Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Batasan Minimal Lama I’tikaf

Written By sumatrars on Selasa, 14 Agustus 2012 | Agustus 14, 2012

Kategori : Bahasan Utama

I’tikaf berarti berdiam diri di masjid untuk beribadah kepada Allah. Dengan beri’tikaf, seseorang akan konsentrasi melakukan ibadah pada Allah. Dirinya akan lebih banyak mengintrospeksi diri kala bersendirian. Demikianlah salah satu sunnah yang dilakukan oleh Nabi kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam- di akhir-akhir Ramadhan. Dalam Shahih Bukhari, terdapat hadits dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.

Lalu berapa lama waktu i’tikaf? Berapa lama minimalnya sehingga bisa disebut i’tikaf yang sah?

Perselisihan Para Ulama
Mengenai waktu minimal disebut i’tikaf terdapat empat pendapat di antara para ulama.

Pendapat pertama: Yang dianut oleh jumhur (mayoritas) ulama hanya disyaratkan berdiam di masjid. Jadi telah dikatakan beri’tikaf jika berdiam di masjid dalam waktu yang lama atau sebentar walau hanya beberapa saat atau sekejap (lahzhah). Imam Al Haramain dan ulama lainnya berkata, “Tidak cukup sekedar tenang seperti dalam ruku’ dan sujud atau semacamnya, tetapi harus lebih dari itu sehingga bisa disebut i’tikaf”.

Pendapat kedua: Sebagaimana diceritakan oleh Imam Al Haramain dan selainnya bahwa i’tikaf cukup dengan hadir dan sekedar lewat tanpa berdiam (dalam waktu yang lama). Mereka analogikan dengan hadir dan sekedar lewat saat wukuf di Arafah. Imam Al Haramain berkata, “Menurut pendapat ini, jika seseorang beri’tikaf dengan sekedar melewati suatu tempat seperti ia masuk di satu pintu dan keluar dari pintu yang lain, ketika itu ia sudah berniat beri’tikaf, maka sudah disebut i’tikaf. Oleh karenanya, jika seseorang berniat i’tikaf mutlak untuk nadzar, maka ia dianggap telah beri’tikaf dengan sekedar lewat di dalam masjid”.

Pendapat ketiga: Diceritakan oleh Ash Shaidalani dan Imam Al Haramain, juga selainnya bahwa i’tikaf dianggap sah jika telah berdiam selama satu hari atau mendekati waktu itu.

Pendapat keempat: Diceritakan oleh Al Mutawalli dan selainnya yaitu disyaratkan i’tikaf lebih dari separuh hari atau lebih dari separuh malam. Karena kebiasaan mesti dibedakan dengan ibadah. Jika seseorang duduk beberapa saat untuk menunggu shalat atau mendengarkan khutbah atau selain itu tidaklah disebut i’tikaf, haruslah ada syarat berdiam lebih dari itu sehingga terbedakanlah antara ibadah dan kebiasaan (adat). Demikian disebutkan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab (6: 513)[1].

Pendapat Jumhur Ulama
Sebagaimana dikemukakan di atas, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat minimal waktu i’tikaf adalah lahzhah, yaitu hanya berdiam di masjid beberapa saat. Demikian pendapat dalam madzhab Abu Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad.

Imam Nawawi berkata, “Waktu minimal itikaf sebagaimana dipilih oleh jumhur ulama cukup disyaratkan berdiam sesaat di masjid. Berdiam di sini boleh jadi waktu yang lama dan boleh jadi singkat hingga beberapa saat atau hanya sekejap hadir” (Lihat Al Majmu’ 6: 489).

Alasan jumhur ulama:
  1. I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqomah (berdiam). Berdiam di sini bisa jadi dalam waktu lama maupun singkat. Dalam syari’at tidak ada ketetapan khusus yang membatasi waktu minimal i’tikaf.
    Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqamah (berdiam). Setiap yang disebut berdiam di masjid dengan niatan mendekatkan diri pada Allah, maka dinamakan i’tikaf, baik dilakukan dalam waktu singkat atau pun lama. Karena tidak ada dalil dari Al Qur’an maupun As Sunnah yang membatasi waktu minimalnya dengan bilangan tertentu atau menetapkannya dengan waktu tertentu” (Al Muhalla, 5: 179).
  2. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata,
    إني لأمكث في المسجد الساعة ، وما أمكث إلا لأعتكف
    Aku pernah berdiam di masjid beberapa saat. Aku tidaklah berdiam selain berniat beri’tikaf
    Demikian menjadi dalil Ibnu Hazm dalam Al Muhalla (5: 179). Al Hafizh Ibnu Hajr juga menyebutkannya dalam Fathul Bari lantas beliau mendiamkannya.
  3. Allah Ta’ala berfirman,
    وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
    Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187).
Ibnu Hazm berkata, “Allah Ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beri’tikaf (dalam ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa” (Al Muhalla, 5: 180).
Beberapa Syubhat
Mengenai hadits Ibnu ‘Umar di mana ayahnya (‘Umar bin Al Khattab) berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، قَالَ « فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ »

Aku dahulu pernag bernadzar di masa Jahiliyah untuk beri’tikaf selama satu malam di masjidil harom.” Beliau pun bersabda, ‘Tunaikanlah nadzarmu’” (Muttafaqun ‘alaih)
Ibnu Hazm berkata, “Dalil ini adalah umum yaitu perintah untuk menunaikan nadzar berupa i’tikaf. Dan dalil tersebut tidak khusus menerangkan jangka waktu i’tikaf. Sehingga kelirulah yang menyelisihi pendapat kami ini” (Al Muhalla, 5: 180).

Dijelaskan pula oleh Ibnu Hazm rahimahullah:
Jika ada yang beralasan bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah beri’tikaf kurang dari sepuluh hari. Ibnu Hazm menjawab, “Iya betul. Namun Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak melarang jika kita melakukan i’tikaf kurang dari itu. Sebagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah beri’tikaf di selain masjid Nabawi. Seharusnya di selain masjid Nabawi tidak diperkenankan untuk i’tikaf. Rasul pun tidaklah pernah i’tikaf selain Ramadhan dan Syawal. Seharusnya selain dua bulan tersebut dilarang pula beri’tikaf. i’tikaf adalah suatu amalan kebajikan maka janganlah dilarang kecuali dengan nash (dalil) yang tegas yang menunjukkan larangan” (Al Muhalla, 5: 180).

Ibnu Hazm rahimahullah berkata pula, “Kami katakan bahwa beri’tikaf selama sepuluh hari itu boleh-boleh saja. Namun menyatakan tidak bolehnya beri’tikaf kurang dari sepuluh hari itu butuh dalil. Padahal Allah hanya menyebutkan secara mutlak dalam ayat (yang artinya), “(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Allah tidak membatasi i’tikaf dalam ayat ini dengan batasan waktu tertentu. Dalam ayat hanya disebutkan secara mutlak. Dan tidak boleh membuat batasan kecuali dengan dalil” (Al Muhalla, 3: 642).

Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz dalam Majmu’ Fatawa-nya (15: 441) berkata, “I’tikaf adalah berdiam di masjid dalam rangka melakukan ketaatan pada Allah Ta’ala baik berdiam lama atau sebentar. Karena tidak ada dalil dalam hal ini sejauh yang kuketahui yang menunjukkan batasan waktu minimal baik dalil yang menyatakan sehari, dua hari atau lebih dari itu. I’tikaf adalah ibadah yang disyari’atkan. Jika seseorang berniatan untuk bernadzar, maka i’tikaf yang dinadzarkan menjadi wajib. I’tikaf itu sama antara laki-laki dan perempuan.

Kesimpulan Pendapat
Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat)” (Al Inshaf, 6: 17).

Sehingga jika ada yang bertanya, bolehkah beri’tikaf di akhir-akhir Ramadhan hanya pada malam hari saja karena pagi harinya mesti kerja? Jawabannya, boleh. Karena syarat i’tikaf hanya berdiam walau sekejap, terserah di malam atau di siang hari. Dan moga dari penjelasan ini terjawab pula pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Wallahu waliyyut taufiq.

@ Pesantren Darush Shalihin, Dusun Warak, Desa Girisekar, Panggang-Gunung Kidul
Sabtu, 22 Ramadhan 1433 H

[1] Lihat penjelasan Syaikh Kholid Mushlih di sini.

Sumber Artikel Muslim.Or.Id

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

7 Keistimewaan Lailatul Qadar

7 Keistimewaan Lailatul Qadar
Setiap muslim pasti menginginkan malam penuh kemuliaan, Lailatul Qadar. Malam ini hanya dijumpai setahun sekali. Orang yang beribadah sepanjang tahun tentu lebih mudah mendapatkan kemuliaan malam tersebut karena ibadahnya rutin dibanding dengan orang yang beribadah jarang-jarang.

Edisi kali ini kita akan melihat keistimewaan Lailatul Qadar yang begitu utama dari malam lainnya.

1. Lailatul Qadar adalah waktu diturunkannya Al Qur’an
Ibnu ‘Abbas dan selainnya mengatakan, “Allah menurunkan Al Qur’an secara utuh sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah yang ada di langit dunia. Kemudian Allah menurunkan Al Qur’an kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tersebut secara terpisah sesuai dengan kejadian-kejadian yang terjadi selama 23 tahun.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 403). Ini sudah menunjukkan keistimewaan Lailatul Qadar.

2. Lailatul Qadar lebih baik dari 1000 bulan
Allah Ta’ala berfirman,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadar: 3).
An Nakha’i mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.” (Latha-if Al Ma’arif, hal. 341). Mujahid, Qotadah dan ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar. (Zaadul Masiir, 9: 191). Ini sungguh keutamaan Lailatul Qadar yang luar biasa.

3. Lailatul Qadar adalah malam yang penuh keberkahan
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhon: 3).

Malam penuh berkah ini adalah malam ‘lailatul qadar’ dan ini sudah menunjukkan keistimewaan malam tersebut, apalagi dirinci dengan point-point selanjutnya.

4. Malaikat dan juga Ar Ruuh -yaitu malaikat Jibril- turun pada Lailatul Qadar
Keistimewaan Lailatul Qadar ditandai pula dengan turunnya malaikat. Allah Ta’ala berfirman,
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril” (QS. Al Qadar: 4)
Banyak malaikat yang akan turun pada Lailatul Qadar karena banyaknya barokah (berkah) pada malam tersebut. Karena sekali lagi, turunnya malaikat menandakan turunnya berkah dan rahmat. Sebagaimana malaikat turun ketika ada yang membacakan Al Qur’an, mereka akan mengitari orang-orang yang berada dalam majelis dzikir -yaitu majelis ilmu-. Dan malaikat akan meletakkan sayap-sayap mereka pada penuntut ilmu karena malaikat sangat mengagungkan mereka. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407)

Malaikat Jibril disebut “Ar Ruuh” dan dispesialkan dalam ayat karena menunjukkan kemuliaan (keutamaan) malaikat tersebut.

5. Lailatul Qadar disifati dengan ‘salaam’
Yang dimaksud ‘salaam’ dalam ayat,
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر
Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. Al Qadr: 5)
yaitu malam tersebut penuh keselamatan di mana setan tidak dapat berbuat apa-apa di malam tersebut baik berbuat jelek atau mengganggu yang lain. Demikianlah kata Mujahid (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407). Juga dapat berarti bahwa malam tersebut, banyak yang selamat dari hukuman dan siksa karena mereka melakukan ketaatan pada Allah (pada malam tersebut). Sungguh hal ini menunjukkan keutamaan luar biasa dari Lailatul Qadar.

6. Lailatul Qadar adalah malam dicatatnya takdir tahunan
Allah Ta’ala berfirman,
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah” (QS. Ad Dukhan: 4).
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya (12: 334-335) menerangkan bahwa pada Lailatul Qadar akan dirinci di Lauhul Mahfuzh mengenai penulisan takdir dalam setahun, juga akan dicatat ajal dan rizki. Dan juga akan dicatat segala sesuatu hingga akhir dalam setahun. Demikian diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Malik, Mujahid, Adh Dhahhak dan ulama salaf lainnya.

Namun perlu dicatat -sebagaimana keterangan dari Imam Nawawi rahimahullah­ dalam Syarh Muslim (8: 57)- bahwa catatan takdir tahunan tersebut tentu saja didahului oleh ilmu dan penulisan Allah. Takdir ini nantinya akan ditampakkan pada malikat dan ia akan mengetahui yang akan terjadi, lalu ia akan melakukan tugas yang diperintahkan untuknya.

7. Dosa setiap orang yang menghidupkan malam ‘Lailatul Qadar’ akan diampuni oleh Allah
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)

Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan bahwa yang dimaksud ‘iimaanan’ (karena iman) adalah membenarkan janji Allah yaitu pahala yang diberikan (bagi orang yang menghidupkan malam tersebut). Sedangkan ‘ihtisaaban’ bermakna mengharap pahala (dari sisi Allah), bukan karena mengharap lainnya yaitu contohnya berbuat riya’. (Fathul Bari, 4: 251)[1]

Ya Allah, mudahkanlah kami meraih keistimewaan Lailatul Qadar dengan bisa mengisi hari-hari terakhir kami di bulan Ramadhan dengan amalan shalih.
Aamin Yaa Mujibas Saa-ilin.

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunung Kidul, 19 Ramadhan 1433 H
[1] Bahasan ini termotivasi dari tulisan Syaikh Sholih Al Munajjid pada Fatwa Al Islam Sual wa Jawab.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Kumpulan Artikel Zakat Fitri, Lebaran Dan Puasa Syawwal

 Haruskah Orang Tua Meminta Izin kepada Anak?
Pembaca mulia, di masa ini tentu sudah tidak asing bagi kita cerita mengenai sikap pembangkangan anak terhadap orang tua. Di antara sikap pembangkangan anak adalah anak tidak pernah meminta izin kepada orang tua ketika akan mengambil barang milik orang tua, atau anak melakukan suatu kegiatan tanpa izin orang tua. Jika Anda adalah orang tua, tentu hati Anda akan terasa sakit apabila anak yang diharapkan akan tulus mencurahkan bakti dan kasih sayangnya pada Anda, tetapi ia malah membangkang, tidak menuruti perintah Anda, bahkan sering berdusta kepada Anda.

Namun, terkadang sebagian orang tua –mudah-mudahan kita terlindung darinya- tidak menyadari bahwa di antara sebab pembangkangan anaknya itu adalah perilaku orang tua sendiri yang memberikan contoh yang buruk bagi anak .

Maka, untuk para orang tua…
Janganlah Engkau berharap anakmu menjadi pemuda yang menghormati dirimu…
Sementara kau pun tidak menghargai anakmu…
Tidakkah kau tahu bahwa
وينشَأُ ناشئُ الفتيانِ منا … على ما كان عوَّدَه أبوه
Para pemuda di antara kami tumbuh…
dengan kebiasaan yang dibiasakan ayah mereka[1]

Perhatikanlah di antara contoh pendidikan Nabi dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu di bawah ini.
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتي بشراب فشرب منه وعن يمينه غلام وعن يساره الأشياخ فقال للغلام ( أتأذن لي أن أعطي هؤلاء ) . فقال الغلام والله يا رسول الله لا أوثر بنصيبي منك أحدا . قال فتله رسول الله صلى الله عليه وسلم في يده
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi minuman, lalu beliau pun meminumnya. Di sebelah kanan beliau ada anak kecil, sedangkan di sebelah kiri beliau terdapat para syaikh (orang-orang tua). Beliau berkata kepada anak kecil tersebut, “Apakah Engkau mengizinkanku untuk memberikan ini kepada mereka?” Anak itu berkata, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan pernah mengorbankan bagiankudarimu kepada seorang pun!” (Sahl bin Sa’ad) berkata, “Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam meletakkan air itu di tangan anak tersebut”.
(H.R Bukhari)[2]
Dalam hadits yang mulia ini, terdapat contoh teladan dari Nabi bahwa hendaknya orang yang tua umurnya pun meminta izin kepada seorang anak kecil ketika akan mengambil sesuatu milik anak tersebut. Ini tidak hanya akan menimbulkan kesan di hati anak, tetapi sekaligus menanamkan adab islami pada dirinya. Oleh karena itu, Syaikh Musthafa bin Al-Adawi (الشيخ مصطفى بن العدوي) hafizhahullah berkata,
ففي هذا إشعار للغلام بالاهتمام به من ناحية, و تعليمه لآدب الإسلمية من ناحية أخرى
Sikap tersebut memberikan isyarat (dalam cara pendidikan orang tua) akan adanya “perhatian” orang tua kepada anak dari satu sisi, dan “pengajaran adab islami” di sisi yang lain.[3]

Berilah Anak Penjelasan, Jika Kau Memang Harus Mengambil Sesuatu Darinya
Jika sebelumnya dijelaskan bahwa orangtua hendaknya meminta izin kepada anak, ini bukan berarti orang tua tidak boleh mengambil sesuatu milik anak jika memang ada hal syar’i yang mendorongnya untuk itu. Namun, orangtua hendaknya bisa memberikan penjelasan yang bisa diterima anak. Jangan sampai ia hanya menonjolkan umurnya yang tua, kekuasaan dan kegarangannya semata karena bisa jadi hal itu malah membuat anak menuruti perintahnya karena “murni” takut padanya. Inilah di antara sebab pembangkangan anak di kala mereka nanti mulai dewasa. Di saat umur anak semakin dewasa, ia semakin merasa memiliki kekuatan sehingga berani melawan.

Maka, Renungkanlah Sikap Nabi terhadap cucunya ini
Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu adalah seorang anak kecil yang sangat dicintai Nabi, apalagi ia adalah cucu beliau. Namun, kecintaan beliau tidak menghalanginya untuk memberikan pendidikan yang tegas kepada Al-Hasan. Perhatikanlah ketegasan beliau dalam hadits berikut ini.
أخذ الحسن بن علي تمرة من تمر الصدقة فجعلها في فيه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كخ كخ ارم بها أما علمت أنا لا نأكل الصدقة ؟
Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma mengambil sebuah kurma dari kurma sedekah, lalu meletakkannya di mulut. Selanjutnya, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam berkata,“Eh.. Eh.. Ayo buang! Tidakkah Engkau mengetahui bahwa sesungguhnya kita (keluarga Nabi) tidak memakan harta sedekah?”
(H.R. Muslim)[4]
Perhatikanlah hadits di atas, Nabi tidak hanya melarang Al-Hasan mengambil kurma sedekah, tetapi memberikan alasan mengapa tidak boleh mengambilnya. Beliau menjelaskan bahwa keluarga Nabi memiliki kekhususan yang tidak dimiliki kaum muslimin yang lain, yaitu keluarga Nabi tidak boleh menerima sedekah.

Tidakkah kita ingat pula bahwa dalam kesempatan lain, Nabi juga pernah menahan tangan seorang anak laki-laki dan wanita dari makanan, lalu beliau menjelaskan alasan mengapa harus melakukan demikian?

Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya dari Hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata,
“Jika kami menghadiri sebuah jamuan makan bersama Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, kami tidak akan meletakkan tangan kami pada makanan kecuali jika Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memulainya.
Pada suatu kesempatan, kami menghadiri jamuan makan bersama beliau, kemudian datanglah seorang anak wanita seakan-akan dia didorong sehingga meletakkan tangannya pada makanan. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil tangannya.
Selanjutnya, datanglah seorang Arab Badui, seakan-akan dia didorong lalu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa salllam mengambil tangannya dan bersabda,
Sesungguhnya setan akan memakan makanan yang tidak disebutkan padanya nama Allah, dan sesungguhnnya dia (setan) mendorong anak wanita ini agar dia bisa makan, lalu aku memegang tangannya. Kemudian, dia (setan) mendorong seorang Arab Badui agar dia bisa makan, lalu aku pun mengambil tangannya.” Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya tangannya (tangan setan) ada pada tanganku beserta tangannya.” [5]
Maka, Nabi menjelaskan alasan beliau menahan tangan keduanya, yaitu karena setiap orang yang akan makan tetapi tidak menyebut nama Allah, ia akan disertai setan, yaitu setan akan turut memakan makanannya itu.

Berikanlah Penjelasan Pula Di Saat Ingin Melarang
  • Kemudian, di samping harus mampu menjelaskan alasan dalam mengambil atau menahan sesuatu milik anak, hendaknya orang tua juga mampu menjelaskan alasan ketika akan melarang sesuatu pada anak. Misalnya, ketika orang tua melarang anak yang ingin ikut kegiatan di sekolahnya yang terdapat unsur maksiat, seperti pentas musik, acara ulang tahun kawan, drum band, cheerleader, makrab, lomba menggambar makhluk bernyawa, dan berbagai pelanggaran syariat lainnya, orang tua harus bisa menjelaskan alasan dari sisi syari’at, tidak hanya melarang semata. Di sinilah kita bisa merasakan pentingnya ilmu. Ini harus didahulukan karena menanamkan ketundukan anak terhadap aturan syariat merupakan hal yang paling pokok. Jangan sampai anak hanya patuh karena takut kepada orang tua, atau karena ada alsan logis yang sesuai dengan akal, tetapi di hati anak tidak ada rasa takut sama sekali kepada Allah. Dalam kondisi seperti ini, anak pun akan bermaksiat kembali di kala orang tua tidak melihat mereka, atau anak tahu alasan logisnya tetapi ia pun tetap melaksanakannya. Maka, banyak sekali kita temui anak-anak yang mulai coba-coba menggunakan narkotika, mereka sebenarnya tahu “secara logis” itu berbahaya bagi tubuh mereka. Akan tetapi, karena tidak ada rasa takut kepada Allahta’ala, mereka pun hanya takut ketahuan orang tua. Maka, jika orang tua tidak melihatnya, mereka kembali menggunakan narkotika tersebut, tanpa merasa bahwa Allah melihatnya.
  • Kami tidak mengatakan bahwa jangan beri penjelasan logis, tetapi dalil semata. Bukan! Bukan itu yang dimaksud. Bahkan, kami katakan, “Setelah mampu menjelaskan dari sisi syari’at, orang tua hendaknya dapat pula melarang anak dengan memberikan alasan logis, sesuai dengan batas daya tangkap anak.” Contoh yang paling sederhana, orang tua dapat memberikan alasan logis mengapa ia melarang anak menggunakan narkotika, yaitu karena narkotika bisa menimbulkan kecanduan dan merusak kesehatan badan. Namun, kalau hanya “alasan logis”, tanpa disertai alasan syar’i, niscaya bibit-bibit keshalihan anak tidak akan mucul dalam diri anak. Wallahu a’lam
Penutup
Demikianlah “secuplik” adab yang diajarkan Nabi kepada kita. Mudah-mudahan, kita semua diberi taufik untuk meneladani Nabi dalam setiap yang beliau ajarkan.

Ba’da maghrib, 14 Februari 2010
di Masjid Al-Ashri

Penulis: Ginanjar Indrajati B.
Sumber Artikel Muslim.Or.Id


[1] مجمع الحكم و الأمتال, via software المكتبة الشاملة, tanpa halaman.

[2] الجامع الصحيح المختصر, karya محمد بن إسماعيل أبو عبدالله البخاري الجعفي, cet. دار ابن كثير ، اليمامة – بيروت, jilid II, halaman 865, hadits nomor 2224
[3] فقه تربية الأبناء و طائفة من نصائح الأطباء, karya الشيخ مصطفى بن العدوي, cet دار ابن رجب لنشر و التوزيع, 1423 / 2002 M., hal. 103
[4] صحيح مسلم, karya مسلم بن الحجاج أبو الحسين القشيري النيسابوري  cet. دار إحياء التراث العربي – بيروت, tahqiq محمد فؤاد عبد الباقي, hadits nomor 1069.
[5] صحيح مسلم, karya مسلم بن الحجاج أبو الحسين القشيري النيسابوري  cet. دار إحياء التراث العربي – بيروت, tahqiq محمد فؤاد عبد الباقي, jilid III, hal. 1597 hadits nomor 2017. Berikut ini lafadz aslinya

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وأبو كريب قالا حدثنا أبو معاوية عن الأعمش عن خيثمة عن أبي حذيفة عن حذيفة قال
: كنا إذا حضرنا مع النبي صلى الله عليه وسلم طعاما لم نضع أيدينا حتى يبدأ رسول الله صلى الله عليه وسلم فيضع يده وإنا حضرنا معه مرة طعاما فجاءت جارية كأنها تدفع فذهبت لتضع يدها في الطعام فأخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم بيدها ثم جاء أعرابي كأنما يدفع فأخذ بيده فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( إن الشيطان يستحل الطعام أن لا يذكر اسم الله عليه وإنه جاء بهذه الجارية ليستحل بها فأخذت بيدها فجاء بهذا الأعرابي ليستحل به فأخذت بيده والذي نفسي بيده إن يده في يدي مع يدها
Dalam kitab Al Muhalla, Ibnu Hazm Al Andalusi berkata:

ليلة القدر واحدة في العام في كل عام، في شهر رمضان خاصة، في العشر الاواخر خاصة، في ليلة واحدة بعينها لا تنتقل أبدا إلا انه لا يدرى أحد من الناس أي ليلة هي من العشر المذكور؟ إلا انها في وتر منه ولا بد،

Lailatul Qadar itu ada hanya sekali dalam setahun, dan hanya khusus terdapat di bulan Ramadhan-nya serta hanya ada di sepuluh malam terakhirnya, tepatnya hanya satu hari saja dan tidak akan pernah berpindah harinya. Namun, tidak ada satu orang manusia pun yang tahu lailatul qadar jatuh di malam yang mana dari sepuluh malam tersebut. Yang diketahui hanyalah bahwa ia jatuh di malam ganjil.

فان كان الشهر تسعا وعشرين فأول العشر الاواخر بلا شك ليلة عشرين منه، فهى إما ليلة عشرين، وإما ليلة اثنين وعشرين، وإما ليلة أربع وعشرين، واما ليلة ست وعشرين، واما ليلة ثمان وعشرين، لان هذه هي الاوتار من العشر الاواخر

Andaikata Ramadhan itu 29 hari, maka dapat dipastikan bahwa awal dari sepuluh malam terakhir adalah malam ke-20. Sehingga, lailatul qadar dimungkinkan jatuh pada malam ke-20, atau ke-22, atau ke-24, atau ke-26, atau ke-28. Karena inilah malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir.

، وان كان الشهر ثلاثين فأول الشعر الاواخر بلا شك ليلة احدى وعشرين، فهى إما ليلة احدى وعشرين، واما ليلة ثلاث وعشرين، واما ليلة خمس وعشرين، واما ليلة سبع وعشرين، واما ليلة تسع وعشرين، لان هذه هي أوتار العشر بلاشك

Andaikata Ramadhan itu 30 hari, maka dapat dipastikan bahwa awal dari sepuluh malam terakhir adalah malam ke-21. Sehingga, lailatul qadar dimungkinkan jatuh pada malam ke-21, atau ke-23, atau ke-25, atau ke-27, atau ke-29. Karena inilah malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir.

[Sampai di sini perkataan Ibnu Hazm]
Kita semua tahu bahwa penentuan 1 Syawal atau penentuan berapa hari bulan Ramadhan itu ditentukan di akhir Ramadhan dengan ru’yatul hilal. Dengan kata lain, di tengah bulan Ramadhan kita belum tahu apakah bulan Ramadhan itu 29 atau 30 hari. Jika demikian, maka probabilitas jatuhnya lailatul qadar adalah sama di setiap malam pada sepuluh malam terakhir. Dengan kata lain, di malam tanggal genap pun bisa jadi saat itu lailatul qadar, berdasarkan penjelasan Ibnu Hazm di atas. Oleh karena itu, barangsiapa yang bertekad untuk mendapatkan lailatul qadar hendaknya mencari di sepuluh malam terakhir baik malam ganjil maupun genap.

Wallahu’alam.

Penulis: Yulian Purnama
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Posted: 08 Aug 2012 08:11 PM PDT
Ibrahim al-Khawwash rahimahullah berkata, “Hakekat kesabaran itu adalah teguh di atas al-Kitab dan as-Sunnah.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [3/7]). Ibnu ‘Atha’ rahimahullah berkata,Sabar adalah menyikapi musibah dengan adab/cara yang baik.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim[3/7]). Abu Ali ad-Daqqaq rahimahullah berkata, “Hakekat dari sabar yaitu tidak memprotes sesuatu yang sudah ditetapkan dalam takdir. Adapun menampakkan musibah yang menimpa selama bukan untuk berkeluh-kesah -kepada makhluk- maka hal itu tidak meniadakan kesabaran.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [3/7])
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Sabar secara bahasa artinya adalah menahan diri. Allah ta’ala berfirman kepada nabi-Nya (yang artinya), ‘Sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang berdoa kepada Rabb mereka’. Maksudnya adalah tahanlah dirimu untuk tetap bersama mereka. Adapun di dalam istilah syari’at, sabar adalah: menahan diri di atas ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan untuk meninggalkan kedurhakaan/kemaksiatan kepada-Nya. …” (I’anat al-Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid [3/134] software Maktabah asy-Syamilah)
Macam-Macam Sabar
al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Sabar yang dipuji ada beberapa macam: [1] sabar di atas ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla, [2] demikian pula sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla, [3] kemudian sabar dalam menanggung takdir yang terasa menyakitkan. Sabar dalam menjalankan ketaatan dan sabar dalam menjauhi perkara yang diharamkan itu lebih utama daripada sabar dalam menghadapi takdir yang terasa menyakitkan…” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 279)
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, Sesungguhnya Allah memiliki hak untuk diibadahi oleh hamba di saat tertimpa musibah, sebagaimana ketika dia mendapatkan kenikmatan.” Beliau juga mengatakan,“Maka sabar adalah kewajiban yang selalu melekat kepadanya, dia tidak boleh keluar darinya untuk selama-lamanya. Sabar merupakan penyebab untuk meraih segala kesempurnaan.” (Fath al-Bari [11/344]).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Adapun sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepada-Nya, maka hal itu sudah jelas bagi setiap orang bahwasanya keduanya merupakan bagian dari keimanan. Bahkan, kedua hal itu merupakan pokok dan cabangnya. Karena pada hakekatnya iman itu secara keseluruhan merupakan kesabaran untuk menetapi apa yang dicintai Allah dan diridhai-Nya serta untuk senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya, demikian pula harus sabar dalam menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah. Dan juga karena sesungguhnya agama ini berporos pada tiga pokok utama: [1] membenarkan berita dari Allah dan rasul-Nya, [2] menjalankan perintah Allah dan rasul-Nya, dan [3] menjauhi larangan-larangan keduanya…” (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 105-106)
Sabar merupakan akhlak para rasul
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah didustakan rasul-rasul sebelummu maka mereka pun bersabar menghadapi tindakan pendustaan tersebut, dan mereka pun disakiti sampai datanglah kepada mereka pertolongan Kami.” (QS. al-An’am: 34)
Sabar membuahkan kebahagiaan hidup
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3)
Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu mengatakan, “Kami berhasil memperoleh penghidupan terbaik kami dengan jalan kesabaran.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dengan nada tegas, dimaushulkan oleh Ahmad dalam az-Zuhd dengan sanad sahih, lihat Fath al-Bari [11/342] cet. Dar al-Hadits tahun 1424 H)
Sabar penopang keimanan
Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan maka dia pun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar, maka hal itu juga sebuah kebaikan untuknya.” (HR. Muslim [2999] lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim[9/241])
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sabar adalah separuh keimanan.” (HR. Abu Nu’aim dalamal-Hilyah dan al-Baihaqi dalam az-Zuhd, lihat Fath al-Bari [1/62] dan [11/342]). Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sabar bagi keimanan laksana kepala dalam tubuh. Apabila kesabaran telah lenyap maka lenyap pulalah keimanan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya [31079] dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman [40], bagian awal atsar ini dilemahkan oleh al-Albani dalam Dha’if al-Jami’ [3535], lihat Shahih wa Dha’if al-Jami’ as-Shaghir [17/121] software Maktabah asy-Syamilah).
Sabar penepis fitnah
Dari Abu Malik al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…Dan sabar itu adalah cahaya -yang panas-…” (HR. Muslim [223], lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [3/6] cet. Dar Ibn al-Haitsam tahun 2003). Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “… Fitnah syubhat bisa ditepis dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat dapat ditepis dengan bersabar. Oleh karena itulah Allah Yang Maha Suci menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua perkara ini. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami menjadikan di antara mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. as-Sajdah: 24). Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan bekal sabar dan keyakinan itulah akan bisa dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya di dalam firman-Nya (yang artinya), “Mereka saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 3). Saling menasehati dalam kebenaran merupakan sebab untuk mengatasi fitnah syubhat, sedangkan saling menasehati untuk menetapi kesabaran adalah sebab untuk mengekang fitnah syahwat…” (dikutip dariadh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir yang disusun oleh Syaikh Ali ash-Shalihi [5/134], lihat juga Ighatsat al-Lahfan hal. 669)
Sabar membuahkan hidayah bagi hati
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah menimpa suatu musibah kecuali dengan izin Allah. Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (QS. at-Taghabun: 11)
Ibnu Katsir menukil keterangan al-A’masy dari Abu Dhabyan. Abu Dhabyan berkata, “Dahulu kami duduk-duduk bersama Alqomah, ketika dia membaca ayat ini ‘barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya’ dan beliau ditanya tentang maknanya. Maka beliau menjawab, ‘Orang -yang dimaksud dalam ayat ini- adalah seseorang yang tertimpa musibah dan mengetahui bahwasanya musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha dan pasrah kepada-Nya.” Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim di dalam tafsir mereka. Sa’id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan ketika menafsirkan ayat itu, “Yaitu -Allah akan menunjuki hatinya- sehingga mampu mengucapkan istirja’ yaitu Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [4/391] cet. Dar al-Fikr)
Hikmah dibalik musibah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah menghendaki hamba-Nya mendapatkan kebaikan maka Allah segerakan baginya hukuman di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan untuknya maka Allah akan menahan hukumannya sampai akan disempurnakan balasannya kelak di hari kiamat.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan gharib, lihat as-Shahihah [1220])
Di dalam hadits yang agung ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa ada kalanya Allah ta’ala memberikan musibah kepada hamba-Nya yang beriman dalam rangka membersihkan dirinya dari kotoran-kotoran dosa yang pernah dilakukannya selama hidup. Hal itu supaya nantinya ketika dia berjumpa dengan Allah di akherat maka beban yang dibawanya semakin bertambah ringan. Demikian pula terkadang Allah memberikan musibah kepada sebagian orang akan tetapi bukan karena rasa cinta dan pemuliaan dari-Nya kepada mereka namun dalam rangka menunda hukuman mereka di alam dunia sehingga nanti pada akhirnya di akherat mereka akan menyesal dengan tumpukan dosa yang sedemikian besar dan begitu berat beban yang harus dipikulnya ketika menghadap-Nya. Di saat itulah dia akan merasakan bahwa dirinya memang benar-benar layak menerima siksaan Allah. Allah memberikan karunia kepada siapa saja dengan keutamaan-Nya dan Allah juga memberikan hukuman kepada siapa saja dengan penuh keadilan. Allah tidak perlu ditanya tentang apa yang dilakukan-Nya, namun mereka -para hamba- itulah yang harus dipertanyakan tentang perbuatan dan tingkah polah mereka (diolah dari keterangan Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz al-Qor’awi dalam al-Jadid fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hal. 275)
Setelah kita mengetahui betapa indahnya sabar, maka sekarang pertanyaannya adalah: sudahkah kita mewujudkan nilai-nilai kesabaran ini dalam kehidupan kita? Sudahkah kita menjadikan sabar sebagai pilar kebahagiaan kita? Sudahkah sabar mewarnai hati, lisan, dan gerak-gerik anggota badan kita?

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Posted: 08 Aug 2012 05:30 PM PDT
Berikut ini kami ringkaskan kumpulan artikel yang membahas Zakat Fitri, Lebaran Dan Puasa Syawwal dari muslim.or.id. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian dalam menghadapi Hari Raya ‘Idul Fitri 1432 H, hari dimana kaum muslimin berbuka setelah sebulan penuh berpuasa. Semoga dapat dilalui sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Juga kebiasaan tahun yang disebut mudik, yang biasanya menempuh perjalanan jauh untuk sampai di kampung halaman, ada beberapa tuntunan dan adab yang semestinya diketahui oleh setiap muslim. Selamat menyimak.
I’tikaf
Zakat Fitri
Lebaran
Puasa Syawwal
Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Hadits Palsu 30 Keutamaan Shalat Tarawih

Hadits Palsu 30 Keutamaan Shalat Tarawih

Diantara sunnah-sunnah yang dituntunkan oleh syariat kita pada bulan Ramadhan adalah shalat Tarawih. Hadits-hadits Nabi yang mulia telah banyak yang menerangkan tentang keutamaan shalat tesebut.

Berkaitan dengan hal itu, terdapat sebuah hadits yang masyhur, khususnya di Indonesia, yaitu “30 keutamaan shalat tarawih” atau “keutamaan shalat tarawih per malam”. Apakah hadits itu shahih ? Bolehkah kita menyampaikannya di tengah-tengah kaum muslimin? Berikut ini sedikit bahasan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Teks hadits

عن علي بن ابي طالب رضي الله تعالى عنه أنه قال : ” سئل النبي عليه الصلاة والسلام عن فضائل التراويح فى شهر رمضان فقال
يخرج المؤمن ذنبه فى اول ليلة كيوم ولدته أمه
وفى الليلة الثانية يغفر له وللأبوية ان كانا مؤمنين
وفى الليلة الثالثة ينادى ملك من تحت العرش؛ استأنف العمل غفر الله ماتقدم من ذنبك
وفى الليلة الرابعة له من الاجر مثل قراءة التوراه والانجيل والزابور والفرقان
وفى الليلة الخامسة أعطاه الله تعالى مثل من صلى في المسجد الحرام ومسجد المدينة والمسجد الاقصى
وفى الليلة السادسة اعطاه الله تعالى ثواب من طاف بالبيت المعمور ويستغفر له كل حجر ومدر
وفى الليلة السابعة فكأنما أدرك موسى عليه السلام ونصره على فرعون وهامان
وفى الليلة الثامنة أعطاه الله تعالى ما أعطى ابراهيم عليه السلام
وفى الليلة التاسعة فكأنما عبد الله تعالى عبادة النبى عليه الصلاة والسلام
وفى الليلة العاشرة يرزقة الله تعالى خير الدنيا والآخرة
وفى الليلة الحادية عشر يخرج من الدنيا كيوم ولد من بطن أمه
وفى الليلة الثانية عشر جاء يوم القيامة ووجهه كالقمر ليلة البدر
وفى الليلة الثالثة عشر جاء يوم القيامة آمنا من كل سوء
وفى الليلة الرابعة عشر جاءت الملائكة يشهدون له أنه قد صلى التراويح فلا يحاسبه الله يوم القيامة
وفى الليلة الخامسة عشر تصلى عليه الملائكة وحملة العرش والكرسى
وفى الليلة السادسة عشر كتب الله له براءة النجاة من النار وبراءة الدخول فى الجنة
وفى الليلة السابعة عشر يعطى مثل ثواب الأنبياء
وفى الليلة الثامنة عشر نادى الملك ياعبدالله أن رضى عنك وعن والديك
وفى الليلة التاسعة عشر يرفع الله درجاته فى الفردوس
وفى الليلة العشرين يعطى ثواب الشهداء والصالحين
وفى الليلة الحادية والعشرين بنى الله له بيتا فى الجنة من النور
وفى الليلة الثانية والعشرين جاء يوم القيامة آمنا من كل غم وهم
وفى الليلة الثالثة والعشرين بنى الله له مدينة فى الجنة
وفى الليلة الرابعة والعشرين كان له اربعه وعشرون دعوة مستجابة
وفى الليلة الخامسة والعشرين يرفع الله تعالى عنه عذاب القبر
وفى الليلة السادسة والعشرين يرفع الله له ثوابه أربعين عاما
وفى الليلة السابعة والعشرين جاز يوم القيامة على السراط كالبرق الخاطف
وفى الليلة الثامنة والعشرين يرفع الله له ألف درجة فى الجنة
وفى الليلة التاسعة والعشرين اعطاه الله ثواب الف حجة مقبولة
وفى الليلة الثلاثين يقول الله : ياعبدى كل من ثمار الجنة واغتسل من مياه السلسبيل واشرب من الكوثرأنا ربك وأنت عبدى”

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang keutamaan Shalat Tarawih pada Bulan Ramadhan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

  • Di malam pertama, Orang mukmin keluar dari dosanya , seperti saat dia dilahirkan oleh ibunya.

  • Di malam kedua, ia diampuni, dan juga kedua orang tuanya, jika keduanya mukmin.

  • Di malam ketiga, seorang malaikat berseru di bawah Arsy: ‘Mulailah beramal, semoga Allah mengampuni dosamu yang telah lewat.’

  • Di malam keempat, dia memperoleh pahala seperti pahala membaca Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Furqan.

  • Di malam kelima, Allah Ta’ala memberikan pahala seperti pahala orang yang shalat di Masjid al-Haram, masjid Madinah, dan Masjid al-Aqsha.

  • Di malam keenam, Allah Ta’ala memberikan pahala orang yang ber-thawaf di Baitul Makmur dan dimohonkan ampun oleh setiap batu dan cadas.

  • Di malam ketujuh, seolah-olah ia mencapai derajat Nabi Musa ‘alaihissalam dan kemenangannya atas Firaun dan Haman.

  • Di malam kedelapan, Allah Ta’ala memberinya apa yang pernah Dia berikan kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

  • Di malam kesembilan, seolah-olah ia beribadat kepada Allah Ta’ala sebagaimana ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

  • Di malam kesepuluh, Allah Ta’ala mengaruniai dia kebaikan dunia dan akhirat.

  • Di malam kesebelas, ia keluar dari dunia seperti saat ia dilahirkan dari perut ibunya.

  • Di malam kedua belas, ia datang pada hari kiamat dengan wajah bagaikan bulan di malam purnama.

  • Di malam ketigabelas, ia datang di hari kiamat dalam keadaan aman dari segala keburukan.

  • Di malam keempat belas, para malaikat datang seraya memberi kesaksian untuknya, bahwa ia telah melakukan shalat tarawih, maka Allah tidak menghisabnya pada hari kiamat.

  • Di malam kelima belas, ia didoakan oleh para malaikat dan para pemikul Arsy dan Kursi.

  • Di malam keenam belas, Allah menerapkan baginya kebebasan untuk selamat dari neraka dan kebebasan masuk ke dalam surga.

  • Di malam ketujuh belas, ia diberi pahala seperti pahala para nabi.

  • Di malam kedelapan belas, seorang malaikat berseru, ‘Hai hamba Allah, sesungguhnya Allah ridha kepadamu dan kepada ibu bapakmu.’

  • Di malam kesembilan belas, Allah mengangkat derajatnya dalam surga Firdaus.

  • Di malam kedua puluh, Allah memberi pahala para Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dan shalihin (orang-orang yang saleh).

  • Di malam kedua puluh satu, Allah membangun untuknya gedung dari cahaya.

  • Di malam kedua puluh dua, ia datang pada hari kiamat dalam keadaan aman dari setiap kesedihan dan kesusahan.

  • Di malam kedua puluh tiga, Allah membangun untuknya sebuah kota di dalam surga.

  • Di malam kedua puluh empat, ia memperoleh duapuluh empat doa yang dikabulkan.

  • Di malam kedua puluh lima, Allah Ta’ala menghapuskan darinya azab kubur.

  • Di malam keduapuluh enam, Allah mengangkat pahalanya selama empat puluh tahun.

  • Di malam keduapuluh tujuh, ia dapat melewati shirath pada hari kiamat, bagaikan kilat yang menyambar.

  • Di malam keduapuluh delapan, Allah mengangkat baginya seribu derajat dalam surga.

  • Di malam kedua puluh sembilan, Allah memberinya pahala seribu haji yang diterima.

  • Di malam ketiga puluh, Allah ber firman : ‘Hai hamba-Ku, makanlah buah-buahan surga, mandilah dari air Salsabil dan minumlah dari telaga Kautsar. Akulah Tuhanmu, dan engkau hamba-Ku.’

Hadits ini disebutkan oleh Syaikh al-Khubawi dalam kitab Durrotun Nashihiin, hal. 16 – 17.

Indikasi-indikasi kepalsuan hadits

Perlu diketahui bahwasanya hadits yang munkar dan palsu membuat hati penuntut ilmu menjadi geli dan mengingkarinya. Rabi’ bin Hutsaim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya hadits itu memiliki cahaya seperti cayaha di siang hari, sehingga engkau dapat melihatnya. Dan memiliki kegelapan seperti gelapnya malam, sehingga engkau mengingkarinya.”1

Berikut ini beberapa indikasi atas palsunya hadits tersebut:

  • Pahala yang terlalu besar untuk amalan yang sederhana. Banyak keutamaan-keutamaan yang terdapat dalam hadits di atas termasuk dalam kejanggalan jenis ini, misalkan pada lafadz “Allah memberinya pahala seribu haji yang diterima.

  • Bahkan, yang lebih parah adalah seseorang bisa mendapatkan pahala sebanding dengan pahala para Nabi (keutamaan shalat tarawih malam ke-17). Hal tersebut mustahil terjadi, karena sebanyak apapun amalan ibadah manusia biasa, tentu dia tidak akan mampu menyamai pahala Nabi. Nubuwah merupakan pilihan dari Allah semata. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al Hajj [22] : 75)2

  • Tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits yang mu’tamad. Hadits tentang 30 keutamaan shalat tarawih di atas, tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits yang mu’tamad. DR. Lutfi Fathullah mengatakan, “Jika seseorang mencari hadits tersebut di kitab-kitab referensi hadits, niscaya tidak akan menemukannya.” Hal tersebut mengindikasikan bahwa hadits tersebut adalah hadits palsu.3

Pendapat para ulama dan penuntut ilmu

Lebih jauh lagi, apabila kita memperhatikan perkataan para ulama tentang hadits itu, tentu akan kita dapati mereka menganggapnya hadits palsu.

Al-Lajnah ad-Da’imah pernah ditanya tentang hadits tersebut, kemudian mereka menjawab,

كلا الحديثين لا أصل له، بل هما من الأحاديث المكذوبة على رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Hadits tersebut adalah hadits yang tidak ada sumbernya (laa ashla lahu). Bahkan, hadits tersebut merupakan kebohongan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”4

Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan DR. Lutfi Fathullah, dimana disertasi beliau meneliti kitab Durratun Nashihin. Beliau mengatakan:

Ada sekitar 30 persen hadits palsu dalam kitab Durratun Nashihin. Diantaranya adalah hadits tentang fadhilah atau keutaman shalat tarawih, (yaitu) dari Ali radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallaam ditanya tentang keutamaan shalat tarawih, (lalu beliau bersabda) malam pertama pahalanya sekian, malam kedua sekian, dan sampai malam ketiga puluh.

Hadits tersebut tidak masuk akal. Selain itu, jika seseorang mencari hadits tersebut di kitab-kitab referensi hadits, niscaya tidak akan menemukannya.5

Sibukkan diri dengan yang Shahih

Setelah mengetahui lemahnya hadits tersebut, maka hendaklah para penulis dan penceramah meninggalkannya, karena dikhawatirkan akan masuk dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits mutawatir :

من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار

Barangsiapa yang berdusta atas nama saya dengan sengaja, maka hendaknya dia bersiap-siap mengambil tempat di Neraka

Hendaklah mereka mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para ulama kita mengatakan:

في صحيح الحديث شغل عن سقيمه

“Dalam hadits yang shahih terdapat kesibukan dari hadits yang lemah”6

Diantara Keutamaan Shalat Tarawih dari Hadits yang Shahih7

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759).

Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Nawawi (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:39)

Selain itu, beliau beliau juga pernah mengumpulkan keluarga dan para shahabatnya. Lalu beliau bersabda,

مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh” (HR. An-Nasai dan selainnya, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’ no. 447)

Semoga Allah selalu melimpahkan karunai-Nya kepada kita semua, dan menjaga lisan-lisan kita dari perkataan dusta, apalagi berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wallahu a’lam.

Catatan Kaki

1al-Maudhuu’aat 605, Ibnul Jauzi rahimahullah

2Lihat al-Manaarul Muniif hal. 55 – 105, karya Ibnul Qoyyim rahimahullah.

3Lihat Hadits-hadits Lemah dan Palsu dalam Kitab Durrotun Nashihiin, karya DR. Ahmad Luthfi Fathullah; dan http:/majalah.hidayatullah.com/?p=1490

4Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta no. 8050, juz 4, hal 476-480. Ditanda tangani oleh Syaikh Abdul Azin bin Baaz sebagai ketua, Syaikh Abdurrazaq Afifi sebagai wakil, Syaikh Abdullah Ghuddayan sebagai anggota dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota.

6al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami’ 1524, al-Khatiib al-Baghdaadi rahimahullah

Daftar Artikel

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Qunut Witir Setelah Pertengahan Ramadhan

Kategori : Bahasan Utama

Berkenaan dengan anjuran sebagian orang mengenai qunut witir setelah pertengahan Ramadhan, dalam artikel ini kami sengaja menghadirkan pembahasan mengenai kapan waktu membaca qunut witir. Apakah boleh sepanjang tahun? Ataukah khusus hanya setelah pertengahan Ramadhan?

Tentang waktu pelaksanaan qunut witir ada beberapa pendapat di antara para ulama.

Pertama: Hukum qunut witir itu makruh. Inilah pendapat ulama Malikiyah. Alasannya, tidak ada sunnah (tuntunan) dalam hal ini. Yang ada, qunut hanyalah pada shalat Shubuh saat nawazil.

Kedua: Qunut witir disunnahkan ketika separuh akhir dari bulan Ramadhan saja. Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’iyah dan ada perkataan dari Imam Ahmad mengenai hal ini. Ketika Abu Daud menanyakan pada Imam Ahmad, “Apakah qunut itu sepanjang?”. “Jika engkau mau”. Abu Daud bertanya lagi, “Apa pendapat yang engkau pilih?” Jawab Imam Ahmad, “Adapun saya tidaklah berqunut kecuali setelah pertengahan  Ramadhan. Namun jika aku bermakmum di belakang imam lain dan ia berqunut, maka aku pun mengikutinya.” (Masail Ahmad li Abi Daud, 66). Mereka pun berdalil tentang riwayat dari Ibnu ‘Umar, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih (Al Mushannaf, 2: 98)

Ketiga: Disunnahkan pada bulan Ramadhan saja tidak pada bulan lainnya. Inilah pendapat ulama Malikiyah dan Syafi’iyah.

Keempat: Qunut witir disunnahkan dibaca setiap malam sepanjang  tahun. Inilah pendapat Ibnu Mas’ud dan Ibrahim An Nakho’i. Pendapat ini dianut oleh Hanafiyah, salah satu pendapat Syafi’iyah.

Di antara dalilnya:

1. Al Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu

اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِى شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

Allahummahdiini fiiman hadait, wa’aafini fiiman ‘afait, watawallanii fiiman tawallait, wabaarik lii fiima a’thait, waqinii syarrama qadlait, fainnaka taqdhi walaa yuqdho ‘alaik, wainnahu laa yadzillu man waalait, tabaarakta rabbana wata’aalait. (Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud no. 1425, An Nasai no. 1745, At Tirmidzi no. 464. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

2. Hadits Ubay bin Ka’ab yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqunut dalam shalat witir. (HR. Abu Daud no. 1427, shahih menurut Syaikh Al Albani). Hadits ini mutlak tidak khusus pada bulan Ramadhan.

3. Sebagaimana dinukil dari Imam Ahmad pula bahwasanya ‘Umar pun berpendapat seperti ini.
Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya:  Apa hukum membaca do’a qunut setiap malam ketika (shalat sunnah) witir?

Beliau menjawab, tidak masalah mengenai hal ini. Do’a qunut (witir) adalah sesuatu yang disunnahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun biasa membaca qunut tersebut. Beliau pun pernah mengajari (cucu beliau) Al Hasan beberapa kalimat qunut untuk shalat witir. Ini termasuk hal yang disunnahkan. Jika engkau merutinkan membacanya setiap malamnya, maka itu tidak mengapa. Begitu pula jika engkau meninggalkannya suatu waktu sehingga orang-orang tidak menyangkanya wajib, maka itu juga tidak mengapa. Jika imam meninggalkan membaca do’a qunut suatu waktu dengan tujuan untuk mengajarkan manusia bahwa hal ini tidak wajib, maka itu juga tidak mengapa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan do’a qunut pada cucunya Al Hasan, beliau tidak mengatakan padanya: “Bacalah do’a qunut tersebut pada sebagian waktu saja”. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa membaca qunut witir terus menerus adalah sesuatu yang dibolehkan. (Fatawa Nur ‘alad Darb, 2/1062)

Kesimpulan pendapat
Ibnu Taimiyah berkata setelah menyebutkan pendapat para ulama tentang qunut witir,

وَحَقِيقَةُ الْأَمْرِ أَنَّ قُنُوتَ الْوِتْرِ مِنْ جِنْسِ الدُّعَاءِ السَّائِغِ فِي الصَّلَاةِ مَنْ شَاءَ فَعَلَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ . كَمَا يُخَيَّرُ الرَّجُلُ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثِ أَوْ خَمْسٍ أَوْ سَبْعٍ وَكَمَا يُخَيَّرُ إذَا أَوْتَرَ بِثَلَاثِ إنْ شَاءَ فَصَلَ وَإِنْ شَاءَ وَصَلَ . وَكَذَلِكَ يُخَيَّرُ فِي دُعَاءِ الْقُنُوتِ إنْ شَاءَ فَعَلَهُ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَهُ وَإِذَا صَلَّى بِهِمْ قِيَامَ رَمَضَانَ فَإِنْ قَنَتَ فِي جَمِيعِ الشَّهْرِ فَقَدْ أَحْسَنَ وَإِنْ قَنَتَ فِي النِّصْفِ الْأَخِيرِ فَقَدْ أَحْسَنَ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ بِحَالِ فَقَدْ أَحْسَنَ .

Hakekatnya, qunut witir adalah sejenis do’a yang dibolehkan dalam shalat. Siapa yang mau membacanya, silakan. Dan yang enggan pun dipersilakan. Sebagaimana dalam shalat witir, seseorang boleh memilih tiga, lima, atau tujuh raka’at semau dia. Begitu pula ketika ia melakukan witir tiga raka’at, maka ia boleh melaksanakan 2 raka’at salam lalu 1 raka’at salam, atau ia melakukan tiga raka’at sekaligus. Begitu pula dalam hal qunut witir, ia boleh melakukan atau meninggalkannya sesuka dia. Di bulan Ramadhan, jika ia membaca qunut witir pada keseluruhan bulan Ramadhan, maka itu baik. Jika ia berqunut di separuh akhir bulan Ramadhan, itu pun baik. Jika ia tidak berqunut, juga baik.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 271)

Wallahu waliyyut taufiq.

Sumber rujukan:
  1. Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah
  2. http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=138231
@ Bandara Husein Sastranegara, Bandung, 15 Ramadhan 1433 H


Artikel Muslim.Or.Id

Daftar Artikel
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

KISAH NABI ADAM ALAIHI SALAM

 BUAH TEEN Kisah Nabi Adam: Dari Awal Penciptaan Hingga Turun ke Bumi Kisah Nabi Adam menceritakan terciptanya manusia pertama y...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger