Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post
Tampilkan postingan dengan label manhaj. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label manhaj. Tampilkan semua postingan

An Nawawi Dan Ibnul Mundzir Adalah Wahabi?

Written By sumatrars on Selasa, 15 Juli 2014 | Juli 15, 2014

Label: Manhaj, akidah, kuburan, madzhab syafi'i, ngalap berkah, syafi'i, Tauhid, Wahabi

Sebagian orang yang tidak suka dengan dakwah tauhid, menjuluki para da’i yang mengajak untuk bertauhid yang benar dengan julukan “wahabi”. Diantara perkara yang banyak diingkari para pembenci dakwah tauhid adalah larangan syariat terhadap ibadah di kuburan dan ngalap berkah di kuburan. Para da’i yang memperingkatkan hal ini pun lantas dijuluki “wahabi”. Padahal diantara para pembenci tersebut banyak yang menisbatkan diri pada madzhab Syafi’i, sedangkan para ulama madzhab Syafi’i pun melarang beribadah di kuburan dan ngalap berkah di sana. Simak penjelasan Ust Musyaffa Lc., MA. berikut ini:

***

An Nawawi melarang ibadah dan ngalap berkah di kuburan

Imam An Nawawi rahimahullah (wafat 676H), ulama besar madzhab Syafi’i, mungkin akan dikatakan terpengaruh paham Wahabi, karena perkataan beliau berikut ini:

لا يجوز أن يطاف بقبره صلى الله عليه وسلم، ويكره إلصاق الظهر والبطن بجدار القبر، قاله أبوعبيد الله الحليمي وغيره. قالوا: ويكره مسحه باليد وتقبيله، بل الأدب أن يبعد منه كما يبعد منه لو حضره في حياته صلى الله عليه وسلم.

هذا هو الصواب الذي قاله العلماء وأطبقوا عليه، ولا يغتر بمخالفة كثيرين من العوام وفعلهم ذلك، فإن الاقتداء والعمل إنما يكون بالأحاديث الصحيحة وأقوال العلماء، ولا يلتفت إلى محدثات العوام وغيرهم وجهالاتهم… ومن خطر بباله أن المسح باليد ونحوه أبلغ في البركة، فهو من جهالته وغفلته، لأن البركة إنما هي فيما وافق الشرع، وكيف يبتغى الفضل في مخالفة الصواب؟!

“Tidak boleh thawaf di kuburannya Nabi shallallahu’alaihi wasallam, dan tindakan menempelkan punggung dan perut ke dinding kuburan beliau adalah perbuatan yang dibenci. Itulah yang dikatakan oleh Abu Ubaidillah Al-Halimi dan ulama yang lainnya. Mereka juga mengatakan: “dibenci pula mengusap kuburan itu dengan tangan dan menciumnya. Namun yang sesuai dengan adab / sunnah adalah dengan menjauh dari kuburan beliau, sebagaimana hendaknya ia menjauhkan badannya bila ia mendatangi beliau saat masih hidup.

Inilah tindakan yang benar, yang dikatakan oleh para ulama, dan mereka sepakat dalam hal ini. Dan janganlah tergoda dengan banyaknya orang-orang awam yang menyelisinya, dan (jangan tergoda pula) oleh kelakuan mereka itu! Karena mengikuti dan mengamalkan sesuatu itu hanyalah dengan dasar hadits-hadits yang shahih dan perkataan para ulama. Dan jangan tergoda oleh bentuk-bentuk kebodohan dan perkara-perkara (bid’ah) yang diada-adakan oleh orang-orang awam. Barangsiapa terbetik di benaknya, bahwa mengusap dengan tangan dan tindakan yang semisalnya lebih mendatangkan berkah, maka itu merupakan kebodohan dan kelalaiannya. Karena keberkahan hanyalah dalam hal yang sesuai syariat. Bagaimana mungkin suatu keutamaan dicari dalam hal yang menyelisihi kebenaran?! (Al-Majmu’, karya Imam Nawawi, 8/275)

Wahabi-kah Imam An Nawawi?! Atau Syafi’i-kah mereka yang dituduh wahabi?!

Ibnul Mundzir melarang shalat di kuburan

Banyak orang beranggapan dianjurkan untuk shalat di kuburan para wali saat berziarah. Tentunya dengan tujuan yang beragam. Padahal Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah menyabdakan:

لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ

Janganlah kalian shalat ke kuburan!” (HR. Muslim: 972).

Mungkin diantara mereka ada yang ngeyel dengan mengatakan: “itu kan kalau shalatnya menghadap ke kuburan, kalau saya shalatnya di kuburan tapi menghadap ke kiblat!“. Sayang, orang seperti ini belum tahu hadits-hadits lain yang lebih tegas dalam masalah ini. Bukankah Nabi kita tercinta shallallahu’alaihi wasallam juga telah menyabdakan:

الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْحَمَّامَ وَالْمَقْبَرَةَ

Bumi semuanya bisa dijadikan masjid (yakni tempat shalat yang di dalamnya ada sujud), kecuali tempat untuk mandi, dan kuburan” (HR. Abu Dawud: 492 dll, dishahihkan oleh Alhakim, Adz-Dzahabi, dan Syaikh Al Albani).

Mungkin ia masih akan ngeyel dengan mengatakan: “itu kan pemahaman Anda yg wahabi”, mohon ma’af mas ‘lakum diinukum waliya diin“.

Subhanallah… sulit jadinya jika sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam kurang dihormati dan tidak didengarkan.

Baiklah, bukankah Ibnul Mundzir (wafat 319 H) yang bermazhab Syafi’i telah mengatakan:

وَقَوْله: «وَلَا تَجْعَلُوهَا قُبُورًا» ، يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الصَّلَاةَ غَيْرُ جَائِزَةٍ فِي الْمَقْبَرَةِ

sabda beliau: ‘jangan jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan!‘, itu menunjukkan bahwa shalat itu tidak diperbolehkan di kuburan” (Kitab Al-Ausath, 2/183).

Silahkan, bila orang itu menuduh Ibnul Mundzir sebagai seorang wahabi.


Sumber artikel : Muslim.Or.Id

Kembali Keatas /Top

Artikel :Blog Al Islam


 

Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.

If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.

Delivered by FeedBurner

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Jalan Golongan Yang Selamat

Written By sumatrars on Jumat, 13 Juni 2014 | Juni 13, 2014

Category : ahlus sunnah, al jama'ah, firqatun najiyah, Manhaj, Salafi, Wahabi
Source article: Muslim.Or.Id

Transcribed on : 12 June 2014,

Firqatun Najiyah

Istilah golongan yang selamat yang dalam bahasa Arab disebut dengan al-firqatu an-najiyah ( الفرقة الناجية ) muncul berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yakni:

افترقت اليهود على إحدى و سبعين فرقة ، فواحدة في الجنة و سبعين في النار ، و افترقت النصارى على اثنين و سبعين فرقة فواحدة في الجنة و إحدى و سبعين في النار ، و الذي نفسي بيده لتفترقن أمتي على ثلاث و سبعين فرقة ، فواحدة في الجنة و ثنتين و سبعين في النار ، قيل يا رسول الله من هم ؟ قال : هم الجماعة

“Yahudi telah berpecah-belah menjadi 71 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh di Neraka, dan Nashara telah berpecah belah menjadi 72 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh satu di Neraka, dan demi yang jiwaku di tangan-Nya sungguh ummatku akan berpecah belah menjadi 73 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh dua di Neraka, dikatakan “Wahai Rasul ALLAH siapa mereka itu?”, beliau berkata: “Mereka adalah al-Jama’ah.”” (HR Ahmad, shahih).

Kata “ فرقة ” bermakna golongan, kelompok dari hasil berpecah, sedangkan “ ناجية ” bermakna selamat. Dalam konteks hadis di atas adalah selamat dari Neraka dan dimasukkan Surga.

Dari hadis tersebut muncul pertanyaan siapa mereka itu? Lafadz hadis tersebut menunjukkan yang selamat disebut “ الجماعة ” yang juga secara bahasa bermakna golongan dari hasil berkumpul. Dalam hadis ini tentu saja tidak bermaksud makna bahasa tapi makna syar’i, sebab jika itu bermakna bahasa maka hadis itu tidak berarti apa-apa. Pertanyaan berikutnya adalah siapa al-Jama’ah yang dimaksud?

Untuk menjawab ini harus diteliti makna dan maksud al-Jama’ah dan al-Firqah dan perintah untuk berjama’ah atau berkumpul disertai larang berfirqah atau berpecah belah di dalam al-Quran dan as-Sunnah:

{ وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا} (آل عمران: من الآية: 103)

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, …” (QS Ali Imran: 103)

{ وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ} (آل عمران: من الآية: 105)

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. …” (QS Ali Imran:105).

Dua ayat tersebut jelas-jelas memerintahkan bersatu (jama’ah) dan melarang perpecahan (firqah).

Sedangkan dalam as-Sunnah:

((من خرج من الطاعة وفارق الجماعة فمات مات ميتة جاهلية))

Barangsiapa keluar dari ketaatan (pada amir) dan memisahkan diri (berpecah) dari al-jama’ah kemudian mati maka mati dalam keadaan mati jahiliyah” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

((من أراد بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة فإن الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد))

Barangsiapa menghendaki surga yang terbaik dan ternyaman hendaknya melazimi al-jama’ah karena syaitan bersama satu orang dan dia lebih jauh dari dua orang.” (HR at-Tirmidzi dari ‘Umar bin al-Khattab, hasan shahih gharib dan disebutkan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi).

((الجماعة رحمة والفرقة عذاب))

Jama’ah itu rahmat sedangkan furqah (perpecahan) itu ‘adzab” (HR Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah dan dihasankan oleh al-Albani dalam takhrijnya, Shahih al-Jami’ dan yang lain)

Hadis-hadis ini senada dengan ayat-ayat al-Quran yang telah disebutkan tentang kewajiban melazimi al-Jama’ah dan menjauhi furqah (perpecahan). Kemudian apa makna al-Jama’ah?

Al Jama’ah

Apabila dibawa pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat maka makna al-Jama’ah tentu saja berpegang kepada Islam yang murni yakni al-Quran dan as-Sunnah, karena jelas Nabi dan para shahabat termasuk dari al-Jama’ah yang dimaksud dalam ayat-ayat al-Quran dan riwayat-riwayat dalam as-Sunnah tersebut, sehingga orang-orang yang menyelesihi mereka adalah firqah sebagai konsekuensi logis meninggalkan al-Jama’ah yakni Nabi dan para shahabat.

Para ‘ulama mempunyai pendapat yang bervariasi tapi tidak saling bertentangan, di mana menurut asy-Syathibi bisa dirangkum dalam lima pendapat, yaitu:

  1. as-Sawadu al-A’dzam ( السواد الأعظم ) yakni maksudnya adalah kelompok terbesar dari orang-orang muslim. Mereka itulah yang dimaskud al-Jama’ah yakni al-Firqatu an-Najiyah (golongan yang selamat). Maka pemahaman Islam yang mereka pegang adalah benar yang menyelisihi mereka mati dalam keadaan mati jahiliyah baik menyelesihi pemahaman agama mereka ataupun menyelisihi imam mereka. Sehingga yang dimaksud as-Sawadu al-A’dzam adalah orang-rang yang berpegang teguh dengan syari’ah yang benar. Pendapat ini adalah pendapat Abu Mas’ud al-Anshari dan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhuma. Ketika terbunuhnya khalifah ‘Utsman radhiallahu ‘anhu maka Abu Mas’ud ditanya tentang fitnah maka beliau menjawab: “Tetaplah engkau dengan al-Jama’ah, sesungguhnya ALLAH tidaklah mengumpulkan ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas kesesatan …”. Ibnu Mas’ud berkata: “Tetaplah kalian mendengar dan ta’at, karena itu adalah tali ALLAH yang Dia perintahkan (untuk memegang teguh) …” beliau juga berkata: “Sesungguhnya yang kalian benci di dalam jama’ah lebih baik dari pada yang kalian sukai di dalam perpecahan …”.

  2. Jama’ah imam-imam ‘ulama mujtahidin, maka barang siapa keluar dari apa yang telah disepakati ‘ulama ummat ini mati dalam keadaan mati jahiliyah. Karena ‘ulama ummat ini lah yang dimaksud dalam hadis shahih :

    ((إن الله لن يجمع أمتي على ضلالة))

    Sesungguhnya ALLAH tidak akan mengumpulkan ummatku di atas kesesatan” (hadis ini dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami’).
    Pendapat ini mengkhususkan ‘ulama mujtahidin dari as-Sawadu al-A’dzam ummat ini. Pendapat ini dikatakan oleh: ‘Abdullah bin al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaihi dan sekelompok ulama salaf. Ibnu al-Mubarak pernah ditanya: “Siapakah al-Jama’ah yang sepatunya diikuti?” Beliau berkata:” Abu Bakar dan ‘Umar”. beliau terus menyebutkan sampai ke Muhammad bin Tsabit dan al-Husain bin Waqid. Maka dikatakan pada beliau: “ Mereka sudah mati, siapakah yang masih hidup dari Jama’atu al-Muslimin hari ini?” maka dijawab: “ Abu Hamzah as-Sukari adalah jama’ah.” Abu Hamzah ini adalah Muhammad bin Maimun al-Marwazi, mendengar dari Abu Hanifah. Oleh karena itu barang siapa beramal menyelesihi para ulama mujtahid ini akan mati dalam keadaan jahiliyah.

  3. Para Sahabat secara khusus, karena mereka yang telah berhasil menegakkan agama ini secara keseluruhan dan meraka adalah orang-orang yang tidak akan bersepakat di atas kesesatan. ‘Umar bin ‘Abdil Aziz berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Wulatu al-amri (Khalifah-khalifah) sesudahnya telah memberikan tuntunan (sunnah). Mengambil tuntunan itu adalah pembenaran terhadap Kitab ALLAH (al-Quran), penyempurnaan ketaatan kepada ALLAH, kekuatan di atas agama ALLAH. Tidak seorangpun boleh mengganti dan mengubahnya dan tidak pula melihat apapun yang menyelesihinya. Barang siapa mengambil petunjuk dengan tuntunan itu akan mendapat petunjuk barang mengambil pertolongan berdasar tuntunan itu maka akan ditolong (oleh ALLAH), barang siapa menyelisihnya berarti mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman dan ALLAH akan membiarkan dia dalam kesesatannya dan memasukkan dia ke neraka Jahannam dan itulah sejelek-jelak tempat kembali”.
    Riwayat ini disampaikan oleh al-Imam Malik dan beliau takjub dan menyetujuinya. Pendapat ini sesuai dengan riwayat lain dari hadis perpecahan ummat tersebut yakni lafadz pengganti al-Jama’ah yaitu:

    ((ما أنا عليه وأصحابي))

    Apa yang aku dan shahabatku di atasnya …
    hadis dengan lafadz ini diriwayatkan at-Tirmidzi dalam sunannya dan dihasankan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi. Lafadz ini menerangkan makna al-Jama’ah yang tidak lain dasarnya adalah tuntunan yang dipegang dan difahami para shahabat radhiallahu ‘anhum.

  4. Jama’atu ahli al-Islam jika mereka berkumpul di atas suatu perkara maka wajib atas yang lain untuk mengikuti mereka. Berkaitan dengan in al-Imam asy-Syafi’i berkata:

    الجماعة لا تكون فيها غفلة عن معنى كتاب ولا سنة ولا قياس، وإنما تكون الغفلة في الفرقة

    al-Jama’ah tidak mungkin di dalamnya lalai dari makna Kitab (al-Quran) dan Sunnah tidak pula qiyas, kelalaian hanya terjadi pada firqah (sempalan)”.
    Beliau bermaksud bahwa jama’ah kaum muslimin adalah orang-orang yang berkumpul dalam satu perkara, karena berkumpulnya mereka terhadap satu perkara menunjukkan kalau perkara itu shahih karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhabarkan bahwa ummat ini tidak akan bersepakat dalan kesesatan, sedangkan perpecahan dan perselisihan adalah hasil dari kelalalaian (terhadap al-Quran dan as-Sunnah) dan tidak masuk ke makna al-Jama’ah.

  5. Jama’ah kaum muslimin jika bersepakat pada satu amir (pemimpin), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melazimi dan menetapi jama’ah tersebut dan melarang berpecah serta meninggalkan jama’ah ini. Ini adalah pendapat al-Imam ath-Thabari. Sesuai hadits :

    ((من جاء إلى أمتي ليفرق جماعتهم فاضربوا عنقه كائنًا من كان))

    Barangsiapa datang ke ummatku untuk memecah-belah jama’ah mereka maka penggallah lehernya apapun yang terjadi.

Kelima makna al-Jama’ah bisa dirangkum bahwa al-Jama’ah kembali kepada berkumpul dan bersatunya kaum muslimin atas seorang imam yang sesuai al-Quran dan as-Sunnah, sehingga bersatunya manusia di atas selain as-Sunnah di luar makna al-Jama’ah dalam hadis tersebut, sebagaimana orang-orang Khawarij yang keluar dari ketaatan al-Imam ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan juga pemahaman para shahabat terhadap al-Quran dan as-Sunnah.

Golongan yang selamat yang dimaksud adalah al-Jama’ah disertai dengan ittiba‘ sunnah sehingga dinamai Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah. Mereka adalah golongan yang dijanjikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan keselamatan di antara golongan-golongan yang ada. Prinsip mereka adalah ittiba‘ (mengikuti) sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam aqidah, ibadah, akhlak dan selalu melazimi jama’ah kaum muslimin jika ada, jika tidak ada mereka tetap berpegang pada sunnah dan meninggalkan seluruh golongan yang ada.

Ibnu Abi Syamah berkata: “Ketika datang perintah melazimi jama’ah maka yang dimaksud adalah melazimi kebenaran dan megikutinya walaupun orang yang berpegang pada kebenaran jumlahnya sedikit sedangkan yang menyelesihinya berjumlah banyak, karena kebenaran itulah yang dipegang oleh jama’ah pertama pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan begitu juga pada zaman para shahabat radhiallahu ‘anhum, tidak dipedulikan banyaknya orang-orang yang berpegang pada kebathilan setelah mereka.

‘Amru bin Maimun yang pernah melazimi Mu’adz bin Jabal dan kemudian ‘Abdullah bin Mas’ud pernah mendengar Ibnu Mas’ud berkata: “Tetaplah kalian bersama al-Jama’ah …”, sehingga datang suatu zaman diakhirnya shalat dari waktunya maka Ibnu Mas’ud memerintahkan shalat tepat pada waktunya di rumah dan berjama’ah bersama “al-jama’ah” sebagai tambahan (nafilah/sunnah). Maka ‘Amru mempertanyakan saran Ibnu Mas’ud ini. Maka Ibnu Mas’ud bertanya: ”Apakah engkau mengetahui makna al-Jama’ah?”. ‘Amru menjawab: “Tidak.

Ibnu Mas’ud berkata:” Sesungguhnya mayoritas al-Jama’ah itulah yang telah meninggalkan al-Jama’ah yang sesungguhnya, sesungguhnya al-Jama’ah itu adalah apa yang sesuai kebenaran walaupun engkau sendirian!”

Nu’aim bin Hammad berkata: ”Yaitu jika al-Jama’ah sudah rusak maka tetaplah Engkau dengan apa yang di atasnya al-Jama’ah sebelum rusak, walaupun dirimu sendirian maka Engkau adalah al-Jama’ah pada saat itu”. Ini adalah ucapan yang luar biasa jelas, sebab kebenaran tidak dilihat dari banyaknya pengikut akan tetapi dilihat dari sejauh mana iltizam dan melazimi agama Allah Ta’ala, tidak dilihat dari banyak atau sedikitnya.

Kemudian kadang-kadang mereka yakni para Shahabat dan juga orang-orang generasi awal yang mengikuti mereka berpegang pada al-Quran dan as-Sunnah yakni Islam yang murni sering disebut dengan istilah salaf. Apa makna dan maksud salaf di sini?

Salaf

Istilah “سلف ” secara bahasa adalah bentuk plural atau jamak dari “ سالف ” yang bermakna orang yang mendahului, sehingga salaf bermakna kumpulan orang-orang yang telah mendahului, sebagaimana kata salaf dalam al-Quran:

{فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفًا وَمَثَلًا لِلآخِرِينَ} (الزخرف: 56).

dan Kami jadikan mereka sebagai ‘salaf’ dan contoh bagi orang-orang yang datang kemudian.” Kata ‘salaf’ di ayat tersebut adalah para pendahulu sebagai pelajaran untuk diambil ‘ibrahnya.

Makna salaf secara istilah terdapat beberapa pendapat:

  1. salaf adalah para shahabat saja, ini pendapat para pensyarah kitab ar-Risalah oleh Ibnu Abi Zaid al-Qairawani.

  2. salaf adalah para shahabat dan tabi’in, ini pendapat Abu Hamid al-Ghazzali.

  3. salaf adalah para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, yakni tiga generasi yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kebaikan dalam hadis ‘Imran bin Hushain yakni:

    “خير أمتي قرني، ثم الذي يلونهم، ثم الذين يلونهم” .

    Sebaik-baik ummatku adalah generasiku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka” (HR al-Bukhari)

Pendapat ini dipegang banyak ‘ulama seperti asy-Syaukani, as-Safarini, Ibnu Taimiyah, dan yang lain. Sebagian ‘ulama seperti al-Imam al-Ajuri memasukkan generasi sesudahnya seperti al-Imam Ahmad, al-Imam asy-Syafi’i, Ishaq, Abu ‘Ubaid dan lainnya yakni aqran mereka (‘ulama sezaman dan seumuran mereka) ke dalam istilah salaf.

Tentu saja salaf yang dimaksud bukan hanya pembatasan masa atau generasi akan tetapi kembali ke makna al-Jama’ah yakni ahlu as-sunnah wa al-jama’ah di mana salaf yang dimaksud adalah generasi shahabat, tab’in, tabi’ut tabi’in yang berpegang dengan al-Quran dan as-Sunnah, sebab munculnya bid’ah Khawarij dan Rafidhah masih di masa tiga generasi tersebut. Kenapa dibatasi hanya tiga generasi awal, sebab setelah itu jumlah firqah dan kelompok-kelompok menyimpang mulai banyak dan leluasa di antaranya pada zaman al-Imam Ahmad di mana mu’tazilah berhasil mempengaruhi kekuasaan yaknik khalifah untuk menyebarkan faham al-Quran makhluk kepada ummat Islam dengan paksa. Sehingga madzhab atau pemahaman salaf itu tidak lain pemahaman al-Jama’ah yakni pemahaman golongan yang selamat.

Al-Imam as-Safarini berkata: ”Maksud dari madzhab as-salaf yaitu apa yang para shahabat yang mulia di atasnya dan juga para tabi’in (pengikut shahabat dengan cara yang baik), pengikut tabi’in, para imam agama ini yang diakui ke-imamannya dan perhatiannya kepada agama ini, dan manusia menerima ucapan-ucapan mereka sebagai pengganti para salaf, bukan orang yang dicap dengan bid’ah atau terkenal dengan gelar yang tidak diridhai seperti Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murjiah, Jabriyah, Jahmiyah, Mu’tazilah, Karramiyah dan semacamnya”.

Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan para ‘ulama yang senada dengan beliau yang tidak cukup disebutkan dalam tulisan yang singkat ini.

Ahlul Hadits dan Ath Tha’ifah Al Manshurah

Ada beberapa sebutan lain dari al-Jama’ah sebagai golongan yang selamat selain nama ahlu as-sunnah wa al-jama’ah dan salaf, yakni ahlu al-hadis dan ath-tha’ifah al-manshurah. Makna yang dimaksud “ أهل الحديث ” bukanlah para pakar hadis baik sisi riwayat atau dirayah saja tapi yang dimaksud adalah orang-orang yang menempuh jalan orang-orang shalih dan mengikuti jejak para salaf di mana mereka mempunyai perhatian khusus dengan hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam mengumpulkan, menjaga, meriwayatkan, memahami dan mengamalkan dzahir dan bathin, maka dengan itu mereka menjadi orang-orang yang paling melazimi sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mendahului sunnah-sunnah dengan akal, hawa nafsu atau membuat bid’ah apapun keadaannya.

Makna istilah ahli hadis telah mengalami perubahan dari zaman ke zaman, akan tetapi makna ahli hadis yang dimaksud bukanlah makna ahli hadis zaman sekarang yang berarti sekelompuk ilmuwan atau ulama yang bergelut di bidang hadis riwayat dan dirayat akan tetapi makna ahli hadis harus dikembalikan ke makna munculnya istilah ini sebagai nama lain dari al-Jama’ah atau dengan kata lain istilah ahli hadits harus dikembalikan dalam pembahasan ‘aqidah dengan merujuk kepada kitab-kitab ‘aqidah salaf seperti “Aqidatu as-Salaf Ashabi al-Hadits” oleh Abu ‘Utsman ash-Shabuni, juga “I’tiqad Aimmati al-Hadits” oleh Abu Bakar al-Isma’ili dan semacamnya bukan merujuk kepada kitab-kitab musthalah al-hadits. Sebab tidak mungkin hanya sekedar pakar dalam ilmu hadis menyebabkan seseorang menjadi golongan yang selamat.

Apabila dikembalikan dalam pembahasan ‘aqidah maka istilah ahlu as-sunnah akan sama dengan ahlu al-hadits. Akan tetapi jika dikembalikan pembahasan ilmu musthalah hadits maka ahlu as-sunnah berbeda dengan ahlu al-hadits.

Ibnu ash-Shalah ditanya tentang perbedaan antara as-sunnah dengan al-hadits tentang perkataan sebagian ‘ulama tentang al-Imam Malik bahwa beliau mengumpulkan antara as-sunnah dengan al-hadits (yakni ahlu as-sunnah sekaligus ahlu al-hadits), maka beliau menjawab: “As-sunnah adalah lawan dari al-bid’ah, kadang-kadang seseorang termasuk ahlu al-hadits tapi dia ahlu al-bid’ah sedangkan Malik mengumpulkan dua sunnah, yakni beliau sangat mengetahui sunnah (yakni hadits) dan ber’aqidah sunnah (yakni madzhab (aqidah) nya adalah madzhab yagn ahlu al-haq bukan bid’ah)”.

Mereka disebut ahlu al-hadits karena mereka pembawa sunnah dan orang yang paling dekat kepada sunnah, dan mereka adalah pewaris Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penukil sunnah-nya, ahlu al-bid’ah di antara mereka sangat sedikit, sebagian besar dari mereka adalah mengikuti atau ittiba‘ bukan ibtida‘ yakni berbuat bid’ah.

Sehingga jika disebut ahlu al-hadits dalam kitab-kitab ‘aqidah maka yang dimaksud adalah ahlu al-hadits dalam riwayat dan dirayah dan ittiba‘, tidak hanya sekedar mendengar, menulis dan meriwayatkan hadits tanpa ittiba’. Sehingga maksud ahlu al-hadits adalah ahlu as-sunnah secara muthlaq khususnya dalam kitab-kitab ‘aqidah dari para salaf.

Sedangkan penamaan yang lain yakni “ الطائفة المنصورة ” yang bermakna “Golongan yang ditolong”. Penamaan ini berasal dari hadits:

(( لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ حتى يأتيهم أمر الله وهم ظاهرون))

Akan selalu ada segolongan dari ummatku yang selalu tegak (di atas kebenaran) sehingga datang kepada mereka perintah ALLAH dan mereka tetap tegak (di atas kebenaran)“. (HR al-Bukhari)

(( لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي منصورين، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حتى تقوم الساعة))

Akan selalu ada segolongan dari ummatku yang ditolong, tidak memudharatkan mereka orang-orang yang menjatuhkan mereka sehingga tegaklah hari kiamat.” (HR at-Tirmidzi, beliau berkata hasan shahih, dan dishahihkan al-Albani)

Para salaf telah menjelaskan maksud gelar ini (thaifah manshurah), ‘Abdullah bin al-Mubarak berkata: ”Mereka menurutku adalah ashabu al-hadits.” Maksud ashabu al-hadits adalah ahlu al-hadits yakni ahlu as-sunnah.

Yazid bin Harun berkata: “Jika mereka bukan ashabu al-hadits maka saya tidak tahu siapa lagi mereka itu.

‘Ali bin al-Madini berkata: “Mereka adalah ashabu al-hadits”.

al-Imam Ahmad berkata: “Jika golongan yang ditolong ini bukan ashabu al-hadits maka saya tidak tahu lagi siapa mereka itu.

al-Bukhari berkata: “Mereka adalah ahlu al-’ilmi (‘ulama).

dalam riwayat lain dari al-Khatib al-Baghdadi, al-Bukhari berkata: “Mereka ashabu al-hadits”, tentu saja ini tidak bertentangan sebab ahlu al-hadits termasuk ahlu al-’ilmi (‘ulama).

Ahmad bin Sinan berkata: “Mereka ahlu al-’ilmi dan ashabu al-atsar”. Ahlu al-atsar yang dimaksud sama dengan ahlu al-hadits.

Kenapa ahlu al-hadits adalah golongan yang paling berhak mendapat pertolongan dan kemenangan dari ALLAH? Sebab mereka menolong sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkannya, dan membelanya sehingga mereka orang yang paling layak mendapat gelar “thaifah manshurah” sebagaimana kata Abu ‘Abdillah al-Hakim: “Sungguh Ahmad bin Hambal sangat tepat dalam tafsir khabar ini bahwa ath-Thaifah al-Manshurah yang diangkat dari mereka pengkhianatan sampai hari kiamat adalah ashabu al-hadits …

Maksud ahlu al-hadits di sini adalah ahlu as-sunnah sebagaimana telah dijelaskan.

al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Sesungguhnya Ahmad bermaksud (dari ashabu al-hadits) adalah ahlu as-sunnah wa al-jama’ah dan siapapyn yang beraqidah dengan madzhab ahlu al-hadits”.

Sehingga jelas sekali bahwa ahlu al-hadits menurut tafsir para salaf terhadap ath-Thaifah al-Manshurah adalah Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah, merekalah golongan yang ditolong, oleh karena itu banyak didapatkan dalam kitab-kitab ‘aqidah pemutlakan nama ath-Thaifah al-Manshurah atas nama Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah.

Meskipun dalam beberapa riwayat disebut letak golongan yang ditolong ini di daerah Syam, tidak berarti membatasi hanya di Syam saja akan tetapi dalam suatu masa mereka ini yakni golongan yang ditolong ini ada di Syam di mana pada masa yang lain bisa di Hijaz maupu di Mesir atau tempat-tempat lain, ALLAH a’lam.

Metode penerimaan ilmu agama

Sumber ilmu mereka baik dalam ‘aqidah, ‘ibadah, mu’amalah, akhlak dan seluruh cabang-cabang syari’ah adalah hanya dari al-Quran dan as-Sunnah.

Menurut ahlu as-sunnah tidak ada yang maksum kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, semua perkataan siapapun boleh diambil atau ditinggalkan kecuali perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perkataan imam-imam mereka mengikuti perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sebaliknya.

Oleh karena itu tampak pada diri mereka iltizam dan selalu mengikuti sunnah sebagaimana jama’ah pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni para shahabat radhiallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka. Mereka tidak menerima ijtihad atau pendapat apapun kecuali setelah ditimbang dengan al-Quran dan as-Sunnah serta ijma’ salaf.

Ahlu as-sunnah wa al-jama’ah tidaklah bersikap kecuali dengan ilmu dan akhlak para as-salafu ash-shalih dan orang-orang yang mengambi dari mereka dan melazimi jama’ah mereka. Hal itu disebabkan karena para shahabat radhiallahu ‘anhum belajar tafsir al-Quran dan al-Hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka mengajarkan kepada para tabi’in dan mereka tidak pernah sama sekali mendahului ALLAH dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dengan pendapat, tidak pula perasaan, tidak pula akal, tidak pula yang lainnya.

ALLAH telah memuji mereka dalam al-Quran:

{ وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} (التوبة: 100)

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.

Maka ALLAH menjadikan pengikut mereka dengan baik mendapat ridha dan surga-Nya. Maka barang siapa mengikuti as-sabiqun al-awwalun maka termasuk golongan mereka dan mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para nabi karena ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan untuk manusia dan para shahabat pada hakikatnya adalah sebaik-baik ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ahlu as-Sunnah adalah ahlu at-tawassuth wa al-i’tidal (ummat pertengahan dan moderat)

Ummat Islam adalah sebaik-baik ummat sebagaimana firman ALLAH ta’ala:

}كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ) {آل عمران: من الآية: 110)

Kalian adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan untuk manusia” (QS: Ali Imran:110)

mereka juga ummat pertengahan sebagaimana firman-Nya:

}وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا) {البقرة: من الآية: 142.(

demikianlah Kami jadi kalian umat yang pertengahan

Ummat Islam adalah sebaik-baik ummat dari seluruh ummat agama lain sehingga Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah adalah sebaik-baik ummat dari ummat Islam karena kebaikan ummat Islam adalah karena mereke berpegang dan mengamalkan al-Quran dan as-Sunnah sedangkan Ahlus as-Sunnah adalah golongan yang paling berpegang kepada al-Quran dan as-Sunnah sebagaimana para shahabat radhiallahu ‘anhum sehingga merekalah sebaik-baik golongan dari ummat Islam.

Sifat pertengahan Ahlu as-Sunnah tampak pada ciri-ciri dan sifat mereka yakni:

  • Pertengahan dalam bab sifat-sifat ALLAH Ta’ala di antara orang-orang yang menta’thilnya (menolak) seperti Jahmiyah dan orang-orang yang menyerupakannya dengan sifat makhluk (tamtsil).

  • Pertengahan dalam bab perbuatan hamba-hamba-Nya di antara Jabriyah (menganggap hamba-hamba-Nya dipaksa tanpa kehendak sama sekali) dan Qadariyah (menolak adanya takdir).

  • Pertengahan dalam bab janji dan ancaman ALLAH Ta’ala di antara Murji’ah dengan Khawarij serta Mu’tazilah.

  • Pertengahan dalam bab sikap terhadap para shahabat di antara orang-orang yang berlebihan dengan beberapa shahabat dengan orang-orang mengkafirkan mereka.

  • Pertengahan dalam bab ‘aql dan naql.

Selain sifat-sifat tersebut, maka Ahlu-as-Sunnah mempunyai ciri-ciri berupak akhlak mulia seperti bersabar terhadap musibah, bersyukur ketika diberi kelapangan, ridha ketika dengan takdir yang buruk. Mengajak menyempurnakan ibadah dan akhlak yang mulia. Amar ma’ruf dan nahi munkar juga merupakan ciri-ciri khas Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah.

Pembahasan rinci sifat-sifat tersebut ada dalam kitab-kitab ‘aqidah, ‘ibadah dan akhlak yang ditulis oleh para ulama Ahlu as-Sunnah dari zaman ke zaman.

ALLAH a’lam

Article : Blog Al-Islam


Ingin mendapatkan Artikel/Posting dari kami /Berlangganan, Silahkan kirimkan Alamat eMail  Anda pada kolom dibawah, demgan demikian anda akan mendapatkan setiap ada artikel yang terbit dari kami.
Want to get article / post from our / Subscribe, Please send your eMail address in the fields below, so you will get every article published from us.

Delivered by FeedBurner

Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Bolehkah Mendakwahkan Ilmu Sebelum Mengamalkannya?

Written By sumatrars on Selasa, 10 Juni 2014 | Juni 10, 2014

Category : Akhlaq dan Nasehat, Amar Ma'ruf Nahi Mungkar, dakwah, Ilmu, Manhaj
Source article: Muslim.Or.Id, Yulian Purnama

Transcribed on : 9 Jun 2014

Tidak ragu lagi bahwa ilmu yang berasal dari Al Qur’an dan As Sunnah wajib diamalkan, bukan sekedar diilmui semata. Ilmu akan bermanfaat bagi seseorang ketika diamalkan. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman,

جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Sebagai ganjaran atas apa yang telah mereka amalkan” (QS. Al-Waqi’ah: 24).

Allah Ta’ala tidak berfirman,

جَزَاء بِمَا كَانُوا يعَلمُونَ

Sebagai ganjaran atas apa yang telah mereka ketahui”.

Namun yang menjadi masalah, apakah seseorang yang ingin menyampaikan suatu ilmu atau mendakwahkannya, ketika itu ia wajib sudah mengamalkan apa yang ia sampaikan? Simak penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berikut ini, beliau berkata:

“syarat ke enam (dalam amar ma’ruf nahi mungkar), hendaknya orang yang ber-amar ma’ruf (memerintahkan perkara yang disyariatkan) dan ber-nahi munkar (melarang perkara yang dilarang agama) itu sudah mengamalkan apa yang ia sampaikan. Ini adalah pendapat sebagian ulama. Jika ia belum mengamalkannya, maka tidak boleh ber-amar ma’ruf nahi mungkar.

Karena Allah Ta’ala berfirman:

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al Baqarah: 44)

Maka jika seseorang tidak shalat, maka ia tidak boleh menyuruh orang lain untuk shalat. Jika ia minum khamr, maka ia tidak boleh melarang orang lain meminumnya. Oleh karena itu, seorang penyair bersyair:

لا تنه عن خلق وتأتي مثله

عار عليك إذا فعلت عظيم

jangan engkau melarang sebuah sikap, namun engkau juga melakukan semisalnya
kehinaan besar bagimu jika kau melakukan yang demikian

Namun jumhur ulama berbeda dengan pendapat ini. Menurut jumhur, wajib ber-amar ma’ruf walaupun ia belum melakukannya, dan wajib melarang kemungkaran walaupun ia masih melakukannya. Oleh karena itulah Allah Ta’ala menegur Bani Israil yang gemar menyuruh berbuat kebaikan, namun mereka melakukannya sambil melupakan diri-diri mereka sendiri.

Pendapat jumhur inilah yang shahih. Saya katakan, sekarang anda diperintahkan oleh Allah 2 hal: (1) Melakukan kebaikan (2) Memerintahkan orang lain berbuat kebaikan. Dan anda juga dilarang dari 2 hal: (1) Melakukan kemungkaran (2) Meninggalkan nahi mungkar. Maka janganlah anda meninggalkan hal yang diperintahkan sekaligus juga melakukan yang dilarang. Karena meninggalkan salah satunya, tidak melazimkan gugurnya kewajiban yang lain” (Syarh Al Aqidah Al Washithiyyah, 514-515).

Jadi, kalau tidak mengerjakan semua kewajiban, maka minimal jangan tinggalkan semuanya. Ini juga sebagaimana kaidah:

ما لا يدرك كله لا يترك جله

apa-apa yang tidak capai semuanya, jangan tinggalkan semua

Misalnya ketika seseorang yang tidak shalat namun ia tahu shalat itu wajib dan ia tahu temannya juga tidak shalat, maka ia di tuntut 2 hal: (1) Melakukan shalat (2) Memerintahkan temannya untuk shalat. Maka dalam kasus ini ia tetap wajib memerintahkan temannya shalat, walaupun ia tidak atau belum shalat. Dengan ini ia menunaikan 1 kewajibannya. Karena jika ia tidak shalat dan tidak memerintahkan temannya untuk shalat, ia melakukan 2 keburukan, sebagaimana kata Syaikh Ibnul Utsaimin, “anda meninggalkan hal yang diperintahkan sekaligus juga melakukan yang dilarang“. Yaitu meninggalkan shalat dan meninggalkan amar ma’ruf.

Namun sekali lagi, ini bukan berarti seseorang tidak perlu beramal ketika hendak ber-amar ma’ruf nahi mungkar. Hendaknya orang yang ber-amar ma’ruf nahi mungkar senantiasa introspeksi diri, lebih bersemangat memperbaiki diri sendiri sebelum orang lain, selalu bersemangat mengamalkan ilmu yang ia miliki sebelum menerapkannya kepada orang lain. Cukuplah firman Allah Ta’ala sebagai pengingat dan ancaman baginya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Hal (itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 2-3)

Demikian, semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada kita semua, terutama kami sebagai penulis, untuk senantiasa bersemangat mengamalkan ilmu yang kita miliki. Dan semoga Allah menyelamatkan kita agar tidak termasuk orang-orang yang mengatakan sesuatu namun tidak diamalkan. Wallahul musta’an wa ‘alaihit tuklaan.

Article : Blog Al-Islam


Ingin mendapatkan Artikel/Posting dari kami /Berlangganan, Silahkan kirimkan Alamat eMail  Anda pada kolom dibawah, demgan demikian anda akan mendapatkan setiap ada artikel yang terbit dari kami.
Want to get article / post from our / Subscribe, Please send your eMail address in the fields below, so you will get every article published from us.

Delivered by FeedBurner

Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Makna Taubat

Written By sumatrars on Selasa, 25 Maret 2014 | Maret 25, 2014

clip_image002

 

Menurut bahasa At-taubah berarti ar-rujuu' (kembali), sedangkan menurut istilah taubat adalah kembali dari kondisi jauh dari Allah SWT menuju kedekatan kepada-Nya. Atau : pengakuan atas dosa, penyesalan, berhendi, dan tekat untuk tidak mengulanginya kembali di masa datang.

Mengapa Harus berTaubat?

  1. Karena manusia pasti berdosa.
  2. Karena dosa adalah penghalang antara kita dan Allah SWT, maka lari dari hal yang membuat kita jauh dari-Nya adalah kemestian.
  3. Karena dosa pasti membawa kehancuran cepat atau lambat, maka mereka yang berakal sehat pasti segera menjauh darinya.
  4. Jika manusia yang tidak melakukan dosa, pasti ia pernah berkeinginan untuk melakukanya. Jika ada orang yang tidak pernah berkeinginan untuk melakukan dosa, pasti ia pernah lalai dari mengingat Allah. Jika ada orang yang tidak pernah lalai mengingat Allah, pastilah ia tidak akan mampu berikan hak Allah sepenuhnya. Semua itu adalah kekurangan yang harus ditutupi dengan taubat.
  5. Karena Allah SWT memerintahkan kita bertaubat, sebagaimana dalam firman-Nya.

" Hai orang-orang yang briman bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuhaa. Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalhan-kesalahanmu dan memasukkan ke dalam jannah yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin bersama dia, sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil merekan mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Eangkau Maha Kuasa atas segala sesuatu".(QS. At-Tahrim : 8)

 

"Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (QS. An-nuur : 31)

 

"dan hendakalh kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubatlah kepada-Nya. (JIka kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada

 

tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaanya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut akan ditimpa siksa hari kiamat."(QS. huud : 31)

  • Karena Allah mencintai orang yang bertaubat, sebagaimana dalam firman-Nya

"Sesungguhnya Allah menyukai Orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri."(QS. Al-baqarah : 222)

  • Karena Rasulullah SAW senantiasa bertaubat padahal beliau seorang nabi yang ma'shum (terjaga dari dosa). Beliau bersabda :

"Demi Allah sesungguhnya aku meminta ampun dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali." (HR. Bukhari)

 

Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa beliau beristighfar seratus kali dalam sehari.

 

Syarat-Syarat Taubat :

  • Penyesalan dari dosa karena Allah.
  • Berhenti melakukanya.
  • Bertekat untuk tidak mengulanginya dimasa datang.
  • Dilakukan sebelum nyawa sampai di tenggorokan ketika sakaratul maut, atau sebelum matahari terbit dari barat.
  • Jika dosa berkaitan dengan sesama manusia, maka syaratnya bertambah satu : melunasi hak orang tersebut, atau meminta kerelaanya, atau memperbanyak amal kebaikan.

Kemaksiatan yang dilakukan berkaitan dengan hak sesama manusia, ada empat syarat yang harus di penuhi, yakni syarat pertama. kedua dan ketiga, sebagaimana tiga syaratdi atas, dan syarat keempat: membebaskan diri dari hak tersebut.

 

Artinya, jika hak itu berupa harta benda, ia harus mengembalikan kepada pemiliknya. Jika berupa qadzaf (menuduh orang lain berbuat Zina), ia harus menyerahkan dirinya untuk dijatuhi hukuman atau meminta maaf kepada orang yang bersangkutan. Jika berupa ghibah (menggunjing orang lain) ia harus meminta maaf kepada orang tersebut.

 

Setiap orang harus bertaubat dari segala dosa yang pernah diperbuat. jika ia hanya berjaubat dari sebagian dosanya, taubat tersebut di terima, namun masih mempunyai tanggungan dosa yang lain.

 

Sumber Artikel : Ilmuenjoy.blogspot.com

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Meluruskan Wawancara Habib Ali Hasan Bahar Seputar Isu Wahabi

Written By sumatrars on Selasa, 25 Februari 2014 | Februari 25, 2014

wawancara Para pembaca yang budiman, kali ini kami akan melakukan wawancara sebagai bentuk usaha dalam meluruskan pemahaman tentang siapa itu “Wahabi”. Artikel ini lahir saat kami usai membaca sebuah artikel dalam bentuk wawancara yang di dalamnya sebagai pembicara yang diwawancarai adalah Habib Ali Hasan Bahar, mantan Ketua Habaib DKI Jakarta, kepada Moh Anshari dari Indonesia Monitor.[1] Dia juga merupakan alumunus Universitas Kerajaan Yordania yang kini aktif di Islamic Centre Kwitang dan UIN Jakarta.

Wawancara dengan Sang Habib berkisar seputar keresahannya terhadap munculnya Dakwah Wahabi (yakni, Ahlus Sunnah). Semua hasil wawancara itu dibangun di atas sangkaan tanpa bukti yang jelas. Padahal Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ [الحجرات/12]

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan (meng-ghiba) satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Hujurat : 12)

Di dalam wawancara itu terdapat banyak kerancuan, sebab semua jawaban dalam wawancara sang Habib hanya dibangun di atas buruk sangka, benci dan tanpa bukti yang akurat. Dia hanya membangun sebuah opini buruk tentang Wahabi dengan membangun sebuah kerangka berpikir yang salah. Sang Habib hanya menghubungkan suatu asumsi dengan asumsi lain, lalu mengeluarkan sebuah kesimpulan yang masih mungkin diperdebatkan, karena tak memiliki data autentik dan menyelisihi realita.

Para pembaca yang budiman, kerancuan dan buruk sangka itu harus kita hapus dengan ilmu dan kebenaran. Oleh karena itu, kali ini kami mengajak anda untuk mendengarkan hasil perbincangan dan wawancara dengan seorang Alumni Islamic University of Madinah, Saudi Arabiah, yaitu Al-Ustadz Abul Fadhilah Al-Makassariy yang sekarang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan, Gowa, Sulsel.

Sengaja kami melakukan wawancara dengan Al-Ustadz Abul Fadhilah Al-Makassariy, karena beliau adalah orang yang pernah disana selama lima tahun, tentunya lebih paham dengan kondisi disana dibandingkan dengan Sang Habib.

Berikut ini wawancara dengan beliau :

Reporter Al-Ihsan (RI):

Apa sih sebenarnya Dakwah Wahabi?

Abul Fadhilah (AF) :

Dakwah Wahabi adalah dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebab, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah- berjalan di atas manhaj dan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Hal ini dapat dilihat dalam kitab-kitab yang beliau tulis, semisal: Al-Ushul Ats-Tsalatsah, Kitabut Tauhid, Al-Qowa’id Al-Arba’,Al-Ushul As-Sittah, Masa’il Al-Jahiliyyah, Ushul Al-Iman, dan lainnya. Semua kitab-kitab ini dan lainnya diantara karya tulis beliau merupakan bukti autentik tentang aqidah dan manhaj beliau yang lurus dalam beragama.

Kemunculan dakwah beliau di Jazirah Arab dimaksudkan untuk membersihkan akidah dari perilaku-perilaku syirik sebagaimana dahulu para nabi dan rasul berdakwah[2]. Oleh karena itu, amat mengherankan jika ada yang membenci dakwah para nabi yang diemban berikutnya oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

RI :

Lantas kenapa dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah di Jazirah Arab disebut “Wahabi”? Kepada siapakah nisbah itu?

AF :

Dakwah Ahlus Sunnah dahulu tak dikenal dengan “Dakwah Wahabi”. Sebutan Wahabi hanyalah muncul dari kalangan musuh-musuh beliau, seperti penjajah Inggris, kaum sufi, ahli kalam (Asy’ariyyah dan Maturidiyyah).Sebutan itu menurut mereka dinisbahkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab. Yakni, penisbahannya pada kata kedua, yang merupakan sebuah nama diantara nama-nama Allah -Azza wa Jalla-. Ini asal penisbahannya.

RI : Apakah gelar Wahabi ini mereka pakai dan sukai?

AF:

Setahu kami gelar Wahabi ini tak pernah mereka pakai dan sebarkan. Yang menyematkan dan menyebarkan istilah itu adalah para penjajah Inggris dan musuh-musuh dakwah Ahlus Sunnah yang lainnya di zaman itu, sebagaimana yang telah kami sebutkan tadi.

RI :

Siapakah sebenarnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab? Dilahirkan dimana?

AF:

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang lahir dalam lingkungan ulama. Nama asli beliau adalah Muhammad bin Abdil Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rosyid bin Barid bin Muhammad bin Barid bin Musyrif bin Umar bin Mi’dhod bin Idris bin Ali bin Muhammad bin Alawiy bin Qosim bin Musa bin Mas’ud bin Uqbah Mas’ud bin Haritsah bin Amer bin Robi’ah bin Sa’idah bin Tsa’labah bin Robi’ah bin Mulkan bin Adi bin Abdi Manah bin Tamim[3].

Beliau dilahirkan pada tahun 1115 H di Uyainah salah satu tempat di Negeri Najd dan wafat 1206 H dengan umur 91 tahun. Orang tua beliau adalah seorang ulama di zamannya.

Dari masa kecilnya sudah tampak keistimewaan pada diri beliau. Hal itu tampak dengan kemampuan beliau menghafal Al-Qur’an sebelum usia 10 tahun. Beliau di masa kecil tergolong anak yang cepat memahami pelajaran, tajam pikirannya, kuat hafalannya dan fasih bahasanya.

Awal kali beliau belajar pada ayahnya seorang ulama di zamannya yang bernama Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman sebelum beliau melakukan rihlah (perjalanan panjang) dalam mencari ilmu agama. Saking cerdasnya sampai ayahnya mengaku biasa mengambil faedah dari Muhammad bin Abdul Wahhab kecil.

Ketika beliau sudah baligh, ayahnya langsung menikahkan beliau. Tak lama kemudian beliau melakukan haji dan kunjungan ke Kota Madinah. Beliau telah belajar kepada orang tuanya dan menyelesaikan fiqih berdasarkan madzhab Imam Ahmad bin Hambal (Penulis Al-Musnad).

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab setelah itu melakukan berbagai perjalanan menuntut ilmu ke Makkah, Madinah, Al-Ihsa’, Bashrah. Diantara guru-guru beliau, Syaikh Abdullah bin Ibrahim An-Najdiy, Syaikh Muhammad Hayah As-Sindiy, Abul Mawahib Al-Ba’liy Ad-Dimasyqiy dan lainnya.[4]

Sepulang menuntut ilmu, maka beliau berdakwah di kalangan kaumnya sampai banyak menentang beliau, termasuk ayah beliau dan saudaranya yang bernama Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Bahkan terjadi bantah-membantah, walaupun pada akhirnya saudara beliau rujuk dari sikapnya selama ini menentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah-[5]. Itulah buah kesabaran beliau.

Di masa beliaulah tersebar kesyirikan dan merajalela dimana-mana. Banyak kuburan yang disembah, banyak manusia dan makhluk yang dikultuskan bagaikan tuhan. Semua ini membuat beliau bangkit untuk meluruskannya bersama Raja Muhammad bin Su’ud sampai kesyirikan bersih dari dua tanah haram : Makkah dan Madinah. Bahkan semua wilayah yang dikuasai oleh Raja Muhammad bin Su’ud -rahimahullah-.

RI :

Betulkah Wahabi (baca: Ahlus Sunnah) di Indonesia punya misi ingin menguasai Indonesia baik dari sisi teritorial, maupun ekonomi?

AF :

Dakwah Ahlus Sunnah bukanlah dakwah yang cinta kekuasaan, sehingga tidak tepat jika mereka pun dituduh demikian. Cuma memang dewasa ini dakwah Ahlus Sunnah yang mereka gelari dengan “Wahabi” amat berkembang pesat dengan berbagai macam fasilitas yang memudahkan dakwah dari bantuan Timur Tengah. Hal inilah membuat sebagian orang cemburu dan hasad serta sakit hati dan resah.

Padahal yang disebarkan oleh Ahlus Sunnah adalah dakwah kepada kebaikan. Namun anehnya mereka tetap resah. Sementara kalau dakwah Syi’ah, JIL, LDDI, Ahmadiyah dan lainnya yang tersebar, maka mereka tak resah seperti resahnya mereka saat melihat perkembangan pesat dakwah Ahlus Sunnah yang mereka namai dengan “Wahabi”. Sungguh sikap seperti ini tak adil!!

Jangan sampai karena kebencian kita kepada orang-orang Saudi membuat kita berbuat curang dan tidak adil terhadap mereka, sehingga kita pun mebuat kedustaan atau tuduhan yang melecehkan dan merendahkan mereka. Padahal semua itu tak ada. Semua hanya lahir dari prasangka buruk terhadap mereka.

Allah -Ta’ala- berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ [المائدة/8]

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan”. (QS. Al-Maa’idah : 8 )

RI :

Betulkah dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab keras, radikal, ekstrim dan semacamnya?

AF :

Dakwah beliau bukanlah dakwah yang keras, bahkan beliau orang yang dikenal lembut kepada manusia di zamannya. Sebagian orang mengira beliau keras, karena memerangi sebagian orang-orang yang memerangi beliau. Sudah suatu perkara lumrah jika orang lain memerangi kita, maka pasti kita juga melakukan perlawanan. Misalnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendakwahi mereka dengan tauhid dan melarang mereka dari berbuat syirik. Mereka akhirnya marah, melawan, memfitnah dan menolak serta memerangi dakwah beliau. Disinilah terjadi peperangan.

Kalau beliau dikatakan radikal, maka juga kurang tepat. Dari sisi mana dikatakan radikal [6]. Kalau dikatakan ekstrim (berlebihan), maka dakwah beliau tidaklah melebihi batas agama. Beliau mendakwahkan tauhid, masakdibilang radikal atau ekstrim. Justru orang yang menolak tauhid dan memelihara syirik itulah yang ekstrim!!Yakni, ekstrim dalam kesyirikannya!!!

RI :

Betulkah Wahabi menguasai Makkah dan Madinah dengan berbagai cara sampai banyak ulama menjadi korban?

AF :

Pertama, Ahlus Sunnah yang dikenal dengan “Wahabi” bukanlah manusia badui yang jahil. Mereka melakukan dakwah dan peperangan berdasarkan bimbingan wahyu. Kedua, dikatakan bahwa banyak ulama menjadi korban. Nah, ulama siapa dulu? Kalau ulama pembela kesyirikan, maka mereka diperangi setelah tegaknya hujjah [7]. Mereka telah dinasihati dan disampaikan hujjah, namun mereka tetap melawan, bahkan memerangi bendera tauhid yang dikibarkan oleh Syaikh. [8]

RI :

Ada berita tersebar bahwa Ahlus Sunnah yang digelari Wahabi oleh kaum sufi, katanya ingin menghilangkan makam Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Menurut Ustadz Abul Fadhilah apakah ini benar?!

AF :

Jelas ini berita bohong. Ini salah satu berita bohong yang disandarkan kepada Ahlus Sunnah yang dikenal dengan istilah “Wahabi”. Andaikan makam Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mau dihilangkan oleh mereka, maka dari dulu sejak mereka berkuasa, maka pasti mereka sudah hilangkan. Tapi realita tidak demikian. Kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sampai hari ini masih ada dan mereka jaga dari segala macam makar dan perbuatan jahiliah. Makanya, hari ini kalau anda ke Madinah, anda akan melihat beberapa petugas di sekitar makam Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- demi menjaganya dari hal-hal itu.

Berita itu hanya fitnah dan kabar miring yang tak perlu ditoleh. Masak Ahlus Sunnah mau menghilangkan kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-??!

Sungguh berita ini amat menyakitkan orang-orang Saudi, bila mereka mendengarkannya. Bahkan seluruh orang beriman akan sakit hati jika mendengarkan berita bohong ini jika disandarkan kepada Saudi, sementara mereka bersih darinya.

Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا [الأحزاب/58]

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka (yang menyakiti) telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata”. (QS. Al-Ahzaab : 58)

Allah -Ta’ala- berfirman,

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ (15) وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ (16) يَعِظُكُمَ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (17) [النور/15-18]

(Ingatlah) diwaktu kalian menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut, dan kalian katakan dengan mulut kalian apa yang tidak kalian ketahui sedikitpun, dan kalian menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal di sisi Allah adalah (perkara yang sangat) besar.” (QS. An-Nur:15)

RI :

Sejauh mana pandangan anda tentang tuduhan sebagian orang bahwa dakwah Wahabi memakai cara-cara yang disebut dengan istilah ‘Badui-Wahabi’, yakni cara-cara barbar, kekerasan, dan agresif, misalnya penghancuran kuburan dan diratakan dengan tanah.

AF :

Meratakan kuburan bukanlah cara-cara badui atau barbar!! Bahkan itu merupakan sunnah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-!!! Tidakkah anda pernah membaca sebuah hadits yang menjelaskan hal itu?

RI :

Kayaknya pernah. Cuma tidak hafal.

AF :

Baiklah kami akan bawakan kepada anda sejumlah hadits tentang sunnahnya meratakan tanah kuburan agar kita tahu bahwa itu bukan cara barbar alias badui, bahkan itu adalah sunnahnya kakek sang Habib, yakni Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.

Dari Tsumamah bin Syufaiy -rahimahullah- berkata,

كُنَّا مَعَ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ بِأَرْضِ الرُّومِ بِرُودِسَ فَتُوُفِّىَ صَاحِبٌ لَنَا فَأَمَرَ فَضَالَةُ بْنُ عُبَيْدٍ بِقَبْرِهِ فَسُوِّىَ ثُمَّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُ بِتَسْوِيَتِهَا.

Kami dahulu pernah bersama Fadholah bin Ubaid di Negeri Romawi, di Rodhes. Kemudian meninggallah seorang teman kami. Fadholah bin Ubaid (seorang sahabat, pen.) memerintahkan (agar kuburnya diratakan). Akhirnya, kuburnya diratakan. Lalu berkatalah Fadholah, “Aku telah mendengarkan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- memerintahkan perataan kuburan”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya, Kitab Al-Jana'iz, bab: Al-Amr bi taswiyah Al-Qobr (no. 968)]

Abul Hayyaj Al-Asadiy -rahimahullah- berkata,

قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلاَّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

Ali bin Abi Tholib berkata kepadaku, “Tidakkah kamu mau aku utus untuk sesuatu yang dahulu Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- mengutusku untuknya?, yaitu agar jangan kamu biarkan suatu gambar, kecuali engkau hapus dan tidak pula kubur yang menonjol, kecuali engkau meratakannya”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 969)]

Perhatikanlah wahai saudaraku, apakah meratakan kubur adalah perilaku biadab, barbar, badui dan semacamnya?! Jelas bukan perilaku badui dan barbar. Bahkan perilaku manusia terbaik dan perintah dari dua kakek Habib Ali Hasan Bahar, yaitu Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dan Ali bin Abi Tholib -radhiyallahu anhu-.

RI :

Sekarang saya amat paham. Kalau masalah membangun sesuatu di atas kubur berupa rumah kecil atau cungkup di atas kubur, apakah hal ini juga dilarang dalam agama Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-?

AF :

Hal ini juga terlarang dalam agama!!! Kalau anda pernah mendengar bahwa orang Wahabi melarangnya, maka ketahuilah bahwa mereka telah benar dan mencocoki ajaran Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam melarang hal itu.

RI :

Kenapa mereka melarang? Apa dasarnya dalam Sunnah?

AF :

Mereka melarang membuat bangunan di atas kubur, karena Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- melarangnya.

Dari Jabir -radhiyallahu anhu- berkata,

نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يجصص القبر وأن يقعد عليه وأن يبنى عليه

“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- melarang dari mengapuri kubur, atau duduk di atasnya atau dibuat bangunan di atasnya”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 970)]

Inilah sunnahnya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, kakek dari Habib Ali Hasan Bahar. Semoga Sang Habib tidak menyangka bahwa membuat cungkup adalah boleh-boleh saja. Semoga beliau juga tidak menuduh orang yang melarangnya adalah orang yang badui, barbar dan semacamnya!!!

Jadi, meratakan kubur –apalagi jika dikultuskan-, dan melarang dibuat bangunan di atasnya merupakan sunnah (jalan)nya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Sedang orang yang menganggapnya baik –padahal buruk-, maka sungguh telah mengada-adakan pemikiran dan pemahaman bid’ah lagi sesat!!

Kemudian tak lupa kami perlu jelaskan bahwa meratakan dan menghancurkan tempat-tempat keramat, kesyirikan dan kekafiran bukanlah perkara baru yang tak ada contohnya di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Itu bukanlah perbuatan radikal, ekstrim, keras, badui, dan lainnya!!!

Bahkan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengirim sebagian sahabat dalam memberantas tempat-tempat yang menjadi situs dan praktek kesyirikan.

Dari Abu Ath-Thufail berkata,

لمَاَّ فَتَحَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ بَعَثَ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ إِلَى نَخْلَةَ وَكَانَتْ بِهَا الْعُزَّى, فَأَتَاهَا خَالِدٌ وَكَانَتْ عَلَى ثَلاَثِ سَمُرَاتٍ, فَقَطَعَ السَّمُرَاتِ وَهَدَمَ الْبَيْتَ الَّذِيْ كَانَ عَلَيْهَا, ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ, فَقَالَ: اِرْجِعْ فَإِنَّكَ لَمْ تَصْنَعْ شَيْئًا, فَرَجَعَ خَالِدٌ, فَلَمَّا أَبْصَرَتْ بِهِ السَّدَنَةُ وَهُمْ حَجَبَتُهَا أَمْعَنُوْا فِي الْجَبَلِ وَهُمْ يَقُوْلُوْنَ: يَا عُزَّى, فَأَتَاهَا خَالِدٌ, فَإِذَا هِيَ امْرَأَةٌ عُرْيَانَةٌ نَاشِرَةٌ شَعْرَهَا تَحْتَفِنُ التُّرَابَ عَلَى رَأْسِهَا, فَعَمَّمَهَا بِالسَّيْفِ حَتَّى قَتَلَهَا, ثُمَّ رَجَعَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ: تِلْكَ الْعُزَّى

“Tatkala Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah merebut kota Makkah, maka beliau mengutus Kholid bin Al-Walid ke daerah Nakhlah, sedang di sana terdapat Uzza. Kholid pun mendatanginya, dan Uzza berupa tiga pohon berduri. Kemudian Kholid menebas pohon-pohon tersebut, dan merobohkan bangunan yang terdapat di atasnya. Lalu ia mendatangi Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya mengabarkan hal itu kepada beliau. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Kembalilah, karena engkau belum berbuat apa-apa”. Kholid pun kembali. Tatkala ia dilihat para security (para penjaga) Uzza, maka mereka mengintai di atas gunung seraya mereka berkata, “Wahai Uzza”. Kemudian Kholid mendatangi Uzza, tiba-tiba ada seorang wanita telanjang yang mengurai rambutnya sambil menaburkan debu di atas kepalanya. Akhirnya Kholid menebas wanita itu dengan pedang sehingga ia membunuhnya. Beliaupun kembali ke Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya mengabarkan hal itu. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Itulah Uzza”. [HR. An-Nasa'iy dalam As-Sunan Al-Kubro (6/474/no. 11547), Abu Ya'laa Al-Maushiliy dalam Al-Musnad (no. 902) dan Adh-Dhiya' Al-Maqdisiy dalam Al-Ahadits Al-Mukhtaroh (no. 258 & 259). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Ali bin Sinan dalamTakhrij Fath Al-Majid (no. 103)]

Jadi, sekali lagi membongkar dan menghancurkan situs dan tempat keramat dan kesyirikan bukan sikap barbarisme!!

RI :

Ada rumor tersebar bahwa Wahabi dilahirkan oleh imprealis Inggris untuk memecah-belah kekuatan Islam?

AF :

Rumor ini tidak benar sama sekali. Bagaimana mungkin Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ahlus Sunnah di zamannya sampai hari ini menjadi boneka dan alat dalam memecah-belah kekuatan Islam. Justru mereka adalah batu sandungan terbesar bagi Inggris dan sekutunya. Suatu perkara mustahil orang kafir mencintai negara yang menerapkan hukum Allah ‘syariat Islam’.[9]

Adapun indikasi “kuat”, padahal lemah, yang diisyaratkan oleh Sang Habib. Katanya bersumber dari seorang dai di Al-Jaza’ir, maka kami katakan bahwa sumber itu tidak jelas siapa orangnya? Apa orangnya jujur atau pendusta? Kemudian tak ada bukti dan data akurat. Hanya persangkaan belaka yang masih bisa diperdebatkan dan disanggah dengan mudah, insya Allah.

RI :

Oh, gitu ya. Baiklah. Saya mau bertanya kepada Ustadz Abul Fadhilah, “Ada orang yang menuduh bahwa Ahlus Sunnah yang mereka gelari “Wahabi” adalah kaum suka menganggap orang yang berbeda dengan mereka sebagai kafir“. Betulkah tuduhan itu?

AF :

Tuduhan ini tak betul. Ahlus Sunnah saat menghadapi orang yang berbeda dalam perkara ijtihad, tidaklah mudah mengkafirkan orang!! Orang yang terjerumus saja dalam kekafiran dan kesyirikan, mereka tak kafirkan langsung, tanpa memperhatikan syarat-syaratnya. Ahlus Sunnah tidaklah demikian. Mereka amat menjaga lisannya dari mengkafirkan orang.

Adapun orang-orang yang terjatuh dalam kekafiran setelah terpenuhinya syarat-syarat bolehnya mengkafirkan orang, maka Ahlus Sunnah memang telah mengkafirkan beberapa orang semisal, Musailamah Al-Kadzdzab, Al-Hallaj, Ibnu Arabi, Mirza Ghulam Ahmad, Jahm bin Shofwan dan lainnya.

Ini bukan sikap ekstrim!! Bahkan sikap pertengahan yang selalu dipijaki oleh Ahlus Sunnah!!!

RI :

Bagaimana tanggapan anda tentang orang yang menyatakan bahwa Wahabi (baca : Ahlus Sunnah) suka menuduh bid’ah dan suka mengafirkan, tidak toleran, kaku, literalis?

AF :

Ahlus Sunnah dari zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sampai zaman Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahkan sampai sekarang, mereka tidaklah mudah mencap orang sebagai ahli bid’ah, kafir, musyrik, munafik, kecuali setelah terpenuhinya syarat-syarat dalam menghukumi seseorang.

Justru kita bisa balik menyatakan bahwa orang yang tidak membid’ahkan, dan tidak mengkafirkan orang, maka ia adalah orang yang jahil tentang agama, manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Memang Ahlus Sunnah mengakui bahwa bermudah-mudah dalam mengafirkan atau membid’ahkan dengan tanpa memerhatikan syarat-syarat dalam hal itu dan penghalangnya, maka pelakunya jelas salah [10].

Tapi apakah Ahlus Sunnah yang dirumorkan selama ini, salah dalam menerapkan hal itu? Kalau salah apa buktinya?! dan apa kaedah dan dasarnya?!!

Orang-orang yang menyalahi jalannya ahlus Sunnah dalam hal ini justru akan menjadi alat bagi orang asing dalam memecah belah kaum muslimin, tanpa mereka sadari.

RI :

Kalau ada yang bilang sejak awal kemunculan Wahabi bermotif politis-kekuasaan [11]. Lalu ada kepentingan-kepentingan yang memanfaatkan gerakan tersebut, termasuk kepentingan asing.

AF :

Disini perlu kami jelaskan bahwa kemunculan Ahlus Sunnah di zaman Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, lalu didukung oleh Raja Muhammad bin Su’ud, bukanlah dilatari semata kekuasaan, bahkan keprihatinan atas kondisi masyarakat yang kala itu jauh terperosok dalam jurang kesyirikan, kesesatan dan kekafiran, akibat tersebarnya berbagai macam pemikiran dan tarekat yang berbahaya dan merongrong dasar agama kaum muslimin. Di sisi lain, kondisi itu diperparah dengan adanya dukungan dari para ulama suu’ (buruk) yang menghias-hiasi kesyirikan, kekafiran dan kesesatan sebagai sesuatu yang baik atau minimal boleh-boleh saja!! Na’udzu billah.

Ulama-ulama suu’ itu juga ikut memanas-manasi keadaan sehingga pemicu terjadinya perang. Mereka menyebarkan isu yang tak benar tentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah-.

Inilah kondisi sosial dan kemasyarakatan yang ada di zaman beliau -rahimahullah-. Memang kala itu banyak yang kaget, marah, hasad dan dendam atas munculnya dakwah tauhid dan sunnah yang memerangi segala macam bentuk kesyirikan dan bid’ah.

Kalau mereka dikatakan sebagai kaki tangan asing, maka ini hanyalah tuduhan kosong, tanpa bukti. Justru kerajaan Inggris saat mendengar munculnya Kerajaan Tauhid, Saudi Arabiah, maka mereka memanfaatkan negara-negara kaum muslimin yang sudah mereka caplok untuk memerangi Kerajaan Saudi. Akhirnya, terjadilah perang saudara dan runtuhlah Dinasti Saudi pertama, lalu para pemimpin dan ulama Saudi di penjara dan diasingkan. Walau pun Saudi setelah itu bangkit lagi dan sampai hari ini pun para pemimpin negara sekutu terus berusaha menggulingkan Negara Tauhid, Saudi Arabiah. Semoga Allah menolong, melindungi dan memberi taufiq kepada mereka, amin…

RI :

Kelihatannya Habib Ali Hasan Bahar membawakan sebuah fakta yang perlu dikritisi. Dia ingin menguatkan dugaan bahwa kemunculan Wahabi ada campur tangan asing. Faktanya menurut dia bahwa pernah ada fatwa dari mufti Saudi untuk jihad ke Afganistan, karena kader-kader Wahabi yang berjihad ke Afghanistan itu sebenarnya hasil rekayasa intelijen Eropa Barat untuk menghabisi pengaruh komunisme Eropa Timur di Afghanistan.Afghanistan menjadi lahan pertempuran dua ideologi; ideologi Barat dan ideologi Timur.

Ini penuturan Sang Habib. Menurut Ustadz Abul Fadhilah gimana ini?

AF :

Semua ini hanyalah sangkaan yang lemah dan batil [12]. Adanya fatwa jihad ke Afganistan, mungkin karena saat itu, jihad ke sanalah yang memungkinkan. Sedang jihad ke Palestina mungkin saja berat menurut ulama saat itu. Karena berhadapan dengan Yahudi, berarti berhadapan dengan negara-negara multinasional. Wallahu A’lam, yang jelas, semua korelasi yang disebutkan hanyalah asumsi yang masih bisa diperebatkan dan butuh data serta fakta akurat.

Kalau kita mau membuat asumsi, lalu dihubungkan dengan asumsi lain, maka tak ada manusia yang selamat dari tuduhan-tuduhan keji. Bahkan Sang Habib pun dapat kami tuduh sebagai kaki tangan asing, dengan membuat asumsi-asumsi buruk, lalu dihubungkan untuk membuat kesimpulan bahwa ia adalah kaki tangan asing dalam memecah belah kaum muslimin.

Namun tentunya sikap seperti ini kami tak akan lakukan, karena hanya menimbulkan hal-hal yang negatif.

RI :

Ada yang menyatakan bahwa Wahabi (baca: Ahlus Sunnah) di Indonesia mendapatkan suntikan dana dari Timur Tengah?

AF :

Mungkin ya, mungkin tidak. Kalau ya, kenapa kita pusingi? Bukankah juga aliran-aliran sesat dan kafir, kayak Ahmadiah dan Syi’ah juga mendapatkan suntikan dana. Nah, kenapa bukan ini yang disoroti.

RI :

Ada penyataan Habib Ali Hasan Bahar bahwa Wahabi dan Ikhwanul Muslimin beda. Gimana ini?

AF :

Betul beda antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mereka sebut “Wahabi” dengan Ikhwanul Muslimin (IM). Karena, Ahlus Sunnah melarang memberontak melawan pemerintah muslim, sementara IM membolehkan hal itu dan sebagian tokohnya mengafirkan kaum muslimin.

RI :

Apa memang Ahlus Sunnah mengafirkan HTI dan IM?

AF:

Tidak!! Sama sekali tidak!!! Walaupun sebagian tokohnya terjatuh dalam sikap yang dapat membuatnya kafir. Namun Tak ada yang menghukuminya kafir. Jadi, tak benar jika Ahlus Sunnah mengafirkan dua kelompok ini. Itu hanya berita bohong yang harus dipertanggungjawabkan oleh si pengucap, termasuk Habib Ali Hasan Bahar.

Demikian pula prediksi yang disebutkan terakhir oleh Sang Habib dari Mohammed Arkoun asal Maroko, semuanya dibangun di atas prasangka, asumsi lemah yang tak perlu dibantah.

RI :

Terakhir Ustadz kami mau tanya. Apa perbedaan Asy’ariyyah dengan Ahlus Sunnah? Ini perlu kami tanyakan, karena banyak orang yang rancu dalam membedakannya. Sebagian orang salah kaprah dan mengira Asy’ariyyah itu adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sampai mereka menggelari diri dengan “Aswajah” (Singkatan dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah).

AF:

Ahlus Sunnah adalah pengikut setiap Al-Qur’an dan Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- berdasarkan bimbingan para sahabat dan para ulama yang mengikuti jalan hidup mereka dalam beragama, seperti Imam Malik, Asy-Syafi’iy dan lainnya.

Mereka adalah pengikut Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang setia memegangi ajaran beliau, baik dalam akhlaq, ibadah, aqidah dan lainnya.

Adapun Asy’ariyyah, maka ia adalah paham yang baru muncul di zaman Abul Hasan Al-Asy’ariy (kelahiran 260 H atau 270 H) [13]. Jadi, paham ini muncul sekitar abad ketiga. Sementara Ahlus Sunnah merupakan pemahaman beragama yang diajarkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- kepada para sahabat, lalu para sahabat mewariskannya kepada para ulama dan generasi setelahnya.

Paham Asy’ariyyah termasuk paham yang dicetuskan oleh seorang ahli kalam, yaitu Abul Hasan Al-Asy’ariy. Jadi, beda antara kelompok Ahlus Sunnah dengan Asy’ariyyah. Asy’ariyyah amat mengandalkan akal dalam perkara-perkara ilahiyyah yang sifatnya gaib, sementara Ahlus Sunnah membatasi ruang gerak akal dalam perkara itu, tapi bukan berarti mematikan fungsi akal secara total [14].

Ahlus Sunnah mencela ilmu kalam, sementara Asy’ariyyah pengagum ilmu kalam. Ini perbedaan sederhana.

Orang-orang ahli kalam –semisal Asy’ariyyah- telah berbicara tentang nama-nama Allah tanpa ilmu. Mereka dalam hal itu mendahulukan akalnya yang lemah di atas Al-Kitab dan Sunnah serta pemahaman As-Salaf Ash-Sholih. Mereka telah melakukan pembatasan nama dan sifat-sifat Allah, tanpa hujjah yang nyata. Semuanya berdasarkan takwil buta [15].

Adapun Ahlus Sunnah dalam hal itu menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan bagi Allah, tanpa takwil, tasybih (penyerupaan), takyif (menanyakan cara dan bentuknya), dan tanpa tafwidh (menyerahkan maknanya kepada Allah) [16].

Catatan: Abul Hasan Al-Asy’ariy dalam hidupnya melalui tiga fase. Fase pertama sebagai tokoh Mu’tazilah yang mengikuti bapak tirinya Abu Ali Al-Jubba’iy. Fase kedua ia mengikuti sekte dan paham Kullabiyyah yang pernah dicetuskan oleh seorang ahli kalam bernama Abdullah bin Sa’id bin Kullab. Pemikiran di fase inilah yang kita kenal hari ini dengan paham “Asy’ariyyah” yang ia tuangkan dalam kitabnya Al-Luma’. Fase ketiga, ini yang banyak tidak diketahui oleh orang Indonesia, yaitu fase perpindahan beliau kepada paham dan aqidah Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Walaupun dalam fase ini pemahaman beliau belum sepenuhnya sama persis dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang pernah diajarkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, para sahabat, tabi’in dan tabi’in. Ini sebagaimana yang anda lihat dalam tiga kitabnya yang mashur: “Maqolat Al-Islamiyyin”, “Al-Ibanah an Ushul Ad-Diyanah”, dan “Risalah ila Ahli Ats-Tsaghr”. Wallahu a’lam bish-showab. Washollallahu ala Nabiyyina wa ala alihi wa shohbih wa sallam.


[1] Sumber : Indonesia Monitor, Edisi 61 Tahun II/26 Agustus – 1 September 2009

[2] Ini juga diakui oleh Sang Habib.

[3] Lihat At-Taudhih an Tauhid Al-Khollaq fi Jawab Ahlil Iraq (1/25) oleh Syaikh Sulaiman bin Abdillah Alusy Syaikh -rahimahullah- dan Shiyanah Al-Insan an Waswasah Asy-Syaikh Dahlan (hal. 421) oleh Syaikh Muhammad Basyir As-Sahsawaniy Al-Hindiy -rahimahullah- serta Tash-hih Khotho’ Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah (hal. 4).

[4] Adapun tuduhan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab belajar kepada Orinetalis dan Agen rahasia Inggris bernama Hempher, maka ini adalah satu kedustaan atas Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah-.

[5] Oleh karenanya, buku bantahan Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab yang disebarkan oleh sebagian situs NUharus ditarik, karena itu adalah buku lama sebelum penulisnya rujuk.

[6] Kalau sekedar menuduh, maka semua orang bisa melakukannya. Tapi yang berat adalah pertanggungjawabannya di depan Allah!!

[7] Mungkin juga mereka diperangi, karena mereka lebih dulu memerangi. Masak tinggal diam tidak membela diri?!! Karena di zaman itu Ahlus Sunnah sering difitnah sampai banyak orang yang membencinya, bahkan memeranginya.

[8] Lihat Ad-Durar As-Saniyyah fi Al-Ajwibah An-Najdiyyah (1/102-104) dalam bab : tentang surat beliau dalam membantah tuduhan bahwa Raja Muhammad bin Su’ud dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memerangi semua orang, baik alim, maupun jahil.

[9] Justru orang-orang yang benci Negara Tauhid ‘Saudi Arabiah’ (negara yang menerapkan syariat Islam) adalah orang yang harus dicurigai; jangan sampai ia (orang yang benci) ini adalah boneka dan kaki tangan kaum kafir dalam meruntuhkan dan melemahkan negara Islam (Saudi), baik sadar atau tidak!! Memang inilah yang diinginkan oleh kaum kafir agar cahaya Islam redup. Semoga Allah menjaga Negara Saudi dari makar kaum kafir, munafik dan orang-orang sehaluan dengannya. Semoga makar mereka kembali kepada diri mereka sendiri.

[10] Seperti yang dilakukan oleh sebagian pembesar Ikhawan Al-Muslimin, HTI, dan lainnya

[11] Kalau politiknya politik syar’iy, kenapa tidak. Kalau menguasai suatu negeri dengan bimbingan wahyu, kenapa tidak? Cuma mereka ini menggambarkan bahwa Ahlus Sunnah sebenarnya haus kekuasaan, sehingga berusaha meraih kekuasaan dengan baju dakwah. Jelas ini sangkaan buruk dan miring!! Kalau sekedar menuduh, yah gampang saja. Bukankah NU juga menginginkan kekuasaan melalui partai-partainya? Alhamdulillah, Ahlus Sunnah yang mereka gelari “Wahabi” di Indonesia mereka tak masuk dalam partai apapun untuk membuktikan bahwa mereka bukanlah manusia haus kekuasaan.

[12] Kalau sekedar menuduh gampang saja!!

[13] Lihat Siyar Al-A’lam (15/86) oleh Adz-Dzahabiy dan Wafayat Al-A’yan (3/284) oleh Ibnu Khollikan.

[14] Tentang tercelanya ilmu kalam di sisi para imam, termasuk Al-Imam Asy-Syafi’iy, maka silakan baca kitabAsy-Syari’ah karya seorang ulama Syafi’iyyah bernama Al-Ajurriy, Ahadits Dzammil Kalam wa Ahlih oleh Abul Fadhl Al-Muqri, Dzammul Kalam oleh Al-Harowiy.

[15] Lihat At-Tuhfah Al-Mahdiyyah Syarh Ar-Risalah At-Tadmuriyyah (hal. 80) Di dalamnya terdapat bantahan atas Abul Hasan Al-Asy’ariy dan pengikutnya yang menetapkan sifat tujuh atau sifat 20.

[16] Lihat rincian hal ini dalam Al-Aqidah Al-Wasithiyyah dan Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah beserta syarah keduanya.

Sumber : Pesantren-alihsan.org


Dikutip dari Sumber Artikel : Abunamira.wordpress.com

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger