan dengan agama mereka seperti mengatakan mereka penakut atau pelit. Maka pelakunya tidak dikafirkan namun diberi hukuman ta`zir yang bisa membuat dia jera dari perbuatannya. (Ash-Sharimul Maslul  hal. 586-587, Syarh Lum‘atil I‘tiqad, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 152)
Sosok Sayyid Quthb sebagai Pencela Shahabat
Kita telah mengetahui betapa tinggi dan mulianya kedudukan para shahabat dengan persaksian Allah I dan Rasul-Nya n sehingga tidak boleh mengarahkan celaan kepada mereka, bahkan wajib bagi kita untuk tidak membicarakan kejelekan mereka. Kita harus menyakini bahwa sekalipun mereka punya kesalahan maka kesalahan itu terlalu kecil bila dibandingkan dengan kebaikan yang ada pada mereka. Bila salah seorang dari mereka punya satu dosa maka ia mungkin sudah bertaubat dari dosa tersebut, atau ia telah melakukan kebaikan yang banyak yang dengan itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya, atau ia telah diampuni oleh Allah dengan keutamaannya terdahulu masuk Islam atau dengan syafaat Nabi n dan para shahabat adalah orang-orang yang paling berhak mendapatkan syafaat beliau n, atau ia telah ditimpa  ujian dan cobaan ketika di dunia yang dengan itu akan menjadi kaffarah bagi dosanya. (Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah dengan syarahnya, hal. 175)
Namun lihatlah seorang yang bernama Sayyid Quthub yang mencela para shahabat Nabi n, buta mata hatinya dari melihat keutamaan dan kemuliaan yang dimiliki oleh para shahabat, sehingga dengan berani dan lancangnya Sayyid mencerca dan mencela mereka. Di antara cercaan Sayyid kepada para shahabat Rasulullah n, sebagaimana yang dapat kami sebutkan berikut ini:
1. Ia menjelekkan shahabat yang mulia, menantu Rasulullah n yang digelari Dzun Nuraini (karena pernah mempersunting dua putri beliau n) Amirul Mukminin ‘Utsman z, dengan tidak menganggap masa kekhilafahannya. Ia menyatakan dengan lisannya yang buruk: “Kami cenderung menganggap khilafah ‘Ali sebagai kepanjangan yang alami bagi khilafah Syaikhain sebelumnya (yakni Abu Bakar dan ‘Umar c, -pen.) dan sesungguhnya masa ‘Utsman merupakan celah di antara keduanya.” (Al-’Adalah Al-Ijtima’iyyah, hal. 206)
Ia menuduh bahwa gambaran tentang hakikat hukum Islam mengalami perubahan pada masa pemerintah ‘Utsman. Ia berkata: “Sungguh termasuk aspek yang buruk, ‘Utsman menemui masa khilafahnya dalam keadaan ia telah tua renta, lemah semangatnya untuk meneguhkan Islam dan lemah keinginannya untuk menyumbat makar Marwan dan makar Umayyah yang datang dari belakangnya.” (hal. 186)
Dituduhnya pula ‘Utsman dengan tuduhan dusta bahwa beliau tidak baik pengaturannya dalam masalah harta kaum muslimin, mengutamakan keluarganya untuk memimpin manusia dengan pernyataannya: “Utsman rahimahullah memahami bahwa keberadaannya sebagai imam menganugerahkannya kebebasan dalam mengatur  harta kaum muslimin, ia bebas memberi dan menghadiahkan. Sehingga di kebanyakan kesempatan ia memberikan harta tersebut kepada orang yang dijadikannya sebagai pimpinan dalam perpolitikan. Bila tidak demikian, maka dalam perkara apa engkau menjadi imam/ pimpinan? Sebagaimana ‘Utsman dianugerahi kebebasan untuk membawa Bani Mu’ith dan Bani Umayyah dari kalangan kerabatnya untuk memimpin manusia, dan di kalangan keluarganya ini ada Al-Hakam (ibnul ‘Ash) yang pernah diusir oleh Rasulullah. Hal itu semata-mata dilakukannya karena ia menganggap bahwa termasuk kewajibannya adalah memuliakan keluarganya, berbuat baik pada mereka dan menjaga/ memperhatikan mereka.”  (hal. 186)
Sebagaimana ia menuduh ‘Utsman telah menyimpang dari ruh Islam dengan pernyataannya: “Sungguh para shahabat (ketika itu) memandang bahwa (apa yang terjadi di masa ‘Utsman) merupakan penyimpangan dari ruh Islam, maka mereka pun saling memanggil kembali ke Madinah untuk menyelamatkan Islam dan menyelamatkan khalifah (yakni ‘Utsman z,,,, pen) dari ujian. Sementara khalifah dalam ketuaan dan kerentaannya tidak dapat menguasai perkaranya dari Marwan. Sungguh termasuk perkara yang sulit bagi kita untuk menjelekkan ruh Islam pada diri ‘Utsman, namun termasuk perkara yang sulit juga bagi kita untuk memaafkannya dari kesalahan, yang kesalahannya ini bertemu dengan kejelekan dalam kepemimpinan khilafahnya, sementara dia adalah orang  tua yang tidak berdaya yang diliputi oleh keburukan Umayyah.” (hal. 187)5
Bahkan Sayyid Quthb ini memuji pemberontakan yang dilakukan terhadap Khalifah ‘Utsman dengan menyatakan: “Pada akhirnya meletuslah pemberontakan terhadap ‘Utsman. Tercampurlah dalam pemberontakan itu Al-Haq dengan Al-Bathil, kebaikan dengan kejelekan. Namun orang yang melihat perkara dengan mata Islam dan merasakan perkara dengan ruh Islam, mau tidak mau akan menetapkan bahwa pemberontakan itu dalam keumumannya lebih dekat kepada ruh Islam dan mengarah pada ruh Islam daripada tindakan ‘Utsman, atau lebih lembut dan halus daripada tindakan Marwan dan Bani Umayyah yang ada di belakangnya.” (hal. 189)6
2. Orang ini tidak berhenti sampai di situ, ia juga mencela para shahabat Muhajirin dan Anshar dari kalangan Ahli Badr, Bai’atur Ridhwan dan ahlu syura. Ia berkata: “Sungguh termasuk perkara yang sudah menjadi kodrat bahwasanya orang-orang yang mencari manfaat ini tidaklah ridha terhadap ‘Ali z dan mereka tidak rela dengan syariat persamaan hak (yang ia maksudkan adalah kaum Muhajirin, -pen.) Demikian pula orang-orang yang melanggar keutamaan dan menginginkan monopoli (yang dimaksudkannya adalah kaum Anshar, –pen.). Mereka ini pun pada akhirnya bergabung dengan kelompok yang lain, kelompok Umayyah, di mana di dalamnya mereka bisa mencari muka untuk memenuhi ambisi mereka.” (hal. 193).
3. Ia menukil berita dusta dan mengada-ada yang disandarkan oleh seorang Syi’ah Rafidhah  kepada  para shahabat Rasulullah n. Sayyid berkata:  “Cukuplah bagi kami untuk  menampilkan contoh kemewahan yang sangat yang dibawakan oleh Al-Mas’udi7 (seorang Syi’ah yang hasad kepada para shahabat Rasulullah n,, pen). Al-Mas’udi berkata: “Pada masa ‘Utsman, para shahabat mengumpulkan sawah ladang dan harta. ‘Utsman pada hari terbunuhnya, didapatkan dalam simpanan hartanya ada sekitar 150 ribu dinar dan ribuan dirham. Sementara nilai sawah ladangnya yang ada di Wadi Al-Qura, Hunain dan selainnya sekitar 100 ribu dinar. Dia juga meninggalkan unta dan kuda yang banyak. Adapun Az-Zubair, harta peninggalannya setelah wafatnya mencapai harga 50 ribu dinar dan ia meninggalkan 1.000 ekor kuda dan 1.000 budak perempuan. Adapun Thalhah maka hasil buminya dari negeri Iraq mencapai 1.000 dinar setiap hari dan dari Nahiyatus Sarah lebih banyak lagi. Sedangkan Abdurrahman bin ‘Auf di tempat pertambatannya ada 1.000 ekor kuda, ia juga punya 1.000 ekor unta, 10 ribu ekor kambing, dan seperempat dari peninggalan hartanya setelah wafatnya mencapai 84 ribu. Lain lagi Zaid bin Tsabit, ia meninggalkan emas dan perak yang bisa memecahkan kapak-kapak. Di samping itu ia juga meninggalkan harta yang lain dan sawah ladang. Az-Zubair membangun rumahnya di Bashrah, juga di Mesir, Kufah dan Iskandariyah. Thalhah juga demikian, ia membangun rumahnya di Kufah dan memperindah rumahnya di Madinah dengan membangunnya dengan kapur, batu bata dan pohon jati. Sa’d bin Abi Waqqash membangun rumahnya di ‘Aqiq, meninggikan atap/tiangnya dan meluaskan halamannya…” (Al-’Adalah Al-Ijtima’iyyah hal.  209-210) dan seterusnya dari ucapan Syi’i yang  penuh kedustaan.
Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata: “Orang yang memikirkan dengan mendetail tindakan-tindakan Sayyid Quthub dan tata caranya serta mengetahui madzhabnya niscaya akan tahu bahwa Sayyid Quthub ini seorang pencela, sehingga ‘Umar z pun akan terkena celaannya, karena sepanjang hidupnya ‘Umar melebihkan (sebagian muslimin) dalam pemberian. Melebihkan satu dari yang lain yang dijalankan oleh ‘Umar ini, merupakan kezaliman dalam pandangan Sayyid Quthub. Hanya saja ia meninggalkan cercaan kepada ‘Umar sebagai penyamaran dari satu sisi dan agar bisa menjalankan doktrin sosialis pada sisi yang lain. Orang yang memikirkan dengan teliti dan memahami ucapan Sayyid Quthub akan tahu  bahwa ia mengharuskan pemerintah/ penguasa untuk merampas/ mengambil dengan paksa harta-harta umat dan membaginya dengan cara sosialis-marxis.”8
4. Ia mencela  Mu’awiyah dan  ‘Amr ibnul ‘Ash c, dan bersikap ghuluw terhadap ‘Ali z. Ia berkata dalam kitabnya Kutub wa Syakhshiyyat (hal. 242-243): “Mu’awiyah dan temannya yang bernama ‘Amr tidaklah mengalahkan ‘Ali dikarenakan keduanya lebih mengetahui apa yang diinginkan oleh jiwa-jiwa manusia dan lebih memahami untuk bertindak dengan tindakan yang bermanfaat yang sesuai sikon daripada ‘Ali. Akan tetapi mereka berdua bisa memerangi dan mengalahkan ‘Ali dikarenakan bebasnya mereka menggunakan setiap kotoran dan makar, sementara ‘Ali terikat dengan akhlaknya dalam memilih sarana-sarana bergumul. Tatkala Mu’awiyah dan temannya ini cenderung kepada dusta, tipu daya, nifaq, sogok menyogok dan jual beli hak/ kehormatan, ‘Ali pun tidak dapat turun mengikuti mereka ke derajat yang paling rendah ini. Maka tidaklah heran keduanya sukses sedangkan ‘Ali gagal, namun kegagalan itu lebih mulia dari seluruh kesuksesan.”9
Masih banyak lagi cercaan, tuduhan dan dugaan jelek yang dilemparkan Sayyid Quthub terhadap para shahabat Rasulullah n. Namun pemaparan di atas cukuplah sebagai gambaran bagi kaum muslimin akan kejahatan Sayyid Quthub terhadap para shahabat .
Asy-Syaikh Rabi‘ hafizhahullah berkata: “Demikianlah Sayyid Quthub mengarahkan cercaan yang zalim dan tuduhan yang penuh dosa kepada para shahabat tanpa hujjah, bukti, petunjuk dan ilmu serta tanpa sumber terpercaya kecuali sekedar khayalannya yang tumbuh dari aqidah sosialisnya yang ghuluw dan kecuali dari racun-racun yang diminumnya sampai puas dari sumber-sumber Rafidhah dan pengajaran-pengajaran  orang-orang sosialis.” (Adhwa’u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min ‘Utsman wa mu‘zhamis shahabah )
Dan tentunya akan lebih adil kalau kita juga melihat bagaimana aqidah Sayyid dan pemikirannya, agar menjadi jelas bagi kita siapa sebenarnya dia dan apa bandingannya dengan para shahabat  mulia yang dicercanya?
1. Aqidah wihdatul wujud dan hululiyyah Dalam kitab tafsirnya Fi Zhilalil Qur`an (6/4003-4004) tentang tafsir surat Al-Ikhlas, ia berkata:  “Sesungguhnya alam ini adalah kesatuan wujud. Tidak ada di sana hakikat kecuali hakikat-Nya. Dan tidak ada di sana wujud yang hakiki kecuali wujud-Nya. Maka seluruh wujud yang lain hanyalah bersandar wujudnya kepada Wujud yang hakiki itu.” Ucapannya ini, jelas sekali menunjukkan pemahaman wihdatul wujud.
Demikian pula ucapannya: “Islam menginginkan agar manusia menempuh jalan menuju hakikat ini. Manusia itu merasakan penderitaan dalam menjalani kenyataan hidup, namun bersamaan dengan itu mereka mestinya merasakan bahwasanya tidak ada hakikat kecuali Allah dan tidak ada wujud kecuali wujud-Nya.”
Ia juga membela aqidah Nirwana10 yang dianut oleh pemeluk Hindu Budha.11
2.  Meremehkan dakwah para rasul yang hanya berpusat pada larangan beribadah kepada berhala (Fi Zhilalil Qur`an, 4/2114), sementara ia sendiri tidak mengingkari kesyirikan yang dilakukan di kuburan-kuburan12.
3. Menolak sifat-sifat Allah I sebagaimana kelompok bid‘ah Jahmiyyah, seperti ketika ia menolak sifat istiwa` Allah di atas ‘Arsy-Nya di saat menafsirkan surat Yunus ayat 1 (Fi Zhilalil Qur`an, 3/1762-1763). Ia menganggap sifat-sifat Allah itu hanyalah sekadar makna yang tidak ada hakikatnya.13
4.   Menganggap Al Qur`an itu bukan kalamullah tetapi makhluk, dalam Fi Zhilalil Qur`an (5/2715): “Akan tetapi mereka tidak kuasa untuk menyusun satu surat pun yang semisal kitab Al Qur`an ini karena kitab ini adalah buatan Allah bukan buatan manusia.”14
5.   Mencela Nabiyullah Musa u dalam kitabnya At-Tashwirul Fanni fil Qur`an (hal.  200-204) bahwa Nabi Musa adalah seorang pemimpin yang membela ‘ashabiyyah qaumiyyah (fanatik golongan/suku), seorang yang emosional tidak sabaran, tidak memiliki ketenangan. Ia berjanji tidak akan menjadi penolong orang-orang yang berbuat dosa, namun perbuatannya menyelisihi janjinya dengan membantu seseorang dari kaumnya yang berkelahi dengan seseorang dari kaum Fir’aun, ia meminta kepada Allah dengan permintaan yang tidak pantas.15
6. Seorang sufi yang ghuluw dan berbahaya dengan pernyataannya: “Ya Allah, aku adalah hamba-Mu, (aku beribadah kepada-Mu) bukan karena takut dari neraka-Mu dan bukan pula karena ingin masuk ke dalam surga-Mu”, dalam kitabnya At-Tashwirul Fanni fil Qur`an.
Pemikiran seperti ini disebutkan oleh sebagian Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai pemikiran seorang zindiq.16
Dan masih banyak lagi model penyimpangan orang ini, namun beberapa contoh di atas cukuplah mewakili gambaran tentang Sayyid Quthub. Namun ternyata dengan kebobrokan dan borok menjijikkan yang ada padanya, tidaklah membuatnya malu dan minder untuk tampil mencerca para shahabat yang mulia.
