BLOG AL ISLAM
Kontributor
Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha
Arsip Blog
-
►
2011
(33)
- ► Januari 2011 (22)
- ► September 2011 (1)
-
►
2012
(132)
- ► April 2012 (1)
- ► Agustus 2012 (40)
- ► Oktober 2012 (54)
- ► November 2012 (4)
- ► Desember 2012 (3)
-
►
2013
(15)
- ► Maret 2013 (1)
-
►
2015
(53)
- ► Januari 2015 (45)
- ► April 2015 (1)
-
►
2023
(2)
- ► Februari 2023 (1)
- ► Desember 2023 (1)
Live Traffic
Hukum Puasa Sya’ban pada Hari Sabtu
Written By sumatrars on Selasa, 03 Juni 2014 | Juni 03, 2014
Transcribed on : 2 June 2014 M, 4 Sya’ban 1435 H
Kita sudah tahu bahwa puasa pada hari Sabtu adalah suatu yang disunnahkan, bahkan kita diperintahkan memperbanyak puasa pada bulan tersebut. Apakah puasa hari Sabtu masih dibolehkan di bulan Sya’ban?
Larangan Puasa pada Hari Sabtu
Mengenai larangan berpuasa pada hari Sabtu disebutkan dalam hadits,
لاَ تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلاَّ فِيمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ
“Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali untuk puasa yang wajib bagi kalian.” (HR. Ibnu Majah no. 1726, Abu Daud no. 2421, Tirmidzi no. 744).
Abu Daud mengatakan bahwa hadits ini mansukh, yaitu telah dihapus. (Sunan Abi Daud, hal. 490)
Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. (Jaami’ At Tirmidzi, hal. 247)
Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. (Takhrij Jaami’ At Tirmidzi, idem)
‘Abdul Qodir Al Arnauth dan Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy atau kuat. Mereka berdua berkata: Cacat hadits ini karena dikatakan mudhthorib tidaklah mencacati hadits ini karena hadits ini selamat jika dilihat dari jalur lainnya. (Tahqiq Zaadul Ma’ad, 2: 75).
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits di atas adalah hadits shahih.(As Silsilah Ash Shahihah no. 3101, 7: 274)
Intinya, para ulama masih berselisih pendapat mengenai keshahihan hadits larangan puasa pada hari Sabtu.
Pendapat Ulama tentang Puasa Hari Sabtu
Abu ‘Isa At Tirmidzi rahimahullah berkata,
وَمَعْنَى كَرَاهَتِهِ فِى هَذَا أَنْ يَخُصَّ الرَّجُلُ يَوْمَ السَّبْتِ بِصِيَامٍ لأَنَّ الْيَهُودَ تُعَظِّمُ يَوْمَ السَّبْتِ
“Makna hadits larangan puasa hari Sabtu menunjukkan makna makruh jika seseorang mengkhususkan puasa pada hari tersebut karena orang Yahudi mengagungkan hari Sabtu tersebut.” (Lihat Jaami’ At Tirmidzi, hal. 247-248).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Larangan puasa pada hari Sabtu adalah larangan menyendirikan berpuasa pada hari tersebut. Sehingga Imam Abu Daud membuat judul Bab “Larangan mengkhususkan hari Sabtu untuk berpuasa“.” (Zaadul Ma’ad, 2: 75).
Guru dari Ibnul Qayyim yaitu Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kebanyakan ulama madzhab Hambali memahami perakataan Imam Ahmad dalam mengamalkan hadits tersebut dan dipahami bahwa maksud larangan adalah jika mengkhususkan puasa pada hari Sabtu.”
Ibnu Taimiyah rahimahullah sebelumnya mengatakan, “Menurut mayoritas ulama, tidak dianggap makruh berpuasa pada hari sabtu.” (Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim, 2: 76).
Puasa Sya’ban pada Hari Sabtu
Kita telah mengetahui bersama bahwa salah satu amalan yang dianjurkan di bulan Sya’ban adalah memperbanyak puasa. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ . فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)
Lantas apakah anjuran tersebut juga termasuk berpuasa pada hari Sabtu? Jawabnya, hadits menunjukkan makna umum, puasa hari Sabtu pun masih dibolehkan. Makna memperbanyak puasa berarti mencakup pula hari Sabtu.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dalam Fatawa Nur ‘Ala Darb (16: 444) ketika ditanya mengenai hukum puasa 6 hari di bulan Syawal pada hari Sabtu, mereka menjawab, “Puasa Syawal yang lebih afdhal adalah dilakukan secara berturut-turut. Puasa hari Sabtu secara bersendirian tidaklah masalah. Karena hadits yang membicarakan larangan puasa pada hari Sabtu kecuali puasa wajib tidaklah shahih (dhaif) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Maksud dari fatwa tersebut berarti berpuasa Sya’ban itu bebas dilakukan tidak ada larangan pada hari-hari tertentu karena kita diperintahkan memperbanyak puasa kala itu.
Hanya Allah yang memberi taufik.
Article : Blog Al-Islam
Back to Top
Optimalkan Ibadah Di Bulan Sya’ban
Written By sumatrars on Senin, 02 Juni 2014 | Juni 02, 2014
Bulan Sya’ban adalah bulan yang terletak setelah bulan Rajab dan sebelum bulan Ramadhan. Bulan ini memiliki banyak keutamaan. Ada juga ibadah-ibadah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisinya dengan memperbanyak berpuasa di bulan ini sebagai persiapan menghadapi bulan Ramadhan. Bulan ini dinamakan bulan Sya’ban karena di saat penamaan bulan ini banyak orang Arab yang berpencar-pencar mencari air atau berpencar-pencar di gua-gua setelah lepas bulan Rajab. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan:
وَسُمِّيَ شَعْبَانُ لِتَشَعُّبِهِمْ فِيْ طَلَبِ الْمِيَاهِ أَوْ فِيْ الْغَارَاتِ بَعْدَ أَنْ يَخْرُجَ شَهْرُ رَجَبِ الْحَرَامِ وَهَذَا أَوْلَى مِنَ الَّذِيْ قَبْلَهُ وَقِيْلَ فِيْهِ غُيْرُ ذلِكَ.
“Dinamakan Sya’ban karena mereka berpencar-pencar mencari air atau di dalam gua-gua setelah bulan Rajab Al-Haram. Sebab penamaan ini lebih baik dari yang disebutkan sebelumnya. Dan disebutkan sebab lainnya dari yang telah disebutkan.”1 Adapun hadits yang berbunyi:
إنَّمَا سُمّي شَعْبانَ لأنهُ يَتَشَعَّبُ فِيْهِ خَيْرٌ كثِيرٌ لِلصَّائِمِ فيه حتى يَدْخُلَ الجَنَّةَ.
“Sesungguhnya bulan Sya’ban dinamakan Sya’ban karena di dalamnya bercabang kebaikan yang sangat banyak untuk orang yang berpuasa pada bulan itu sampai dia masuk ke dalam surga.”2 Hadits tersebut tidak benar berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Banyak orang menyepelekan bulan ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hal tersebut di dalam hadits berikut:
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ، قَالَ: ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ.
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata, “Ya Rasulullah! Saya tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam satu bulan di banding bulan-bulan lain seperti engkau berpuasa di bulan Sya’ban ?” Beliau menjawab, “Itu adalah bulan yang banyak manusia melalaikannya, terletak antara bulan Rajab dan Ramadhan. Dia adalah bulan amalan-amalan di angkat menuju Rabb semesta alam. Dan saya suka jika amalanku diangkat dalam keadaan saya sedang berpuasa”.3
Amalan-amalan apa yang disyariatkan pada bulan ini?
Ada beberapa amalan yang biasa dilakukan oleh Rasulullah dan para as-salafush-shalih pada bulan ini. Amalan-amalan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Memperbanyak puasa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak puasa pada bulan ini tidak seperti beliau berpuasa pada bulan-bulan yang lain.
عَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ, فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya dia berkata, “Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sampai kami mengatakan bahwa beliau tidak berbuka, dan berbuka sampai kami mengatakan bahwa beliau tidak berpuasa. Dan saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa dalam sebulan kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada bulan Sya’ban.”4 Begitu pula istri beliau Ummu Salamah radhiallahu ‘anha mengatakan:
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلاَّ شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ.
“Saya tidak pernah mendapatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali bulan Sya’ban dan Ramadhan.”5 Ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hampir berpuasa Sya’ban seluruhnya. Para ulama menyebutkan bahwa puasa di bulan Sya’ban meskipun dia hanya puasa sunnah, tetapi memiliki peran penting untuk menutupi kekurangan puasa wajib di bulan Ramadhan. Seperti shalat fardhu, shalat fardhu memiliki shalat sunnah rawatib, yaitu: qabliyah dan ba’diyah. Shalat-shalat tersebut bisa menutupi kekurangan shalat fardhu yang dikerjakan. Sama halnya dengan puasa Ramadhan, dia memiliki puasa sunnah di bulan Sya’ban dan puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal. Orang yang memulai puasa di bulan Sya’ban insya Allah tidak terlalu kesusahan menghadapi bulan Ramadhan.
2. Membaca Al-Qur’an
Membaca Al-Qur’an mulai diperbanyak dari awal bulan Sya’ban , sehingga ketika menghadapi bulan Ramadhan, seorang muslim akan bisa menambah lebih banyak lagi bacaan Al-Qur’an-nya. Salamah bin Kuhail rahimahullah berkata:
كَانَ يُقَالُ شَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ الْقُرَّاءِ
“Dulu dikatakan bahwa bulan Sya’ban adalah bulan para qurra’ (pembaca Al-Qur’an).” Begitu pula yang dilakukan oleh ‘Amr bin Qais rahimahullah apabila beliau memasuki bulan Sya’ban beliau menutup tokonya dan mengosongkan dirinya untuk membaca Al-Qur’an.6
3. Mengerjakan amalan-amalan shalih
Seluruh amalan shalih disunnahkan dikerjakan di setiap waktu. Untuk menghadapi bulan Ramadhan para ulama terdahulu membiasakan amalan-amalan shalih semenjak datangnya bulan Sya’ban , sehingga mereka sudah terlatih untuk menambahkan amalan-amalan mereka ketika di bulan Ramadhan. Abu Bakr Al-Balkhi rahimahullah pernah mengatakan:
شَهْرُ رَجَب شَهْرُ الزَّرْعِ، وَشَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ سُقْيِ الزَّرْعِ، وَشَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرُ حَصَادِ الزَّرْعِ.
“Bulan Rajab adalah bulan menanam, bulan Sya’ban adalah bulan menyirami tanaman dan bulan Sya’ban adalah bulan memanen tanaman.” Dan dia juga mengatakan:
مَثَلُ شَهْرِ رَجَبٍ كَالرِّيْحِ، وَمَثُل شَعْبَانَ مَثَلُ الْغَيْمِ، وَمَثَلُ رَمَضَانَ مَثَلُ اْلمطَرِ، وَمَنْ لَمْ يَزْرَعْ وَيَغْرِسْ فِيْ رَجَبٍ، وَلَمْ يَسْقِ فِيْ شَعْبَانَ فَكَيْفَ يُرِيْدُ أَنْ يَحْصِدَ فِيْ رَمَضَانَ.
“Perumpamaan bulan Rajab adalah seperti angin, bulan Sya’ban seperti awan yang membawa hujan dan bulan Ramadhan seperti hujan. Barang siapa yang tidak menanam di bulan Rajab dan tidak menyiraminya di bulan Sya’ban bagaimana mungkin dia memanen hasilnya di bulan Ramadhan.”7
4. Menjauhi perbuatan syirik dan permusuhan di antara kaum muslimin
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan mengampuni orang-orang yang tidak berbuat syirik dan orang-orang yang tidak memiliki permusuhan dengan saudara seagamanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ, فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ, إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ.
“Sesungguhnya Allah muncul di malam pertengahan bulan Sya’ban dan mengampuni seluruh makhluknya kecuali orang musyrik dan musyahin.”8 Musyahin adalah orang yang memiliki permusuhan dengan saudaranya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga secara khusus tentang orang yang memiliki permusuhan dengan saudara seagamanya:
تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلاَّ رَجُلاً كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا.
“Pintu-pintu surga dibuka setiap hari Senin dan Kamis dan akan diampuni seluruh hamba kecuali orang yang berbuat syirik kepada Allah, dikecualikan lagi orang yang memiliki permusuhan antara dia dengan saudaranya. Kemudian dikatakan, ‘Tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai. Tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai. Tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai’”9 Oleh karena itu sudah sepantasnya kita menjauhi segala bentuk kesyirikan baik yang kecil maupun yang besar, begitu juga kita menjauhi segala bentuk permusuhan dengan teman-teman muslim kita.
5. Bagaimana hukum menghidupkan malam pertengahan bulan Sya’ban?
Pada hadits di atas telah disebutkan keutamaan malam pertengahan bulan Sya’ban. Apakah di-sunnah-kan menghidupkan malam tersebut dengan ibadah? Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
وَصَلَاةُ الرَّغَائِبِ بِدْعَةٌ مُحْدَثَةٌ لَمْ يُصَلِّهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ، وَأَمَّا لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَفِيهَا فَضْلٌ، وَكَانَ فِي السَّلَفِ مَنْ يُصَلِّي فِيهَا، لَكِنَّ الِاجْتِمَاعَ فِيهَا لِإِحْيَائِهَا فِي الْمَسَاجِدِ بِدْعَةٌ وَكَذَلِكَ الصَّلَاةُ الْأَلْفِيَّةُ.
“Dan shalat Raghaib adalah bid’ah yang diada-adakan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat seperti itu dan tidak ada seorang pun dari salaf melakukannya. Adapun malam pertengahan di bulan Sya’ban, di dalamnya terdapat keutamaan, dulu di antara kaum salaf (orang yang terdahulu) ada yang shalat di malam tersebut. Akan tetapi, berkumpul-kumpul di malam tersebut untuk menghidupkan masjid-masjid adalah bid’ah, begitu pula dengan shalat alfiyah.”10 Jumhur ulama memandang sunnah menghidupkan malam pertengahan di bulan Sya’ban dengan berbagai macam ibadah. Tetapi hal tersebut tidak dilakukan secara berjamaah.11 Sebagian ulama memandang tidak ada keutamaan ibadah khusus pada malam tersebut, karena tidak dinukil dalam hadits yang shahih atau hasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah menyuruh untuk beribadah secara khusus pada malam tersebut. Hadits yang berbicara tentang hal tersebut lemah.
6. Bagaimana hukum shalat alfiyah dan shalat raghaib di malam pertengahan bulan Sya’ban ?
Tidak ada satu pun dalil yang shahih yang menyebutkan keutamaan shalat malam atau shalat sunnah di pertengahan malam di bulan Sya’ban . Baik yang disebut shalat alfiyah (seribu rakaat), dan shalat raghaib (12 rakaat). Mengkhususkan malam tersebut dengan ibadah-ibadah tersebut adalah perbuatan bid’ah. Sehingga kita harus menjauhinya. Apalagi yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Mereka berkumpul di masjid, beramai-ramai merayakannya, maka hal tersebut tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam An-Nawawi mengatakan tentang shalat Ar-Raghaib yang dilakukan pada Jumat pertama di bulan Rajab dan malam pertengahan bulan Sya’ban :
وَهَاتَانِ الصَّلاَتَانِ بِدْعَتَانِ مَذْمُومَتَانِ مُنْكَرَتَانِ قَبِيحَتَانِ ، وَلاَ تَغْتَرَّ بِذِكْرِهِمَا فِي كِتَابِ قُوتِ الْقُلُوبِ وَالإْحْيَاءِ
“Kedua shalat ini adalah bid’ah yang tercela, yang mungkar dan buruk. Janganlah kamu tertipu dengan penyebutan kedua shalat itu di kitab ‘Quutul-Qulub’ dan ‘Al-Ihya’’.”12
7. Bagaimana hukum berpuasa di pertengahan bulan Sya’ban ?
Mengkhususkan puasa di siang pertengahan bulan Sya’ban tidak dianjurkan untuk mengerjakannya. Bahkan sebagian ulama menghukumi hal tersebut bid’ah. Adapun hadits yang berbunyi:
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا.
“Apabila malam pertengahan bulan Sya’ban, maka hidupkanlah malamnya dan berpuasalah di siang harinya.”13 Maka hadits tersebut adalah hadits yang palsu (maudhu’), sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Akan tetapi, jika kita ingin berpuasa pada hari itu karena keumuman hadits tentang sunnah-nya berpuasa di bulan Sya’ban atau karena dia termasuk puasa di hari-hari biidh (ayyaamul-biid/puasa tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan hijriyah), maka hal tersebut tidak mengapa. Yang diingkari adalah pengkhususannya saja. Demikian beberapa ibadah yang bisa penulis sebutkan pada artikel ini. Mudahan kita bisa mengoptimalkan latihan kita di bulan Sya’ban untuk bisa memaksimalkan ibadah kita di bulan Ramadhan. Mudahan bermanfaat. Amin. ***
Footnotes
[1] Fathul-Bari (IV/213), Bab Shaumi Sya’ban.
[2] HR Ar-Rafi’i dalam Tarikh-nya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Maudhu’, ” dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 2061.
[3] HR An-Nasai no. 2357. Syaikh Al-Albani menghasankannya dalam Shahih Sunan An-Nasai.
[4] HR Al-Bukhari no. 1969 dan Muslim 1156/2721.
[5] HR An-Nasai no. 2175 dan At-Tirmidzi no. 736. Di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasai.
[6] Lihat: Lathaiful-Ma’arif libni Rajab Al-Hanbali hal. 138.
[7] Lihat: Lathaiful-Ma’arif libni Rajab Al-Hanbali hal. 130.
[8] HR Ibnu Majah no. 1390. Di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah.
[9] HR Muslim no. 2565/6544.
[10] Al-Fatawa Al-Kubra (V/344).
[11] Lihat: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah (XXXIV/123).
[12] Al-Majmu’ lin-Nawawi (XXII/272).
[13] HR Ibnu Majah no. 1388. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Sanadnya Maudhu’,” dalam Adh-Dha’ifah no. 2132.
Daftar Pustaka
-
Al-Khulashah fi Syarhil-Khamsiin Asy-Syamiyah. ‘Ali bin Nayif Asy-syahud. Darul-Ma’mur.
-
At-Tibyan li Fadhail wa Munkarat Syahri Sya’ban. Nayif bin Ahmad Al-Hamd.
-
Sya’ban, Syahrun Yaghfulu ‘anhu Katsir minannas. Abdul-Halim Tumiyat. www.nebrasselhaq.com
-
Dan sumber-sumber lain yang sebagian besar telah dicantumkan di footnotes.
Article : Blog Al-Islam
Daftar Artikel
Fatwa Ramadhan: Masuk Islam Di Siang Hari Bulan Ramadhan, Bagaimana Puasanya?
Written By sumatrars on Rabu, 16 April 2014 | April 16, 2014
Category : Fatwa Ulama
Beberapa waktu yang lalu ada berita seorang artis yang masuk Islam. Alhamdulillah ia masuk Islam di Bulan Ramadhan, bulan penuh berkah. Semoga istiqamah dan Allah memberikan banyak berkah dan kebaikan. Berikut fatwa terkait hal ini.
Pertanyaan diajukan kepada syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, “jika seorang kafir masuk Islam di siang hari Ramadhan. Apakah ia wajib menahan diri (dari pembatal puasa) pada sisa harinya?”
Beliau menjawab:
Iya, dia wajib menahan diri (dari pembatal puasa) di sisa hari saat ia masuk Islam. Karena ia telah menjadi orang yang wajib berpuasa. Hal ini jika tidak ada penghalang untuk puasa, jika ada maka ia tidak wajib menahan diri di sisa hari. Misalnya jika seorang wanita baru suci dari haid pada siang hari Ramadhan maka ia tidak wajib menahan diri di sisa hari.
Demikian juga jika orang yang sakit yang tidak berpuasa sembuh di siang hari Ramadhan, maka ia tidak wajib menahan diri karena hari tersebut ia dibolehkan tidak berpuasa padahal statusnya ia adalah orang yang wajib puasa atau seorang muslim (yang wajib berpuasa).
Berbeda halnya dengan mereka yang masuk Islam pada siang hari Ramadhan, maka ia wajib menahan diri (dari pembatal puasa) dan tidak wajib meng-qadha. Adapaun mereka seperti orang sakit dan haid maka tidak wajib menahan diri akan tetapi wajib meng-qadha.
(Majmu’ Fatawa wa Rasail, 19/97, Asy Syamilah)
Penerjemah: dr. Raehanul Bahraen
Publisher of the article by : Muslim.Or.Id
Rewritten by : Rachmat Machmud end Republished by : Redaction
Fatwa Ramadhan: Lebih Utama Umrah Di Bulan Ramadhan Atau Dzulqa’dah?
Category : Fatwa Ulama
Fatwa Syaikh Khalid Al Mushlih
Soal:
Mana yang lebih utama, umrah di bulan Ramadhan atau di bulan Dzulqa’dah?
Jawab:
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad dan seluruh sahabatnya, amma ba’du
Umrah di bulan Ramadhan ada dalam sebuah hadits dalam Shahihain dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seorang wanita,
فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجَّةً
“Umrah di bulan Ramadhan pahalanya seperti ibadah haji”
dalam riwayat lain disebutkan,
حَجَّةً مَعِي
“(pahalanya seperti) haji bersamaku”
Maka keutamaan Umrah di bulan Ramadhan terlihat jelas dari perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu ketika beliau mengatakan, “pahalanya seperti haji”. Berdasarkan hadits tersebut para ulama berkesimpulan bahwa pahala umrah Ramadhan sama seperti haji, bagi semua yang berumrah di bulan Ramadhan.
Namun sebagian ulama berpendapat bahwa hadits ini khusus untuk wanita yang menjadi sebab datangnya hadits ini. Ketika Rasulullah bertanya kepadanya, “Kenapa engkau tak berhaji bersamaku?” yang kemudian dijawab karena kurangnya fasilitas, sehingga suaminya bisa berhaji bersama Rasulullah, sedangkan wanita ini tetap tinggal di rumahnya untuk mengurusi urusan rumah tangganya.
Maka kemudian Rasulullah berkata kepadanya, “Apabila nanti datang bulan Ramadhan, maka berumrahlah, karena umrah di bulan Ramadhan pahalanya sama seperti ibadah haji”.
Sebagian ulama berpendapat bahwa keutamaan ini khusus untuk wanita ini saja. Di antaranya perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dapat dipahami dari perkataan beliau bahwa ini hanya khusus untuk wanita ini. Akan tetapi pendapat sebagian besar para ulama dan para ahli hadits bahwa keutamaan itu bukan hanya khusus untuk wanita tersebut akan tetapi untuk semua orang yang berumrah pada bulan Ramadhan.
Oleh karenanya Imam Bukhari menempatkan hadits ini pada ‘Bab: Umrah Di Bulan Ramadhan‘. Adapun Imam Muslim menempatkannya pada ‘Bab: Keutamaan Umrah Di Bulan Ramadhan’. Penempatan bab yang diberikan oleh Imam Bukhari menunjukkan penjelasan beliau mengenai hal itu, demikian juga penempatan bab oleh Imam Muslim. Sehingga, para ulama dari kalangan ahli hadits dan ahli fikih secara umum menyebutkan bahwa keutamaan umrah di bulan Ramadhan ini berlaku untuk semua yang berumrah, bukan hanya khusus untuk wanita yang disebutkan dalam hadits.
Ini yang terkait dengan umrah di bulan Ramadhan dan keutamaannya. Pertama, apakah ada keutamannya? Ya, pahalanya seperti ibadah haji. Kedua apakah itu umum atau khusus untuk orang tertentu? Maka itu umum untuk semua yang berumrah, dalilnya adalah keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa umrah di bulan Ramadhan pahalanya sama seperti ibadah haji.
Adapun perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah dalam rangka menjelaskan kesalahan sebagian orang yang umrah berulang-ulang, masuk Mekkah kemudian keluar lagi kemudian masuk lagi dan seterusnya, sehingga umrah-umrah berulang tidak termasuk dalam sabda Nabi “pahalanya sama seperti ibadah haji”.
Kemudian yang perlu diperhatikan juga adalah bahwa perkara ini adalah masalah pahalanya. Kalau ada yang bertanya, “bagaimana mungkin sama seperti haji? Padahal amalan yang dilakukan saat haji lebih banyak?”. Maka ini sebagaimana sabda Rasul tentang surat Al Ikhlas yang sekali membacanya sebanding dengan 1/3 al Quran, padahal hanya 4 ayat saja. Maka yang disamakan adalah pahalanya, walaupun pada ibadah haji lebih banyak aktivitasnya dan kesulitannya.
Adapun yang terkait dengan mana yang lebih utama umrah di bulan ramadhan atau umrah di bulan Dzulqa’dah. Maka yang perlu diketahui adalah tidak ada satupun penjelasan dari Nabi yang menjelaskan keutamaan umrah di bulan Dzulqa’dah . Akan tetapi yang ada adalah sebuah fakta bahwa umrah yang Nabi lakukan selalu dilaksanakan di bulan Dzulqa’dah. Oleh karena itu, ketika Allah selalu memilihkan bulan Dzulqa’dah sebagai waktu umrah Nabi, terjadi perselisihan antara para ulama mana yang lebih utama, umrah di bulan Ramadhan atau di bulan Dzulqa’dah. Karena Nabi selalu melakukan umrah di bulan Dzulqa’dah.
Jumhur ulama berpendapat bahwa keutamaan umrah di bulan Ramadhan itu lebih kuat. Adapun Umrah di bulan Dzulqa’dah, tidak ada dalil yang menjelaskan keutamaannya kecuali keutamaan menyesuaikan diri dengan perbuatan Nabi. Umrah di bulan Ramadhan ada dalil yang menyebutkan keutamaannya, tidak seperti umrah di bulan Dzulqa’dah walaupun umrah di bulan Dzulqa’dah pun adalah sebuah ibadah yang utama. Sehinga umrah dibulan Ramadhan sesuai dengan sunnah yang Rasulullah ucapkan.
Keutamaan umrah di bulan Ramadhan adalah setara pahalanya dengan pahala ibadah haji, sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun Umrah di bulan Dzul Qo’dah keutamaannya adalah mencocoki apa yang dilakukan Nabi, karena Nabi setiap berumrah selalu dilakukan di bulan Ramadhan. Akan tetapi pendapat sebagian besar ulama Fikih maupun Hadits adalah bahwa umrah di bulan Ramadhan itu lebih utama.
Satu hal yang perlu diperhatikan juga, yang mengherankan adalah apa yang dilakukan sebagian orang setelah dia mendengar pendapat salah seorang alim atau guru atau Syaikh, kemudian jika dikatakan kepadanya bahwa masalah ini ada beberapa pendapat, maka dia katakan, “Si Fulan yang berpendapat berbeda itu, begini dan begitu”. Wahai saudaraku, perkaranya luas dan bukan sebagai sarana untuk mentahdzir orang dalam masalah ini. Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menyebutkan masalah ini, beliau mengatakan bahwa ini adalah pilihan, siapa yang memiliki ilmu yang lebih dalam tentang masalah ini, maka hendaknya dia memberi faidah kepada kami. Lihat bagaimana ulama bersikap dalam masalah khilaf seperti ini. Jangan engkau jadikan pendapat seorang Syaikh atau seorang Alim dalam masalah yang diperselisihkan seperti ini, menjadi pemisah dan pemecah belah antara manusia. Ini adalah masalah pilihan, kalau pendapat yang engkau ambil itu adalah pendapat seorang Alim, maka di sana juga ada ulama lain yang berpendapat beda. Sehingga sepatutnya kita bersikap dalam masalah seperti ini dengan baik, lembut dan tenang. Jangan sampai seseorang ta’ashub dengan pendapat yang sudah jelas ada perselisihan yang kuat di antara ulama tentang hal itu.
Publisher of the article by : Muslim.Or.Id
Rewritten by : Rachmat Machmud end Republished by : Redaction
Tanda Lailatul Qadar dan Kapan Lailatul Qadar Terjadi? (17)
Category : Bahasan Utama,Ramadhan
- Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1433 H.
- Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379.
- Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thobari, terbitan Dar Ibnil Jauzi.
- Majmu’atul Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan keempat, tahun 1432 H.
- Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 5: 51-52.
Rewritten by : Rachmat Machmud end Republished by : Redaction
Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan (16)
Category : Bahasan Utama,Ramadhan
Lailatul Qadar Di Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan
Lebih Serius dalam Ibadah di Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan
Lathoif Al Ma’arif fii Maa Limawasimil ‘Aam minal Wazhoif, Ibnu Rajab Al Hambali, terbitan Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, tahun 1428 H.
Rewritten by : Rachmat Machmud end Republished by : Redaction
Antara Puasa Dan Tauhid
Written By sumatrars on Selasa, 25 Maret 2014 | Maret 25, 2014
”Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji ke Baitullah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Keislaman seorang hamba tidaklah sempurna kecuali dengan melaksanakan semua asas, tiang, dan rukun islam yang dijelaskan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- di dalam hadist ini. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengumpamakan asas dan tiang ini dengan bangunan yang besar dan kokoh dimana tidaklah bangunan ini dapat berdiri tegak kecuali dengan adanya pondasi-pondasi, jika tidak ada pondasi-pondasi tersebut maka bangunan akan rubuh menimpa penghuninya. Sedangkan amalan-amalan lainnya yang diwajibkan di dalam islam adalah pelengkap dari pondasi tersebut sebagaimana bangunan memiliki pelengkap yang seorang hamba juga membutuhkan pelengkap tersbeut. Dan empat rukun islam lainnya yang disebutkan di dalam hadist di atas seluruhnya dibangun di atas pondasi syahadat karena Allah tidak akan menerima amal seseorang sedikitpun yang tidak dilandasi dengan pondasi syahadat.
Syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah merupakan pondasi islam yang paling agung. Karena dengan adanya pondasi tersebut terjaga darah dan harta. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda (yang artinya):
“Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia sampai mereka mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah melakukannya maka mereka telah menjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan alasan yang dibenarkan dalam Islam. Adapun perhitungan atas mereka itu adalah urusan Allah.” (HR. Muslim).
Dengan adanya pondasi syahadat Allah menerima amal-amal ibadah kita dan dengan adanya pondasi syahadat seseorang masuk dapat ke dalam surga dan selamat dari api neraka. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri darinya maka tidak akan dibukakan untuk mereka pintu-pintu langit dan tidak akan masuk ke dalam surga sampai unta bisa masuk ke dalam lubang jarum…” (QS. al-A’raaf: 40). Dan dengan adanya pondasi syahadat dosa-dosa diampuni seberapa pun besarnya.
Makna syahadat laa ilaaha illallah adalah menerima dan tunduk serta patuh kepada Allah dengan melaksanakan peribadatan secara jujur dan berlepas diri dari peribadatan kepada segala sesuatu selain-Nya karena Dia adalah sesembahan yang haq dan segala sesembahan selain-Nya adalah bathil. Sedangkan makna syahadat muhammadur rasulullah adalah bersaksi bahwa beliau diutus dari sisi Allah, wajib mencintainya, menta’atinya dalam segala hal yang beliau perintahkan, dan tidak mendahulukan perkataan seorang pun dari perkataan beliau.
Kalimat tauhid berarti memberikan pemuliaan dan penghormatan terhadap syari’at Allah. Allah berfirman (yang artinya):
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)” (QS. Al-A’raaf: 3).
dalam ayat lain Allah juga berfirman (yang artinya):
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu”(QS. Ar-Ruum: 30).
Kalimat tauhid berarti berlepas diri dari segala bentuk perbuatan-perbuatan jahiliyah. Allah berfirman (yang artinya):
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?(QS. al-Maa’idah: 50).
dan berlepas diri dari semua agama selain agama islam. Allah berfirman (yang artinya):
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Ali-Imran: 85).
Dan sungguh Al-Qur’an dari awal hingga akhirnya, isinya menerangkan makna syahadat laa ilaaha illallah disertai dengan penafian terhadap kesyirikan dan derivat-derivatnya, dan menetapkan keikhlasan (kemurnian ibadah) serta syari’at-syari’atnya. Maka semua perkataan dan amalan shalih yang dicintai dan diridhai oleh Allah semuanya adalah kandungan dari kalimat ikhlas. Karena penunjukan kalimat ikhlas atas agama ini seluruhnya bisa berupa penunjukan muthabiqah, penunjukan tadhammun, maupun penunjukan iltizam. Dan sesungguhnya Allah menamakan kalimat tauhid ini dengan kalimat taqwa.
Taqwa adalah engkau menjaga dirimu dari murka dan azab Allah dengan meninggalkan segala bentuk kesyirikan dan kemaksiatan, dan mengikhlaskan segala bentuk peribadatan hanya kepada Allah semata, serta mengikuti segala apa yang diperintahkan-Nya sebagaimana perkataan seorang tabi’in Thalq bin Habib –rahimahullah-:
“(taqwa adalah) engkau melaksanakan ketaatan kepada Allah diatas cahaya petunjuk dari Allah karena mengharap pahala dari Allah, dan engkau meninggalkan perbuatan maksiat kepada Allah diatas cahaya petunjuk dari Allah karena takut terhadap azab Allah”.
Dan tauhid adalah makna dari syahadat laa ilaaha illallah yang berarti seseorang tidak beribadah melainkan hanya kepada Allah semata, tidak kepada malaikat yang didekatkan dan tidak pula kepada Nabi yang diutus, terlebih lagi kepada orang-orang selain mereka.
Dan Al-Ilaah (sesembahan) adalah sesuatu yang ditaati dan tidak bermaksiat kepadanya karena takut (yang disertai rasa hormat –pent) kepadanya, memuliakannya, mencintainya, takut kepadanya, berharap kepadanya, bertawakkal kepadanya, meminta kepadanya, dan berdo’a kepadanya. Semua perbuatan-perbuatan itu tidaklah pantas ditujukan melainkan hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Barangsiapa yang menujukan sedikit saja dari perbuatan-perbuatan di atas kepada makhluk dimana perbuatan-perbuatan tersebut hanya boleh ditujukan kepada Allah maka berarti telah timbul satu noda kesyirikan di dalam keikhlasannya terhadap syahadat laa ilaaha illallah, dan cacat di dalam ketauhidannya, serta ada unsur peribadatan kepada makhluk sesuai dengan besarnya perbuatan kesyirikan yang ada padanya. Itu semua termasuk dari cabang-cabang kesyirikan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. an-Nisaa’: 48).
Maka Allah Ta’ala mengabarkan bahwasanya Dia tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik, yaitu tidak mengampuni seorang hamba yang menemui-Nya di akhirat dalam keadaan dia membawa dosa syirik. Dan Allah mengampuni dosa-dosa selain syirik bagi hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki.
Tauhid ini adalah awal dan akhir dari ajaran agama, lahir dan batinya, dan tauhid ini adalah awal dan akhir dari dakwah para rasul. Tauhid ini adalah makna dari syahadat laa ilaaha illallah, karena sesunggunya al-Ilaah (sesembahan) adalah sesuatu yang disembah dan ditujukan peribadatan kepadanya berupa rasa cinta, takut, sikap pemuliaan, pengagungan, dan semua bentuk-bentuk peribadatan lainnya.
Tauhid merupakan asas yang paling agung yang dinyatakan dan dijelaskan oleh al-Qur’an dengan bukti-bukti yang nyata. Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah merupakan asas yang paling agung secara mutlak, asas yang paling sempurna, paling utama, dan paling wajib keberadaannya bagi kemaslahatan umat manusia. Untuk tujuan tauhid ini Allah menciptakan jin dan manusia, Allah menciptakan seluruh makhluk, dan menetapkan berbagai syari’at demi tegaknya tauhid ini. Dan dengan adanya tauhid ini maka akan terwujud kemaslahatan dan dengan tidak adanya maka akan muncul keburukan dan kerusakan.
Maka penjelasan atas masalah ini adalah bahwa dosa syirik adalah dosa yang paling besar karena Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia tidak akan mengampuni dosa syirik kecuali dengan taubat. Adapun dosa-dosa selain syirik berada dibawah kehendak Allah, jika Allah berkehendak maka Dia akan mengampuninya tanpa taubat dan jika Allah berkendak maka Dia akan mengazabnya.
Wajib bagi seorang hamba untuk benar-benar takut dari terjerumus ke dalam dosa syirik karena begitu besarnya dosa ini di sisi Allah. Sesungguhnya demikian keadaannya karena syirik merupakan perbuatan keji yang paling keji dan bentuk kedzoliman yang paling dzolim sebab inti dari perbuatan syirik adalah mencacati Allah Rabb semesta alam dan memalingkan hak mengikhlaskan ibadah kepada selain-Nya, dan karena syirik bertentangan dengan tujuan diciptakannya jin dan manusia dan bertentangan dengan perintah untuk menafikan syirik. Perbuatan syirik merupakan bentuk penentangan yang paling besar kepada Allah Rabb semesta alam dan bentuk kesombongan dari ketaatan kepada-Nya, dan bertentangan dengan sikap menghinakan diri dan ketundukan terhadap perintah-perintah-Nya.
Maka hakikat tauhid adalah kita beribadah hanya kepada Allah semata, dan tidak melihat kecuali kepada-Nya, tidak takut kecuali hanya kepada-Nya, tidak bertaqwa kecuali hanya kepada-Nya, tidak bertawakkal kecuali hanya kepada-Nya, tidak kepada seorang makhluk pun, dan tidak menjadikan malaikat dan para nabi sebagai Rabb selain-Nya.
Ketahuilah –semoga Allah merahmatiku dan kalian- sesungguhnya suatu ibadah tidak sah dan tidak akan diterima oleh Allah kecuali dengan asas tauhid, maka tidak akan diterima puasa, sholat, zakat, dan haji, kecuali dari seorang hamba telah merealisasikan tauhid dan membentengi dirinya dari menjadikan segala sesuatu selain Allah sebagai tandingan dan dari berbuat syirik kepada Allah.
Alhamdulillaahi bini’matihi tatimmus shaalihaat…
Sumber Artikel : Muslim.Or.Id
Pembatal Puasa Kontemporer (10), Injeksi Lewat Saluran Kencing
Written By sumatrars on Selasa, 25 Februari 2014 | Februari 25, 2014
Dalam pengobatan ada yang dilakukan dengan cara menginjeksi cairan, minyak atau pun obat lewat saluran kencing. Kaitannya dengan puasa, bisa jadi ada yang tetap mau melakukan injeksi atau suntik semacam ini ketika menjalani shiyam. Apakah injeksi semacam itu termasuk membatalkan puasa?
Perselisihan Para Ulama
Mengenai hukum menginjeksi cairan atau minyak lewat saluran kencing saat puasa, diperselisihkan oleh para ulama apakah menjadi batal ataukah tidak puasanya. Intinya, ada dua pendapat dalam masalah ini.
Pendapat pertama menyatakan tidaklah batal. Inilah yang menjadi pendapat dalam madzhab Abu Hanifah, Malikiyah dan Hanabilah. Alasannya adalah tidak ada saluran yang menghubungkan saluran kencing dengan bagian dalam tubuh.
Pendapat kedua menyatakan batalnya puasa. Inilah yang menjadi pendapat ulama Syafi’iyah dan Abu Yusuf (murid Abu Hanifah). Seperti misalnya disebutkan dalam kitab Matan Al Ghoyah wat Taqrib bahwa yang membatalkan puasa adalah segala sesuatu yang diinjeksikan melalui dubur dan saluran kencing. Alasan pendapat ini karena menganggap adanya saluran yang menghubungkan antara saluran kencing dan rongga dalam tubuh.
Pendapat kedua di atas bisa terbantah karena penelitian terkini menunjukkan tidak adanya saluran yang menghubungkan saluran kencing dan bagian dalam tubuh.
Pendapat Terpilih
Pendapat yang terpilih dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama (mayoritas) yang menyatakan tidak batalnya. Karena pendapat tersebutlah yang didukung oleh penelitian mutakhir saat ini. Dan juga dengan adanya injeksi seperti itu tidak sampai mengenyangkan orang yang berpuasa.
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita.
Sumber Artikel Rumaysho.Com.
Qur’an in Word
QUR'AN IN WORD بسم الله الرحمن الرحيم Alhamdulillah, kemajuan teknologi bila dimanfaatkan dengan baik dan benar InsyaAllah akan m...