Mungkin sekelompok manusia akan menyalahkan kita, karena kita menjelekkan Sayyid Quthub pencela shahabat Nabi . Sementara katanya, dia adalah seorang yang punya banyak jasa terhadap Islam, dia gugur sebagai syahid, dia begini, dia begitu dan seterusnya dari sederet pujian untuk si Sayyid. Lalu orang itu memberikan pembelaan terhadap Sayyid Quthub karena ghirahnya terhadap tokoh nyeleneh dan bebal17 ini. Maka kita katakan kepadanya sebagaimana ucapan Asy-Syaikh Rabi’18 hafizhahullah: “Wahai sekalian muslimin, di mana ghirah kalian terhadap aqidah Islamiyyah (yang dirusak oleh orang seperti Sayyid Quthub)? Di mana ghirah kalian terhadap tokoh-tokoh umat ini (para shahabat Rasulullah n yang dicela oleh Sayyid Quthub)? Di mana sikap kalian bila dibandingkan dengan sikap salaful ummah terhadap orang yang mencela shahabat Rasulullah n? Dan sampai kapan kalian sabar menanggung kezaliman, kelaliman dan penganiayaan ini?”
Wallahul musta’an.
1 Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata Al-Fathu di sini. Mayoritas ulama menafsirkan dengan pembukaan kota Makkah. Adapun Asy-Sya’bi dan yang lain menafsirkan dengan Perjanjian Hudaibiyah.
2 Para shahabat itu memang berbeda-beda derajat, keutamaan dan kemuliaannya, seperti Abu Bakr Ash-Shiddiq lebih utama dari shahabat-shahabat yang lain, kemudian setelahnya para Al-Khulafa` Ar-Rasyidun yang lain, dan seterusnya. (Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah beserta syarahnya, hal. 167-169)
3 Ta‘zir adalah hukuman yang tidak dapat dikadarkan secara pasti, yang wajib ditunaikan oleh hakim karena adanya pelanggaran terhadap hak Allah atau hak anak Adam. Hukuman ini dilaksanakan dalam setiap maksiat yang tidak ada hukum hadnya dan tidak ada kaffarah-nya secara umum. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 12/254)
4 Mendiamkan, tidak memberikan pendapat
5 Matha‘in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah pasal ke-14 Ramyu ‘Utsman bil inhiraf ‘an ruhil Islam
6 Matha‘in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah pasal ke-15 Sayyid Quthb yara anna ats-tsaurah al-lati qadaha Ibnu Saba` Al-Yahudi aqrabu ila ruhil islam min ‘Utsman bin ‘Affan.
7 Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata: “Bila pembaca merujuk pada kitab Al-Mas‘udi niscaya akan mengetahui bahwa Al-Mas‘udi membawakan kedustaan ini untuk mencela shahabat-shahabat besar tersebut.” (Adhwa` Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min Utsman wa mu‘dhamis shahabah
8 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min ‘Utsman wa mu‘zhamis shahabah
9 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min ‘Utsman wa mu‘zhamis shahabah
10 Nirwana maknanya selamat, yakni selamatnya ruh yang terus menerus mengalami perbaikan di tengah peredaran dan perputarannya dalam menitis ke tubuh-tubuh manusia. Ketika telah selamat, ruh ini tidak butuh lagi untuk menitis karena ia telah selamat dari perjalanan tersebut dan telah menyatu dengan Sang Pencipta. Ia telah meninggalkan jasad di alam materi dan masuk ke alam yang kekal abadi. Derajat Nirwana atau tercapainya keselamatan itu merupakan tujuan tertinggi dalam kehidupan bagi penganut Hindu dan Budha.
11 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi, pasal ke-9 Qaul Sayyid Quthub bi ‘aqidah wihdatul wujud wal hulul wal jabr, karya Asy-Syaikh Rabi‘ Al-Madkhali, Al-’Awashim Mimma fi Kutub Sayyid Quthb minal Qawashim pasal ke-5, karya Asy-Syaikh Rabi’ dan makalah Asy-Syaikh Rabi’ berjudul: Qaul Sayyid Quthb bi ‘Aqidah Wihdatul Wujud wal Hulul wal Jabr wa Difa‘uhu ‘an-Aqidah An-Nirfana Al-Hindukiyyah Al-Budziyyah
12 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi, pasal ke-6 Asy-syirku wa ‘ibadatul awtsan ‘inda Sayyid waman sara nahjihii
13 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-10 Ghuluw Sayyid fi ta‘thil sifatillah kama huwa sya’nu Jahmiyyah dan  Makalah Asy-Syaikh Rabi‘ berjudul: Min Ushuli Sayyid Quthub Al-Bathilah Al-Mukhalafah Li Ushuli As-Salafis Shalih
14 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-8 Qaulu Sayyid bi khalqil Qur’an wa anna kalamillahi ‘ibaratun anil iradah
15 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal pertama Adabu Sayyid ma‘a rasulillah dan kalimillah Musa ‘alaihis shalatu wa sallam
16 Makalah Syaikh Rabi‘: Min Ushuli Sayyid Quthb Al-Bathilah Al-Mukhalafah Li Ushuli As-Salafish Shalih
17 Dikatakan demikian karena telah dinasehati oleh Asy-Syaikh Mahmud Syakir agar tidak mencela shahabat, namun Sayyid malah membenarkan perbuatannya mencela shahabat. (Muqaddimah cetakan kedua kitab Matha’in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah)
18 Muqaddimah cetakan kedua kitab Matha‘in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah
Diambil dari: asysyariah.com
Di sebarkan oleh : Blog Al Islam
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Ikhlas - Belajar Ikhlas

Belajar Ikhlas

Oleh Ustadz Marwan
 Mengeja kata ikhlas adalah sesuatu yang bisa dilakukan oleh seorang anak yang masih balita yang baru belajar membaca, bahkan seorang yang mencari asal kata ikhlas secara bahasa adalah sangat mudah bagi mereka yang mempelajari bahasa Arab tingkat pemula. Lain halnya dengan penjagaan dan usaha untuk mengamalkan dari sebesar-besar perintah Allah tersebut, sebagaimana termaktub dalam firman Allah Ta’aala :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan bagi-Nya agama ini. (Al-Bayinah : 5).
Yaitu Manusia tidaklah diperintahkan untuk mengerjakan pada seluruh syari’atNya kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan hanya memaksudkan pada seluruh peribadatan tersebut yaitu Wajah Allah semata, apakah peribadatan yang dhahir dan yang bathin dan dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam tulisan singkat ini tidaklah akan membahas bab ikhlas secara panjang lebar yang wajib ada dalam setiap amalan, tetapi hanya kita sampaikan tentang pentingnya menjaga keikhlasan di dalam thalabul ilmi (belajar ilmu agama ini), yaitu belajar ikhlas dalam belajar ilmu agama.
Rasulullah shallallhu’alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dihasankan derajatnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- dari sahabat ‘Abdullah bin Umar –radziallahu’anhuma.- :
مَنْ طَلَبَ العِلْمَ لِيُبَاهيَ بِهِ العُلَماءَ وَيُمارِيَ بِهِ السُفَهاءَ أو ليَصْرِفَ وُجُوهَ النَّاسِ إلَيهِ فَهوَ في النَّارِ
“Barangsiapa yang mencari ilmu dengan tujuan menyaingi dengannya para ulama, atau untuk mendebat orang-orang bodoh, atau untuk menjadikan wajah-wajah manusia menoleh kepadanya maka orang tersebut (nanti) di dalam api neraka.”
Mencari ilmu adalah seutama-utama amalan sholeh dan seutama-utama jenis peribadatan kepada Allah Ta’aala, maka menjadi suatu keharusan atas siapa saja yang mencari ilmu untuk menjaga keikhlasan niat karena Allah semata, dan tidak diinginkan dengannya selain Allah, apakah dari niatan mencari kesenangan dunia atau niatan-niatan sebagaimana disebutkan dalam hadits tersebut di atas. Termasuk di antaranya adalah belajar ilmu agama semata menghendaki gelar-gelar dan semata-mata mencari ijazah dan niatan dunia yang lain. Maka niatan-niatan semata-mata karena perkara tersebut hendaklah dikoreksi kembali untuk kemudian diluruskan semata karena Allah Ta’aala.
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al’Utsaimin telah menorehkan tinta emasnya berkaitan dengan bab keikhlasan di dalam mencari ilmu syari’ah pada sebuah karya beliau yaitu Kitab Al-Ilmu : Seyogyanya seseorang menjadikan tujuan mencari ilmu adalah untuk mencari wajah Allah ‘Azza Wa Jalla semata dan untuk negeri akhirat. Karena Allah Ta’aala telah menganjurkan kepada para hamba-Nya terhadap perkara ini, dan Allah Ta’aala telah menjadikan cinta kepada tujuan seperti ini sebagaimana Firman-Nya :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah dan memintalah pengampunan atas dosa-dosamu “(Muhammad : 19)
Di dalam Al-Qur’an sangat dikenal tentang pujian Allah atas orang-orang yang berilmu. Dan apabila Allah memuji atas sesuatu atau jika Allah memerintahkan kepada sesuatu maka hal tersebut adalah merupakan bentuk ibadah. Maka dengan demikian wajib bagi setiap penuntut ilmu untuk mengikhlaskan niatnya semata karena Allah Ta’aala. Apabila seorang mencari ilmu syar’i demi mengharapkan ijazah yang menghantarkan seseorang tersebut terhadap suatu kedudukan-kedudukan tertentu, Bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam sesungguhnya telah bersabda :

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْماً يُبْثَغَي بِهِ وَجْهُ الله لاَ يَتَعَلَّمُهُ إلا لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضاً مِنَ الدُنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَومَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa mencari ilmu yang seharusnya dengan niat dicari wajah Allah Ta’aala, akan tetapi seseorang tersebut mencarinya untuk bagian dari dunia, maka tidaklah ia akan mendapatkan baunya syurga di hari kiamat.
Ini adalah ancaman yang sangat keras. Akan tetapi apabila seseorang yang mencari ilmu mengatakan : Aku menghendaki ijazah bukan karena menginginkan dengannya bagian dari dunia, namun karena keadaan di masa sekarang ini manusia menqiyaskan seorang yang memiliki ilmu dengan ijazahnya. Maka kami mengatakan : Apabila memang niatnya mencari ijazah itu untuk memberikan kemanfaatan kepada makhluk dari sisi mengajarkan ilmu atau terkait dengan administrasi maka niat yang demikian ini adalah niat yang selamat dan tidak memudharatkan dikarenakan niatnya benar.
Para pembaca hafidhakumullah.
Demikian faedah emas dari seorang ulama Rabbani yang patut dicamkan, yang senantiasa berusaha membimbing umat agar tidak keliru berniat pada amalan yang sangat utama dan sangat mulia yaitu dalam menuntut ilmu (bisa dibaca pula dengan : dalam bersekolah). Dari sini diketahui bahwa niatan mencari ijazah sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin karena hal yang dijelaskan di atas adalah suatu yang diperbolehkan.
Tinggalah kita melihat kepada niatan diri-diri kita di dalam kita menuntut ilmu untuk mencari ijazah tersebut. Kalau dalam belajar agama ini semata mencari ijazah untuk mengharapkan kedudukan-kedudukan dunia maka masuklah dalam ancaman yang keras sebagaimana disebutkan dalam hadits yang beliau –rahimahullah- bawakan sebagaimana penjelasan beliau di atas. Dan yang perlu untuk diperhatikan pula dalam upaya meraih selembar ijazah tersebut adalah kejujuran-kejujuran pada perjalanan untuk meraihnya. Karena kejujuran itu akan membimbing kepada kebaikan dan kebaikan itu akan menghantarkan kedalam syurga, sebaliknya kedustaan itu akan menyeret kepada berbagai bentuk perbuatan fajir. Dan kefajiran itu akan menyeret ke dalam api neraka. Sehingga marilah kita bersama untuk senantiasa mempelajari bab keikhlasan.
Para pembaca hafidzakumullah,
Terlebih kedudukan kita sebagai seorang suami atas isterinya, sebagai orang tua atas anak-anaknya, sebagai seorang isteri dalam tanggung jawabnya sebagai isteri untuk mendampingi suaminya, sekaligus sebagai ibu atas anak-anaknya. Di pundak-pundak kita semuanya tanggung jawab tarbiyyah terhadap generasi anak-anak kita untuk mengemban dakwah ilallah. Berilah kepada anak-anak kita pembelajaran untuk senantiasa belajar ikhlas dalam belajar agama ini. Sebagai penutup atas pesan tulisan singkat ini. kita hendaklah senantiasa mengingat permohonan Nabi Ibrahim dalam doanya :
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الْأَصْنَامَ
Ya Rabb kami jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari beribadah kepada patung (Ibrahim : 35)
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
Ya Rabb jadikanlah kami adalah orang-orang yang menegakkan sholat dan demikian pula anak keturunan kami ( Ibrahim 40)
Sumber Oleh: salafy
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Risalah dari Yaman

Kisah Dari Yaman, Mungkin Ini Lebih Baik

Oleh Ustadz Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai

Pertengahan awal bulan Agustus 2007.

Satu rombongan kecil,hanya satu mobil,bergerak menjauh meninggalkan sebuah hotel di Shan’a,ibukota Yaman. Tujuan mereka adalah bandara internasional Yaman.Sebab,ada empat orang yang akan terbang menuju Indonesia,kampung halaman masing-masing. Setibanya di bandara,setelah urus sana urus sini,ternyata rombongan kecil tersebut tidak memperoleh ijin untuk masuk bandara.Karena,satu dan lain halnya,tentunya.

Sungguh kecewa berpadu dengan kesedihan. Ingin rasanya hari itu juga terbang dan tiba di Indonesia namun pesawat yang akan kami naiki justru telah terbang menembus awan-awan tipis di Shan’a. Seorang kawan dari Yaman yang turut menemani, kemudian berusaha meneduhkan hati,”Bersabarlah.Mungkin,ini lebih baik!”


Lalu sang kawan pun menceritakan sebuah kisah nyata tentang saudaranya. Kejadiannya sama persis dengan kejadian “pahit” yang baru saja kamu alami ; rencana penerbangan yang gagal. Namun,beberapa waktu selanjutnya tersiar berita jika pesawat yang akan saudaranya naiki mengalami kecelakaan.

Allahu Akbar!

Cerita sang kawan dari Yaman tadi lalu seolah menjadi pegangan hidup kala muncul goncangan-goncangan dalam langkah kehidupan.

Mungkin,ini lebih baik!

Pembaca,rahimakallahu…

Inilah kehidupan dunia! Terkadang kenyataan tak seindah angan-angan. Ada sebuah keinginan indah –menurut kita- yang diharap-harap untuk terwujud namun keinginan tersebut juga tak kunjung tiba. Ada juga sesuatu yang coba kita hindari karena buruk –masih menurut kita- malah terjadi. Memang,terkadang kenyataan tak seindah angan-angan. Masihkah Anda mengingat apa yang terjadi dalam peristiwa Hudaibiyah? Kala umat Islam yang dipimpin langsung oleh Rasulullah mengadakan perjanjian bersejarah bersama kaum musyrikin Quraisy?

Ada beberapa butir perjanjian –dzahirnya demikian- sangat merugikan kaum muslimin. Sampai-sampai Umar bin Khatab menemui Rasulullah dan menyatakan,”Bukankah Anda adalah nabi Allah? Bukankah kita di atas kebenaran sementara mereka di atas kebatilan? Bukankah yang mati dari kita masuk surga sementara yang mati dari mereka masuk neraka?”

Rasulullah dengan tegas menjawab,

يَا ابْنَ الْخَطَّابِ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ وَلَنْ يُضَيِّعَنِي اللَّهُ أَبَدًا

”Wahai putra Al Khatab,sesungguhnya aku adalah utusan Allah.Dan Allah tidak akan mungkin mensia-siakan aku”[1]

Dan,subhanallah…

Perjanjian Hudaibiyah ternyata menjadi sebuah pendahuluan untuk menatap sebuah kemenangan besar. Perjanjian Hudaibiyah adalah titik kilas balik dari karunia Allah untuk kemudian disempurnakan dengan jatuhnya kota Mekkah ke pangkuan kaum muslimin.

Melalui perjanjian Hudaibiyah,kaum muslimin dapat menyampaikan dakwah dan memperdengarkan Al Qur’an kepada orang-orang kafir. Lalu banyaklah yang kemudian tertarik lalu masuk Islam.

Pembaca,hafidzakallahu…

Justru yang terpenting adalah keyakinan kita,sebagai hamba, jika segala sesuatunya hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Adapun kita sangatlah terbatas kemampuan dan pengetahuannya.Sudut pandang kita dalam menilai sangatlah sempit. Terkadang –dengan sudut pandang kita yang sempit- menilai sesuatu sangat baik dan indah untuk kita.Padahal belum tentu,bukan?

Kadang pula masih dengan sudut pandang sempit kita- menghukumi sesuatu sebagai hal yang buruk dan merugikan.Padahal belum tentu! Sebab,baik dan buruk atau indah dan pahit hanya Allah yang menentukan.

Inilah salah satu pelajaran penting dari kisah penciptaan Adam sebagai khalifah di atas muka bumi. Saat itu Allah menyampaikan kepada para malaikat akan kehendak Nya ; mengangkat seorang khalifah di atas muka bumi.

Para malaikat,dengan segala penghormatan dan pengagungan,menyatakan ;

“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau”

Allah menjawab dengan firman Nya:

إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. 2:30)

Pembaca, baarakallahu fiik…

Seharusnya,ayat di atas selalu teringat di saat kita berharap untuk meraih impian atau berharap terhindar dari kepahitan. Ingatlah selalu! Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang tidak kita ketahui. Yakinlah selalu! Segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Cepat atau lambat hikmah dan rahasia itu akan tersingkap.Sekalipun tidak di dunia fana,tentu di akhirat sana.

Siapa yang tak ingin harta? Tiap-tiap jiwa yang mampu bernafas tentu sangat tertarik dengan harta. Usaha demi usaha lalu dilanjutkan lagi dengan usaha,ternyata harta belum juga diraih. Hidup dalam kefakiran dan kekurangan. Siapa yang tak ingin kaya? Siapa pula yang ingin hidup menderita?

Berbaiklah prasangka dengan kefakiran Anda! Mungkin,itu lebih baik!

Hiburlah hati dengan mendengar sabda Nabi,

اِثْنَتَانِ يَكْرَهُهُمَا ابْنُ آدَمَ المَوْتُ وَالمَوْتُ خَيْرٌ مِنَ الفِتْنَةِ وَيَكْرَهُ قِلَّةَ المَالِ وَقِلَّةُ المَالِ أَقَلُّ لِلْحِسَابِ

“Ada dua hal yang tidak disuka manusia.Kematian,padahal kematian lebih baik daripada ujian akan agama.Kurang harta,padahal sedikit harta akan lebih mempermudah dalam hisab”[2]

Hiburlah hati dengan mendengar firman Allah,

وَلَوْ بَسَطَ اللهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي اْلأَرْضِ وَلَكِن يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّايَشَآءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ

Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran.Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat (QS. 42:27)

Ya…mungkin,ini lebih baik! Belum tentu jika kita berharta,kita akan mampu menggunakannya di jalan Allah. Barangkali jika berharta,kita justru lupa dan lalai dari Nya.

Pembaca,rahimakallahu…

Demikianlah sikap dan karakter seorang muslim! Menyerahkan dan pasrah dengan sepenuh hati dengan keputusan Allah.Kita hanya berencana dan Allah yang mengatur. Kita ingin ini ingin itu,berharap ini juga berharap itu .Sangat banyak keinginan kita. Kita pun tidak ingin begini tidak ingin begitu,tidak mau ke sana tidak mau ke sini.Banyak hal yang tidak kita inginkan.

Namun,camkanlah dengan kuat ayat Allah berikut ini,

وَعَسَى أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. 2:216)

Syaikh As Sa’di menerangkan ayat ini,

“Ayat-ayat ini berlaku secara umum. Perbuatan-perbuatan kebaikan,yang tidak disuka oleh jiwa karena dirasa berat,sesungguhnya adalah kebaikan,tanpa ada keraguan sedikit pun.

Demikian pula,amalan-amalan buruk,walau disenangi oleh jiwa karena ada bayangan semu akan ketenangan dan kelezatan,sesungguhnya adalah kejahatan,tanpa ada sedikit pun keraguan.”

Adapun urusan dunia tidak selamanya demikian. Terkadang, seorang hamba mukmin jika ia menginginkan sesuatu lalu Allah menghadirkan sebuah sebab yang menghalangi dirinya untuk meraih apa yang ia harapkan,justru hal itu lebih baik untuknya.

Semestinya,ia malah bersyukur dan meyakini bahwa keputusan yang terjadi adalah lebih baik. Sebab,hamba mukmin sangat meyakini jika Allah lebih mengasihi dirinya dibandingkan ia terhadap dirinya sendiri.Ia pun yakin jika Allah Maha Tahu dan Maha Mampu untuk memberikan yang terbaik untuknya”[3]

Pembaca,hafidzakallahu…

Jelasnya,tugas hamba adalah berusaha dan berikhtiar. Tidak lupa ia hiasi dengan doa dan permohonan kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Kemudian,apapun keputusan dari Nya,setiap hamba harus berprasangka baik.

Mungkin,ini lebih baik!

Rasulullah bersabda,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ

“Semangatlah! Untuk meraih hal-hal bermanfaat bagi dirimu.Mohonlah pertolongan selalu kepada Allah.Jangan merasa lemah![4]

Mudah-mudahan kita selalu berada di dalam lingkaran ridha dan sabar atas ketentuan-ketentuan Allah Ta’ala.Sedih dan kecewa lumrah saja jika muncul karena harapan yang “belum” terwujud.Namun,sedih dan kecewa itu hanyalah sementara.Tidak akan berkepanjangan.

Sebab kita yakin ; mungkin,ini lebih baik!

Wallahu a’lam


Catatan Kaki;

[1] Bukhari (10/210) Muslim (2/141) dari sahabat Sahl bin Hunaif

[2] Hadits Mahmud bin Labid riwayat Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani

[3] Tafsir As Sa’di

[4] Hadits Abu Hurairah riwayat Muslim


Dinukil dari; "Salafy.or.id"

Artikel Terkait; " "

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Malu adalah Identitas Muslim

Malu adalah Identitas Muslim
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar malu”. Kami berkata, “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya kami malu, Alhamdulillah (segala puji bagi Allah)”. Rasulullah SAW bersabda, “Bukan begitu, tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu itu ialah kamu menjaga kepala dan apa yang ada di dalamnya, kamu menjaga perut dengan segala isinya, dan hendaklah kamu mengingat mati dan kehancuran. Barangsiapa menghendaki akhirat dengan meninggalkan kemewahan dunia, orang yang berbuat demikian, maka ia telah malu yakni kepada Allah dengan sebenar-benar malu”. [HR Tirmidzi juz 4, hal. 53, no. 2575]

Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang paling sempurna. Kesempurnaan itu tampak dari dianugerahkannya akal, sehingga manusia seharusnya mampu memilah antara yang hak dan batil. Berbeda dengan makhluk tumbuhan dan binatang, dimana nafsu lebih mendominasi tanpa akal.
Malu merupakan sifat yang mulia. Sifat yang telah diwariskan oleh para Nabi. Islam menganjurkan umatnya agar menjadikan malu sebagai penghias hidupnya. Hiasan yang membawa kebaikan bagi pemiliknya dan menjadi jalan menuju surga.

Rasa malu memang merupakan rem yang sangat ampuh dalam mengontrol perilaku kita. Sekiranya tidak ada rasa malu pada diri kita, tentu apa yang diisyaratkan hadis di atas akan benar-benar terjadi. Kita akan melakukan apa saja yang diinginkan tanpa kekangan. Kalau sudah seperti itu, maka berbagai penyelewengan dan penyimpangan tentu akan dilakukan tanpa adanya perasaan bersalah.

Bahkan mungkin, berbagai penyimpangan dikemas dalam tampilan yang soleh dan agamis. Tanpa adanya rasa malu, apa yang tidak layak menjadi pantas, dan apa yang terlarang menjadi boleh dan dipandang baik. Tuntunan menjadi tontonan, dan sebaliknya tontonan menjadi tuntunan.

Penting untuk dipahami bahwa rasa malu disini dalam konteks apa-apa yang dibenci Allah SWT bukan dalam hal-hal yang benar. Sehingga didalam perjuangan menegakkan kebenaran dan kejujuran wajib dikedepankanlah keberanian. Tidak semestinya seorang malu untuk menuntut apa yang memang menjadi haknya. Tapi, ia seharusnya malu jika mengambil apa-apa yang bukan haknya, walaupun tidak ada seorang manusiapun yang mengetahui perbuatannya.

Alangkah indah sekiranya kaum Muslimin memilika rasa malu yang kuat, sehingga rasa malu itu menjadi penuntun kearah perilaku yang mulia. Setiap kali bisikan-bisikan buruk menggoda, maka akan kita katakan, “Sungguh saya malu pada Allah untuk berbuat yang semacam ini.”

Sudah saatnya malu menjadi budaya yang harus selalu dijaga dan dipelihara, baik oleh individu, kelompok, terlebih bangsa ini. Kita sadari betapa tidak berhentinya petaka, bencana, yang melanda bangsa ini mungkin salah satunya diakibatkan oleh hilangnya rasa malu.

Seorang siswa yang tahu nikmatnya mencari ilmu tidak akan pernah malu dalam bertanya. Kenapa harus takut dan malu untuk memburu ilmu yang sedang dipelajari? Sebaliknya dia akan malu ketika ada bisikan-bisikan untuk mencontek atau memberikan contekan juga.

Seorang Muslim akan merasa malu ketika melihat tontonan acara tv yang tersuguh dalam bentuk gossip dan fitnah. Acara mengumbar maksiyat dan kedurhakaan sudah pasti dimatikan bagi yang masih mempuyai rasa malu.

Seorang pejabat merasa malu jika menyelewengkan kekuasaan terkait profesinya. Jabatannya merupakan amanah yang harus diemban. Dia menjadi pejabat bukan karena kehebatannya, melainkan kepercayaan konstituen kepadanya.

Seorang wanita merasa malu mempertononkan auratnya pada orang yang tidak memiliki hak atasnya. Dia berpikir bahwa ini merupakan karunia Allah SWT yang harus dijaga sesuai aturan yang telah digariskan.
Seorang pengusaha merasa malu jika terlambat memberi upah pada karyawannya. Kesuksesan usahanya adalah berkat kerja keras para karyawannya. Tak ada artinya dia tanpa bantuan karyawan.

Seorang penguasa merasa malu jika tidak memberikan pelayanan terbaiknya kepada rakyat. Kekuasaan yang dimilikinya sangat terbatas oleh ruang dan waktu. Namun, kekuasaan Allah SWT bersifat kekal. Ketakutannya kepada Allah SWT mendorongnya untuk berbuat adil dan bijaksana. Semua akan ditanyakan di alam akherat tidak tersisa bab sekecil apapun.

Apakah masih ada rasa malu di hati kita? Jika kita tidak malu melakukan maksiyat kecil maka bersiaplah akan hanyut dalam kemungkaran dan maksiyat yang lebih besar.
Satu lagi, kalau malu hanya berpatokan pada pandangan manusia, maka hal itu akan melahirkan manusia-manusia yang bersikap munafik. Di depan banyak orang, dia akan bersikap baik, santun, ramah, dan sebagainya. Begitu tidak terlihat banyak manusia, dia akan berkhianat, korupsi, menyengsarakan orang lain, serta melakukan kejahatan kejam lainnya.

Rasa malu merupakan identitas bagi setiap Muslim.

Dari Zaid bin Thalhah bin Rukanah, ia mengatakannya dari Nabi SAW, Rasulullah SAW bersabda, “Bagi tiap-tiap agama itu ada akhlaqnya, dan akhlaq Islam adalah malu”. [HR Malik, di dalam Muwaththa' : 905]

Artinya, rasa malu merupakan bagian yang tak boleh terpisahkan dari diri setiap Muslim.
Begitu hilang rasa malunya, maka hilang pula kepribadiannya sebagai seorang Muslim. Ia akan terbiasa berbuat dosa, baik terang-terangan maupun tersembunyi. Makanya, sangat wajar jika Rasulullah SAW murka terhadap orang yang tak punya rasa malu.

Dari Abu Mas’ud, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya diantara apa-apa yang didapati orang-orang dari perkataan para Nabi dahulu ialah : Apabila kamu sudah tidak malu, maka berbuatlah sekehendakmu”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 100]

Betul! Silahkan berbuat sesukamu tanpa malu sehingga Allah akan murka. Dan bersiaplah untuk menjalani hidup yang sempit di akhirat dan didunia. Mari kita jaga dan budayakan sifat MALU ketika akan berbuat kemungkaran dan selalu BERANI dalam memperjuangkan kebenaran.

Sumber : R,Chan

Baca artikel di bawah ini juga ya....!

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

KISAH NABI ADAM ALAIHI SALAM

 BUAH TEEN Kisah Nabi Adam: Dari Awal Penciptaan Hingga Turun ke Bumi Kisah Nabi Adam menceritakan terciptanya manusia pertama y...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger