Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post
Tampilkan postingan dengan label bahasan utama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bahasan utama. Tampilkan semua postingan

Mengenal Hadits-Hadits Lemah Seputar Bulan Sya’ban

Written By sumatrars on Rabu, 16 Juli 2014 | Juli 16, 2014

Labels : Bahasan Utama, Hadits, Sya'ban

Bulan Sya’ban adalah bulan yang ke-8 dalam penanggalan hijriyah. Bulan ini memiliki banyak keutamaan. Banyak hadits yang berbicara tentang keutamaan bulan Sya’ban. Akan tetapi, banyak juga hadits-hadits lemah (dha’if) yang disebarkan pada bulan ini yang berkaitan dengan bulan Sya’ban.

Kita harus berhati-hati dengan hadits lemah (dha’if), terlebih lagi jika hadits tersebut berhubungan dengan aqidah, amalan dan hukum dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ, مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.

Sesungguhnya berdusta atas namaku tidak seperti berdusta atas nama selainku. Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka sesungguhnya dia telah menyiapkan tempat duduknya di neraka.1

Oleh karena itu, penulis berusaha mengumpulkan beberapa hadits lemah tentang bulan Sya’ban dari beberapa tulisan ulama dan penuntut ilmu untuk bisa kita ambil faidah bersama-sama2.

Berikut ini sebagian hadits-hadits lemah tersebut:

Hadits ke-1: Penamaan bulan Sya’ban

إنما سُمّي شَعْبانَ لأنهُ يَتَشَعَّبُ فيه خَيْرٌ كثِيرٌ لِلصَّائِمِ فيه حتى يَدْخُلَ الجَنَّةَ.

  1. Sesungguhnya bulan Sya’ban dinamakan Sya’ban karena di dalamnya bercabang kebaikan yang sangat banyak untuk orang yang berpuasa pada bulan itu sampai dia masuk ke dalam surga.3

Hadits ke-2 , ke-3 dan ke-4: Keutamaan bulan Sya’ban

رَجَبٌ شَهْرُ الله، وشَعْبانُ شَهْرِي، وَرَمَضانُ شَهْرُ أُمَّتِي.

  1. Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan umatku.4

خِيرَةُ اللهِ مِنَ الشُّهُورِ شَهْرُ رَجَبٍ وَهُوَ شَهْرُ اللهِ، مَنْ عَظَّمَ شَهْرَ اللهِ رَجَبٍ فَقَدْ عَظَّمَ أَمْرَ اللهِ، وَمَنْ عَظَّمَ أَمْرَ اللهِ أَدْخَلَهُ جَنَّاتِ النَّعِيمِ، وَأَوْجَبَ لَهُ رِضْوَانَهُ الْأَكْبَرَ، وَشَعْبَانُ شَهْرِي فَمَنْ عَظَّمَ شَهْرَ شَعْبَانَ فَقَدْ عَظَّمَ أَمْرِي، وَمَنْ عَظَّمَ أَمْرِي كُنْتُ لَهُ فَرَطًا وَذُخْرًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَشُهِرُ رَمَضَانَ شَهْرُ أُمَّتِي…

  1. Sebaik-baik bulan adalah bulan Allah, (yaitu Rajab). Barang siapa yang mengagungkan bulan Rajab, maka dia telah mengagungkan urusan Allah. Barang siapa yang mengagungkan urusan Allah, Dia akan memasukkannya ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan dan pasti mendapatkan keridhaan-Nya yang paling besar. Bulan Sya’ban adalah bulanku. Barang siapa yang mengagungkan bulan Sya’ban maka dia telah mengagungkan urusanku. Barang siapa yang mengagungkan urusanku, maka saya akan menjadi pendahulunya dan simpanan kebaikannya di hari kiamat. Bulan Ramadhan adalah bulan umatku…5

فَضْلُ رَجَبَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ الْقُرْآنِ عَلَى سَائِرِ الأَذْكَارِ ، وَفَضْلُ شَعْبَانَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ مُحَمَّدٍ عَلَى سَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ ، وَفَضْلُ رَمَضَانَ عَلَى سَائِرِ الشّهُوْرِ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى عِبَادِه.

  1. Keutamaan bulan Rajab dari seluruh bulan adalah seperti keutamaan Al-Qur’an dari seluruh dzikir. Keutamaan bulan Sya’ban dari seluruh bulan adalah seperti keutamaan Muhammad dari seluruh nabi. Dan keutamaan bulan Ramadhan dari seluruh bulan adalah seperti keutamaan Allah dibanding dengan hamba-hamba-Nya.6

Hadits ke-5, ke-6 dan ke-7: Puasa di bulan Sya’ban

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ-صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-يَصُوْمُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ فَرُبَّما أخَّرَ ذلِكَ حَتَّى يَجْتَمِعَ عَلَيْهِ صَوْمُ السَّنَةِ فَيَصُوْم شَعْبَانَ.

  1. Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulan dan terkadang beliau mengakhirkan puasa tiga hari tersebut sampai setahun, kemudian beliau berpuasa di bulan Sya’ban.7

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Akan tetapi, yang diingkari pada hadits di atas adalah alasan mengapa beliau berpuasa Sya’ban.

عن أبي هريرة-رضي الله عنه- أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَصُمْ بَعْدَ رَمَضَانَ إِلَّا رَجَبٌ وَشَعْبَانُ

  1. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa setelah bulan Ramadhan kecuali berpuasa di bulan Rajab dan Sya’ban saja.8

Hadits ini jelas sekali bertentangan dengan hadits-hadits yang lain yang menunjukkan bahwa beliau biasa berpuasa Syawwal, Senin-Kamis dan lain-lain.

عن عَائِشَةَ ، قَالَتْ: … فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ: مَالِيْ أَرَى أَكْثَرَ صِيَامِكَ فِيْ شَعْبَانَ ، فَقَالَ:

يَا عَائِشَةُ إِنَّهُ شَهْرٌ يَنْسَخُ لمِلَكِ اْلمَوْتِ مَنْ يَقْبِضُ ، فَأُحِبُّ أَنْ لَا يَنْسَخَ اسْمِيْ إِلَّا وَأَناَ صَائِمٌ.

  1. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha … dia bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah! Mengapa saya melihat engkau paling banyak berpuasa di bulan Sya’ban?” Beliau pun menjawab, ‘Ya ‘Aisyah! Sesungguhnya dia adalah bulan yang mana Malaikat Maut mencatat (nama-nama) orang yang akan dicabut (nyawanya), dan saya senang jika dicatat namaku dalam keadaaan saya sedang berpuasa.”9

Hadits ke-8: Puasa Nishfu Sya’ban (Pertengahan bulan Sya’ban)

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ، فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا

  1. Apabila malam pertengahan bulan Sya’ban, maka hidupkanlah malamnya dan berpuasalah di siang harinya.10
    Terdapat keutamaan malam pertengahan bulan Sya’ban, tetapi yang diingkari dalam hadits ini adalah penyebutan amalan khusus yang dikhususkan pada hari tersebut.

Hadits ke-9 sampai 16: Keutamaan malam pertengahan bulan Sya’ban

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا , فَيَغْفِرُ لأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعَرِ غَنَمِ كَلْبٍ.

  1. Sesungguhnya Allah turun pada malam pertengahan bulan Sya’ban ke langit dunia dan mengampuni lebih dari jumlah bulu kambing suku Kalb.”11
    Suku Kalb dulu terkenal memiliki banyak kambing peliharaan, sehingga mereka terkenal di negeri Arab. Penyebutan banyak hamba-hamba yang akan diampuni pada malam tersebut benar dan terdapat pada hadits yang shahih, yang diingkari pada hadits ini adalah jumlah khusus yang disebutkan.

خَمْسُ لَيالٍ لا تُرَدُّ فِيهِنَّ الدَّعْوَةُ أوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبانَ وَلَيْلَةُ الجُمُعَةِ وَلَيْلَةُ الفِطْرِ وَلَيْلَةُ النَّحْرِ

  1. Ada lima malam yang doa tidak akan ditolak pada malam-malam itu, yaitu: malam pertama di bulan Rajab, malam pertengahan di bulan Sya’ban, malam Jum’at, malam (idul) fitri dan malam sembelihan (idul-adha).12


Yang diingkari dalam hadits ini dan berikutnya adalah penyebutan amalan khusus yang dikhususkan pada malam tersebut.

مَنْ قَرَأَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ أَلْفَ مَرَّةٍ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد, بَعَثَ اللهُ إِلَيْه مِئَةَ أَلْفِ مَلَكٍ يُبَشِّرُوْنَه .

  1. Barang siapa yang membaca di malam pertengahan di bulan Sya’ban seribu kali ‘Qul Huwallahu Ahad’, maka Allah akan mengutus kepadanya seratus ribu malaikat untuk memberi kabar gembira kepadanya.13

يَا عَلِيُّ مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ مِئَةَ رَكْعَةٍ بِأَلْفِ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد, قَضَى اللهُ لَهُ كُلَّ حَاجَةٍ طَلَبَهَا تِلْكَ الَّليْلَة

  1. Ya ‘Ali! Barang siapa yang shalat di malam pertengahan di bulan Sya’ban sebanyak seratus rakaat dengan membaca seribu ‘Qul Huwallahu Ahad’, maka Allah memenuhi seluruh hajatnya yang dia minta pada malam itu.14

مَنْ أَحْيَا لَيْلَتَيْ الِعيْدِ وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْب.

  1. Barang siapa yang menghidupkan dua malam, yaitu: malam id dan malam pertengahan di bulan Sya’ban, maka hatinya tidak akan mati, dimana hati-hati manusia banyak yang mati.15

مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ثَلاَثَ مِئَةِ ركْعَةٍ ( فِيْ لَفْظٍ ثِنْتَيْ عَشَرَ رَكْعَةً ) يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ ثَلَاثِيْنَ مَرَّةٍ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد شُفِّعَ فِيْ عَشْرَةٍ قَدْ اسْتَوْجَبُوْا النَّار.

  1. Barang siapa yang shalat di malam pertengahan di bulan Sya’ban sebanyak tiga ratus raka’at, (di dalam riwayat lain dua belas rakaat), dan dia membaca pada setiap rakaat tiga puluh kali ‘Qul Huwallah Ahad’, maka dia akan bisa memberi syafaat untuk sepuluh orang yang dipastikan masuk ke dalam neraka.16

مَنْ أَحْيَا الليَالِيْ الخَمْس ؛ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّة: لَيْلَةَ التَّرْوِيَةِ، وَلَيْلَةَ عَرَفَةَ، وَلَيْلَةَ النَّحْرِ، وَلَيْلَةَ الْفِطْرِ، وَلَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ

  1. Barang siapa yang menghidupkan lima malam maka dia akan masuk surga, yaitu: malam tarwiyah (9 Dzul-hijjah), malam ‘Arafah, malam idul-adha, malam idul-fitri dan malam pertengahan di bulan Sya’ban.17

إِذَا كَانَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ نَادَى مُنَادٍ : هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرُ لَهُ? هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ? فَلَا يَسْأَلُ أَحَدٌ شَيْئًا إِلَّا أُعْطِيَ إِلَّا زَاِنيَة بِفَرْجِهَا أَوْ مُشْرِك .

  1. “Pada malam pertengahan di bulan Sya’ban seorang pemanggil menyeru, “Adakah orang yang meminta ampun, maka aku akan mengampuninya? Adakah orang yang meminta, maka aku akan mengabulkannya? Tidak ada seorang pun yang meminta kecuali saya akan mengabulkannya kecuali pezina dan orang musyrik.18
    Yang diingkari dalam hadits ini adalah penyebutan lafaz pezina, karena terdapat lafaz yang shahih yang tidak diampuni pada malam tersebut adalah orang musyrik dan musyahin (orang yang memilki permusuhan dengan saudara seiman)

Hadits ke-17: Doa agar diberkahi di bulan Rajab dan Sya’ban dan disampaikan kepada bulan Ramadhan

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَب وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ .

  1. Ya Allah! Berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan kami kepada bulan Ramadhan.19


Yang diingkari pada hadits ini adalah penisbatannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

***

DAFTAR PUSTAKA

  1. Al-Fathu Al-Kabir fi Dhammizziyadah Ila Jami’ Ash-Shaghir. Jalaluddin As-Suyuthi. Beirut: Darul-Fikr.

  2. Al-Manar Al-Munif fi Ash-Shahih wa Adh-Dha’if. Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abi Bakr Al-Hanbali. Halab: Maktabah Al-Mathbu’at Al-Islamiyah.

  3. Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wal-Maudhu’ah wa Atsaruhaa As-Sayyi’ fil-Ummah. Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Ar-Riyadh: Darul-Ma’arif.

  4. Tabyiinul-‘Ajab bima Warada fi Rajab. Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani.

  5. www.ahlalhdeeth.com

  6. www.kalemasawaa.com

Footnotes

  1. HR Al-Bukhari no. 1291 dari Al-Mughirah, Muslim dalam Muqaddimatush-shahih no. 4 dari Abu Hurairah dan yang lainnya.

  2. Karena keterbatasan waktu, sebagian takhrij dan hukum hadits di catatan kaki, penulis hanya menukil dari sumber-sumber yang disebutkan pada daftar pustaka.

  3. HR Ar-Rafi’i dalam Tarikh-nya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Maudhu’ ” dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 2061.

  4. HR Ibnu Abi Al-Fawaris dalam Al-Amali dan Al-Ashbahani dalam At-Targhib dari Hasan secara mursal. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Dha’if.” Dalam Adh-Dha’ifah no. 4400.

  5. HR Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 3532. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Maudhu’.” Dalam Adh-Dha’ifah no. 6188.

  6. HR Salafy Al-Hafizh, disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Tabyiinul-‘Ajb bimaa Warada fi Fadhli Rajab. Beliau berkata, “Seluruh rijal sanad ini tsiqah kecuali As-Saqathi sesungguhnya dia Aafah. Dan sangat terkenal memalsukan hadits dan mengganti-ganti sanad serta tidak ada seorang pun yang meriwayatkan dengan sanad hadits seperti ini kecuali dia.”

  7. HR At-Thabrani dalam Al-Awsath no. 2098 dari ‘Aisyah. Beliau mengatakan, “Tidak diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Laila kecuali dengan sanad ini. ‘Amr meriwayatkannya sendirian darinya.” Saya katakan, “Abdurrahman bin Abi Laila dha’if.”

  8. HR Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 3522 dan dia berkata, “Dha’if.”

  9. Awal dari hadits tersebut adalah hadits yang shahih diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim. Adapun tambahan hadits yang diberi garis bawah, maka tambahan tersebut munkar, sebagaimana dikatakan oleh Abu Hatim Ar-Razi dalam ‘Ilalul-Hadits no. 737.

  10. HR Ibnu Majah no. 1388. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Sanadnya Maudhu’,” dalam Adh-Dha’ifah no. 2132.

  11. HR Tirmidzi no. 739 dan Ibnu Majah no. 1389. Syaikh Al-Albani men-dha’if-kannya dalam Dha’if Sunan Ibni Majah.

  12. HR Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Maudhu’.” Dalam Adh-Dha’ifah no. 1452.

  13. Disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Lisanul-Mizan (V/271).

  14. Disebutkan oleh Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah hal. 50.

  15. Disebutkan oleh Ibnul-Jauzi dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah (II/562).

  16. Disebutkan di dalam kitab Al-Manar Al-Munif hal. 99 no. 177.

  17. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Dha’if At-Targhib no. 667, “Maudhu’.”

  18. HR Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 3555. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Dha’if.” Dalam Adh-Dha’ifah no. 7000.

  19. HR At-Thabrani dalam Al-Ausath no. 3939, Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 3534. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Dha’if.” Dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 4395.


Copied from the source article: Muslim.Or.Id

Posted by :Blog Al-Islam


Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.

If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.

Delivered by FeedBurner

Kembali ke Atas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Keluar dari Ahlus Sunnah Karena Menyelisihi Mainstream

Written By sumatrars on Selasa, 15 Juli 2014 | Juli 15, 2014

Label : Bahasan Utama, ahlus sunnah, ijtihadiyah, Pemilu

Disalin 05 Jun 2014 di Publikasikan : 15 Juli 2014

Dahulu, memang yang kami rasakan adalah sulit menerima pendapat yang lain. Pendapat yang kami dengar pertama kali atau pendapat dari guru kami, itulah yang kami pegang erat-erat. Berlalunya waktu dan ada kemampuan untuk menelaah pendapat yang lain, pendapat guru kami pun, kami selisihi. Bukan karena apa-apa, cuma lantaran ada dalil saja yang kami anggap lebih kuat.

Misal saja, guru kami lebih cenderung pada pendapat duduk di tahiyat akhir pada shalat dua raka’at adalah duduk iftirosy, yaitu kaki kiri diduduki dan kaki kanan ditegakkan. Bahkan dahulu inilah yang jadi pendapat anak-anak ngaji. Pokoknya kalau tidak dengan cara ini, keahlus-sunnahannya dipertanyakan. Ada yang sampai berujar, “Ahlus Sunnah kok shalatnya seperti itu?” Setelah memahami dalil dan banyak menelaah, ternyata kami pun lebih cenderung pada pendapat yang kami anut sejak kecil yaitu pendapat Syafi’iyah bahwa duduk pada tasyahud akhir adalah duduk tawarruk berapa pun jumlah raka’atnya. Banyak belajar, banyak menelaah, membuat kami sadar bahwa perbedaan dalam hal fikih seperti itu ada. Dan sah-sah saja menyelisihi guru kami karena memandang dalil. Semakin tahu perbedaan dalam hal ijtihadiyah, membuat kami pun semakin lapang dada.

Menyelisihi hal yang sudah mendarah daging atau yang sudah jadi mainstream -istilah anak muda saat ini-, amatlah berat. Pihak yang memegang pendapat mainstream ada yang sampai menyalahkan bahkan yang lebih gawat sampai mengeluarkan saudaranya dari Ahlus Sunnah.

Buktinya saja yang kami alami saat ini. Saat membolehkan mencoblos dalam Pemilu karena menimbang adanya maslahat dan untuk menghilangkan bahaya yang lebih besar dengan mengambil yang lebih ringan, ketika pendapat ini yang dipilih, berbagai hujatan pun datang. Sampai dicap jelek dengan mental tempe, pro demokrasi, juga dipertanyakan keilmuannya di mana. Tetap sabar, mungkin karena mereka belum paham. Padahal para ulama zaman kita ini ketika disodorkan pertanyaan, apakah harus mencoblos atau tidak dalam Pemilu, mayoritas mereka menjawab, tetap mencoblos. Alasannya? Yah untuk mengurangi kemudaratan, daripada yang jelek yang berkuasa. Silakan tilik dan banyak olah bacaan, pasti akan menemukan seperti yang kami utarakan.

Kalau memang tidak setuju dengan pendapat pro coblos, cobalah ditanggap dengan cara yang santun. Bila cara shalat kita saat tasyahud berbeda tidak mengeluarkan dari Ahlus Sunnah, maka seharusnya kita memperlakukan yang sama untuk hal mencoblos. Tak perlulah perbedaan ijtihadiyah yang ada membuat kita saling menjauh dan saling menyesatkan. Marilah berdamai dan bersatu.

Coba perhatikan nasehat yang bagus dari Ibnu Taimiyah berikut ini,

وَأَمَّا الِاخْتِلَافُ فِي ” الْأَحْكَامِ ” فَأَكْثَرُ مِنْ أَنْ يَنْضَبِطَ وَلَوْ كَانَ كُلَّمَا اخْتَلَفَ مُسْلِمَانِ فِي شَيْءٍ تَهَاجَرَا لَمْ يَبْقَ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ عِصْمَةٌ وَلَا أُخُوَّةٌ وَلَقَدْ كَانَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا سَيِّدَا الْمُسْلِمِينَ يَتَنَازَعَانِ فِي أَشْيَاءَ لَا يَقْصِدَانِ إلَّا الْخَيْرَ

Adapun perselisihan dalam masalah hukum maka jumlahnya tak berbilang. Seandainya setiap dua orang muslim yang berselisih pendapat dalam suatu masalah harus saling bermusuhan, maka tidak akan ada persaudaraan pada setiap muslim. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu saja -dua orang yang paling mulia setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berdua berbeda pendapat dalam beberapa masalah, tetapi yang diharap hanyalah kebaikan.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 173)

Kembali Ibnu Taimiyah melanjutkan,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada para sahabatnya,

لَا يُصَلِّيَن أَحَدٌ الْعَصْرَ إلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ

“Janganlah seorang pun shalat melainkan jika sudah sampai di Bani Quraizhah.”

Di antara mereka ada yang sudah mendapati waktu Ashar di jalan, namun mereka berkata, “Janganlah shalat kecuali sudah mencapai Bani Quraizhah.” Hingga akhirnya mereka pun luput (telat) melakukan shalat ‘Ashar. Sedangkan lainnya berkata, “Kita tidak boleh mengakhirkan shalat ‘Ashar.” Akhirnya mereka pun melaksanakan shalat ‘Ashar di jalan (pada waktunya). Namun tidak ada seorang pun di antara dua kelompok yang berbeda tersebut saling mencela. Hadits ini disebutkan dalam shahihain dari hadits Ibnu ‘Umar.

Hal di atas berkaitan dengan masalah hukum (fikih). Oleh karenanya, jika ada masalah selama bukan suatu yang krusial dalam hal ushul (pokok agama), maka diserupakan seperti itu pula. (Majmu’ Al Fatawa, 24: 173-174)

Juga coba renungkan apa yang dikatakan oleh ulama besar semacam Imam Syafi’i kepada Yunus Ash Shadafiy -nama kunyahnya Abu Musa-. Imam Syafi’i berkata padanya,

يَا أَبَا مُوْسَى، أَلاَ يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَانًا وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِيْ مَسْأَلَةٍ

Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?” (Siyar A’lamin Nubala’, 10: 16).

Setelah membawakan perkataan Imam Asy Syafi’i di atas, Imam Adz Dzahabi berkata, “Hal ini menunjukkan kecerdasan dan kepahaman Imam Syafi’i walau mereka -para ulama- terus ada beda pendapat.” (Idem, 10: 17).

Tugas kita saling menasehati. Jika ada yang melampaui batas dalam memutuskan untuk coblos dengan berkampanye hitam, tolong diingatkan. Atau waktunya habis hanya karena membela satu capres, tolong dinasehati. Kami pun tetap hargai yang memilih golput. Peace!

Semoga Allah terus menjaga ukhuwah kita.


Sumber Artikel : Muslim.Or.Id

Kembali ke atas / Top

Artikel :Blog Al Islam



Daftar Artikel
Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Kajian Ramadhan 22: Ramadhan Mengajarkan untuk Menjauhi Maksiat

Written By sumatrars on Rabu, 11 Juni 2014 | Juni 11, 2014

Category : Bahasan Utama, hikmah puasa, kajian ramadhan, maksiat
Source article: Muslim.Or.Id, Muhammad Abduh Tuasikal

Transcribed on : 10 Jun 2014, 11 Sya’ban 1435 H

Ramadhan mengajarkan untuk menjauhi maksiat. Maksiat memang dilarang setiap waktu, bukan hanya di bulan Ramadhan saja. Namun kala Ramadhan, kita lebih diperintahkan dengan keras untuk menjauhinya.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903)

Ini bukan berarti diperintahkan untuk meninggalkan puasa. Namun maksudnya adalah peringatan keras agar tidak berkata dusta. Ini adalah penjelasan Ibnu Batthol, dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 4: 117.

Yang dimaksud qoul az zuur adalah berkata dusta, melakukan ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba) dan mencela muslim yang lain. Sedangkan mengamalkan az zuur adalah dengan malas mengerjakan shalat di waktunya, enggan shalat berjama’ah di masjid (bagi pria), melakukan jual beli yang haram, memakan riba, mendengarkan musik, juga berlebih-lebihan (boros) dalam membuat makanan untuk berbuka karena boros termasuk perbuatan terlarang. (Lihat Syarh ‘Umdatul Fiqh karya Prof. Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Jibrin, 1: 562)

Ibnul ‘Arobi sampai berkata bahwa hadits di atas berarti siapa yang berpuasa namun masih menjalankan maksiat seperti yang disebutkan, maka puasanya tidak bernilai pahala. (Dinukil dari Romadhon Durus wa ‘Ibar Tarbiyyah wa Isror karya Dr. Muhammad bin Ibrahim Al Hamd, hal. 38).

Al Baidhowi sampai mengatakan, “Maksud puasa bukanlah hanya menahan lapar dan dahaga bahkan hendaklah diikuti dengan menekan syahwat yang jelek. Jika tidak ada maksud itu, maka tentu saja Allah tidak menerima amalan puasa tersebut.” (Idem).

Jadikanlah Ramadhan kita nanti sebagai ajang untuk memperbaiki diri dan moment meninggalkan masa silam yang penuh kegelapan. Moga Allah mudahkan.

Article : Blog Al-Islam


Ingin mendapatkan Artikel/Posting dari kami /Berlangganan, Silahkan kirimkan Alamat eMail  Anda pada kolom dibawah, demgan demikian anda akan mendapatkan setiap ada artikel yang terbit dari kami.
Want to get article / post from our / Subscribe, Please send your eMail address in the fields below, so you will get every article published from us.

Delivered by FeedBurner

Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Hukum Puasa Sya’ban pada Hari Sabtu

Written By sumatrars on Selasa, 03 Juni 2014 | Juni 03, 2014

Category : Bahasan Utama, amalan sya'ban, puasa sya'ban
Source article: Muslim.Or.Id, Muhammad Abduh Tuasikal

Transcribed on : 2 June 2014 M, 4 Sya’ban 1435 H

Kita sudah tahu bahwa puasa pada hari Sabtu adalah suatu yang disunnahkan, bahkan kita diperintahkan memperbanyak puasa pada bulan tersebut. Apakah puasa hari Sabtu masih dibolehkan di bulan Sya’ban?

Larangan Puasa pada Hari Sabtu

Mengenai larangan berpuasa pada hari Sabtu disebutkan dalam hadits,

لاَ تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلاَّ فِيمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ

Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali untuk puasa yang wajib bagi kalian.” (HR. Ibnu Majah no. 1726, Abu Daud no. 2421, Tirmidzi no. 744).

Abu Daud mengatakan bahwa hadits ini mansukh, yaitu telah dihapus. (Sunan Abi Daud, hal. 490)

Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. (Jaami’ At Tirmidzi, hal. 247)

Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. (Takhrij Jaami’ At Tirmidzi, idem)

‘Abdul Qodir Al Arnauth dan Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy atau kuat. Mereka berdua berkata: Cacat hadits ini karena dikatakan mudhthorib tidaklah mencacati hadits ini karena hadits ini selamat jika dilihat dari jalur lainnya. (Tahqiq Zaadul Ma’ad, 2: 75).

Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits di atas adalah hadits shahih.(As Silsilah Ash Shahihah no. 3101, 7: 274)

Intinya, para ulama masih berselisih pendapat mengenai keshahihan hadits larangan puasa pada hari Sabtu.

Pendapat Ulama tentang Puasa Hari Sabtu

Abu ‘Isa At Tirmidzi rahimahullah berkata,

وَمَعْنَى كَرَاهَتِهِ فِى هَذَا أَنْ يَخُصَّ الرَّجُلُ يَوْمَ السَّبْتِ بِصِيَامٍ لأَنَّ الْيَهُودَ تُعَظِّمُ يَوْمَ السَّبْتِ

Makna hadits larangan puasa hari Sabtu menunjukkan makna makruh jika seseorang mengkhususkan puasa pada hari tersebut karena orang Yahudi mengagungkan hari Sabtu tersebut.” (Lihat Jaami’ At Tirmidzi, hal. 247-248).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Larangan puasa pada hari Sabtu adalah larangan menyendirikan berpuasa pada hari tersebut. Sehingga Imam Abu Daud membuat judul Bab “Larangan mengkhususkan hari Sabtu untuk berpuasa“.” (Zaadul Ma’ad, 2: 75).

Guru dari Ibnul Qayyim yaitu Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kebanyakan ulama madzhab Hambali memahami perakataan Imam Ahmad dalam mengamalkan hadits tersebut dan dipahami bahwa maksud larangan adalah jika mengkhususkan puasa pada hari Sabtu.

Ibnu Taimiyah rahimahullah sebelumnya mengatakan, “Menurut mayoritas ulama, tidak dianggap makruh berpuasa pada hari sabtu.” (Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim, 2: 76).

Puasa Sya’ban pada Hari Sabtu

Kita telah mengetahui bersama bahwa salah satu amalan yang dianjurkan di bulan Sya’ban adalah memperbanyak puasa. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ . فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)

Lantas apakah anjuran tersebut juga termasuk berpuasa pada hari Sabtu? Jawabnya, hadits menunjukkan makna umum, puasa hari Sabtu pun masih dibolehkan. Makna memperbanyak puasa berarti mencakup pula hari Sabtu.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dalam Fatawa Nur ‘Ala Darb (16: 444) ketika ditanya mengenai hukum puasa 6 hari di bulan Syawal pada hari Sabtu, mereka menjawab, “Puasa Syawal yang lebih afdhal adalah dilakukan secara berturut-turut. Puasa hari Sabtu secara bersendirian tidaklah masalah. Karena hadits yang membicarakan larangan puasa pada hari Sabtu kecuali puasa wajib tidaklah shahih (dhaif) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maksud dari fatwa tersebut berarti berpuasa Sya’ban itu bebas dilakukan tidak ada larangan pada hari-hari tertentu karena kita diperintahkan memperbanyak puasa kala itu.

Hanya Allah yang memberi taufik.

Article : Blog Al-Islam


Ingin mendapatkan Artikel/Posting dari kami /Berlangganan, Silahkan kirimkan Alamat eMail  Anda pada kolom dibawah, demgan demikian anda akan mendapatkan setiap ada artikel yang terbit dari kami.
Want to get article / post from our / Subscribe, Please send your eMail address in the fields below, so you will get every article published from us.

Delivered by FeedBurner

Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Optimalkan Ibadah Di Bulan Sya’ban

Written By sumatrars on Senin, 02 Juni 2014 | Juni 02, 2014

Category : Bahasan Utama, fikih, fikih puasa, Ramadhan, Sya'ban
Source article: Muslim.Or.Id, 1 June 2014,

Bulan Sya’ban adalah bulan yang terletak setelah bulan Rajab dan sebelum bulan Ramadhan. Bulan ini memiliki banyak keutamaan. Ada juga ibadah-ibadah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisinya dengan memperbanyak berpuasa di bulan ini sebagai persiapan menghadapi bulan Ramadhan. Bulan ini dinamakan bulan Sya’ban karena di saat penamaan bulan ini banyak orang Arab yang berpencar-pencar mencari air atau berpencar-pencar di gua-gua setelah lepas bulan Rajab. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan:

وَسُمِّيَ شَعْبَانُ لِتَشَعُّبِهِمْ فِيْ طَلَبِ الْمِيَاهِ أَوْ فِيْ الْغَارَاتِ بَعْدَ أَنْ يَخْرُجَ شَهْرُ رَجَبِ الْحَرَامِ وَهَذَا أَوْلَى مِنَ الَّذِيْ قَبْلَهُ وَقِيْلَ فِيْهِ غُيْرُ ذلِكَ.

Dinamakan Sya’ban karena mereka berpencar-pencar mencari air atau di dalam gua-gua setelah bulan Rajab Al-Haram. Sebab penamaan ini lebih baik dari yang disebutkan sebelumnya. Dan disebutkan sebab lainnya dari yang telah disebutkan.1 Adapun hadits yang berbunyi:

إنَّمَا سُمّي شَعْبانَ لأنهُ يَتَشَعَّبُ فِيْهِ خَيْرٌ كثِيرٌ لِلصَّائِمِ فيه حتى يَدْخُلَ الجَنَّةَ.

Sesungguhnya bulan Sya’ban dinamakan Sya’ban karena di dalamnya bercabang kebaikan yang sangat banyak untuk orang yang berpuasa pada bulan itu sampai dia masuk ke dalam surga.2 Hadits tersebut tidak benar berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Banyak orang menyepelekan bulan ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hal tersebut di dalam hadits berikut:

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ، قَالَ: ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ.

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata, “Ya Rasulullah! Saya tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam satu bulan di banding bulan-bulan lain seperti engkau berpuasa di bulan Sya’ban ?” Beliau menjawab, “Itu adalah bulan yang banyak manusia melalaikannya, terletak antara bulan Rajab dan Ramadhan. Dia adalah bulan amalan-amalan di angkat menuju Rabb semesta alam. Dan saya suka jika amalanku diangkat dalam keadaan saya sedang berpuasa”.3

Amalan-amalan apa yang disyariatkan pada bulan ini?

Ada beberapa amalan yang biasa dilakukan oleh Rasulullah dan para as-salafush-shalih pada bulan ini. Amalan-amalan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Memperbanyak puasa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak puasa pada bulan ini tidak seperti beliau berpuasa pada bulan-bulan yang lain.

عَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ, فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya dia berkata, “Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sampai kami mengatakan bahwa beliau tidak berbuka, dan berbuka sampai kami mengatakan bahwa beliau tidak berpuasa. Dan saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa dalam sebulan kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada bulan Sya’ban.4 Begitu pula istri beliau Ummu Salamah radhiallahu ‘anha mengatakan:

مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلاَّ شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ.

Saya tidak pernah mendapatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali bulan Sya’ban dan Ramadhan.5 Ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hampir berpuasa Sya’ban seluruhnya. Para ulama menyebutkan bahwa puasa di bulan Sya’ban meskipun dia hanya puasa sunnah, tetapi memiliki peran penting untuk menutupi kekurangan puasa wajib di bulan Ramadhan. Seperti shalat fardhu, shalat fardhu memiliki shalat sunnah rawatib, yaitu: qabliyah dan ba’diyah. Shalat-shalat tersebut bisa menutupi kekurangan shalat fardhu yang dikerjakan. Sama halnya dengan puasa Ramadhan, dia memiliki puasa sunnah di bulan Sya’ban dan puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal. Orang yang memulai puasa di bulan Sya’ban insya Allah tidak terlalu kesusahan menghadapi bulan Ramadhan.

2. Membaca Al-Qur’an

Membaca Al-Qur’an mulai diperbanyak dari awal bulan Sya’ban , sehingga ketika menghadapi bulan Ramadhan, seorang muslim akan bisa menambah lebih banyak lagi bacaan Al-Qur’an-nya. Salamah bin Kuhail rahimahullah berkata:

كَانَ يُقَالُ شَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ الْقُرَّاءِ

Dulu dikatakan bahwa bulan Sya’ban adalah bulan para qurra’ (pembaca Al-Qur’an).” Begitu pula yang dilakukan oleh ‘Amr bin Qais rahimahullah apabila beliau memasuki bulan Sya’ban beliau menutup tokonya dan mengosongkan dirinya untuk membaca Al-Qur’an.6

3. Mengerjakan amalan-amalan shalih

Seluruh amalan shalih disunnahkan dikerjakan di setiap waktu. Untuk menghadapi bulan Ramadhan para ulama terdahulu membiasakan amalan-amalan shalih semenjak datangnya bulan Sya’ban , sehingga mereka sudah terlatih untuk menambahkan amalan-amalan mereka ketika di bulan Ramadhan. Abu Bakr Al-Balkhi rahimahullah pernah mengatakan:

شَهْرُ رَجَب شَهْرُ الزَّرْعِ، وَشَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ سُقْيِ الزَّرْعِ، وَشَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرُ حَصَادِ الزَّرْعِ.

Bulan Rajab adalah bulan menanam, bulan Sya’ban adalah bulan menyirami tanaman dan bulan Sya’ban adalah bulan memanen tanaman.” Dan dia juga mengatakan:

مَثَلُ شَهْرِ رَجَبٍ كَالرِّيْحِ، وَمَثُل شَعْبَانَ مَثَلُ الْغَيْمِ، وَمَثَلُ رَمَضَانَ مَثَلُ اْلمطَرِ، وَمَنْ لَمْ يَزْرَعْ وَيَغْرِسْ فِيْ رَجَبٍ، وَلَمْ يَسْقِ فِيْ شَعْبَانَ فَكَيْفَ يُرِيْدُ أَنْ يَحْصِدَ فِيْ رَمَضَانَ.

Perumpamaan bulan Rajab adalah seperti angin, bulan Sya’ban seperti awan yang membawa hujan dan bulan Ramadhan seperti hujan. Barang siapa yang tidak menanam di bulan Rajab dan tidak menyiraminya di bulan Sya’ban bagaimana mungkin dia memanen hasilnya di bulan Ramadhan.7

4. Menjauhi perbuatan syirik dan permusuhan di antara kaum muslimin

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan mengampuni orang-orang yang tidak berbuat syirik dan orang-orang yang tidak memiliki permusuhan dengan saudara seagamanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ, فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ, إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ.

Sesungguhnya Allah muncul di malam pertengahan bulan Sya’ban dan mengampuni seluruh makhluknya kecuali orang musyrik dan musyahin.8 Musyahin adalah orang yang memiliki permusuhan dengan saudaranya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga secara khusus tentang orang yang memiliki permusuhan dengan saudara seagamanya:

تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلاَّ رَجُلاً كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا.

Pintu-pintu surga dibuka setiap hari Senin dan Kamis dan akan diampuni seluruh hamba kecuali orang yang berbuat syirik kepada Allah, dikecualikan lagi orang yang memiliki permusuhan antara dia dengan saudaranya. Kemudian dikatakan, ‘Tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai. Tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai. Tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai’9 Oleh karena itu sudah sepantasnya kita menjauhi segala bentuk kesyirikan baik yang kecil maupun yang besar, begitu juga kita menjauhi segala bentuk permusuhan dengan teman-teman muslim kita.

5. Bagaimana hukum menghidupkan malam pertengahan bulan Sya’ban?

Pada hadits di atas telah disebutkan keutamaan malam pertengahan bulan Sya’ban. Apakah di-sunnah-kan menghidupkan malam tersebut dengan ibadah? Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

وَصَلَاةُ الرَّغَائِبِ بِدْعَةٌ مُحْدَثَةٌ لَمْ يُصَلِّهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ، وَأَمَّا لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَفِيهَا فَضْلٌ، وَكَانَ فِي السَّلَفِ مَنْ يُصَلِّي فِيهَا، لَكِنَّ الِاجْتِمَاعَ فِيهَا لِإِحْيَائِهَا فِي الْمَسَاجِدِ بِدْعَةٌ وَكَذَلِكَ الصَّلَاةُ الْأَلْفِيَّةُ.

Dan shalat Raghaib adalah bid’ah yang diada-adakan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat seperti itu dan tidak ada seorang pun dari salaf melakukannya. Adapun malam pertengahan di bulan Sya’ban, di dalamnya terdapat keutamaan, dulu di antara kaum salaf (orang yang terdahulu) ada yang shalat di malam tersebut. Akan tetapi, berkumpul-kumpul di malam tersebut untuk menghidupkan masjid-masjid adalah bid’ah, begitu pula dengan shalat alfiyah.10 Jumhur ulama memandang sunnah menghidupkan malam pertengahan di bulan Sya’ban dengan berbagai macam ibadah. Tetapi hal tersebut tidak dilakukan secara berjamaah.11 Sebagian ulama memandang tidak ada keutamaan ibadah khusus pada malam tersebut, karena tidak dinukil dalam hadits yang shahih atau hasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah menyuruh untuk beribadah secara khusus pada malam tersebut. Hadits yang berbicara tentang hal tersebut lemah.

6. Bagaimana hukum shalat alfiyah dan shalat raghaib di malam pertengahan bulan Sya’ban ?

Tidak ada satu pun dalil yang shahih yang menyebutkan keutamaan shalat malam atau shalat sunnah di pertengahan malam di bulan Sya’ban . Baik yang disebut shalat alfiyah (seribu rakaat), dan shalat raghaib (12 rakaat). Mengkhususkan malam tersebut dengan ibadah-ibadah tersebut adalah perbuatan bid’ah. Sehingga kita harus menjauhinya. Apalagi yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Mereka berkumpul di masjid, beramai-ramai merayakannya, maka hal tersebut tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam An-Nawawi mengatakan tentang shalat Ar-Raghaib yang dilakukan pada Jumat pertama di bulan Rajab dan malam pertengahan bulan Sya’ban :

وَهَاتَانِ الصَّلاَتَانِ بِدْعَتَانِ مَذْمُومَتَانِ مُنْكَرَتَانِ قَبِيحَتَانِ ، وَلاَ تَغْتَرَّ بِذِكْرِهِمَا فِي كِتَابِ قُوتِ الْقُلُوبِ وَالإْحْيَاءِ

Kedua shalat ini adalah bid’ah yang tercela, yang mungkar dan buruk. Janganlah kamu tertipu dengan penyebutan kedua shalat itu di kitab ‘Quutul-Qulub’ dan ‘Al-Ihya’’.12

7. Bagaimana hukum berpuasa di pertengahan bulan Sya’ban ?

Mengkhususkan puasa di siang pertengahan bulan Sya’ban tidak dianjurkan untuk mengerjakannya. Bahkan sebagian ulama menghukumi hal tersebut bid’ah. Adapun hadits yang berbunyi:

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا.

Apabila malam pertengahan bulan Sya’ban, maka hidupkanlah malamnya dan berpuasalah di siang harinya.13 Maka hadits tersebut adalah hadits yang palsu (maudhu’), sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Akan tetapi, jika kita ingin berpuasa pada hari itu karena keumuman hadits tentang sunnah-nya berpuasa di bulan Sya’ban atau karena dia termasuk puasa di hari-hari biidh (ayyaamul-biid/puasa tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan hijriyah), maka hal tersebut tidak mengapa. Yang diingkari adalah pengkhususannya saja. Demikian beberapa ibadah yang bisa penulis sebutkan pada artikel ini. Mudahan kita bisa mengoptimalkan latihan kita di bulan Sya’ban untuk bisa memaksimalkan ibadah kita di bulan Ramadhan. Mudahan bermanfaat. Amin. ***

Footnotes

[1] Fathul-Bari (IV/213), Bab Shaumi Sya’ban.

[2] HR Ar-Rafi’i dalam Tarikh-nya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Maudhu’, ” dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 2061.

[3] HR An-Nasai no. 2357. Syaikh Al-Albani menghasankannya dalam Shahih Sunan An-Nasai.

[4] HR Al-Bukhari no. 1969 dan Muslim 1156/2721.

[5] HR An-Nasai no. 2175 dan At-Tirmidzi no. 736. Di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasai.

[6] Lihat: Lathaiful-Ma’arif libni Rajab Al-Hanbali hal. 138.

[7] Lihat: Lathaiful-Ma’arif libni Rajab Al-Hanbali hal. 130.

[8] HR Ibnu Majah no. 1390. Di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah.

[9] HR Muslim no. 2565/6544.

[10] Al-Fatawa Al-Kubra (V/344).

[11] Lihat: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah (XXXIV/123).

[12] Al-Majmu’ lin-Nawawi (XXII/272).

[13] HR Ibnu Majah no. 1388. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Sanadnya Maudhu’,” dalam Adh-Dha’ifah no. 2132.



Daftar Pustaka

  1. Al-Khulashah fi Syarhil-Khamsiin Asy-Syamiyah. ‘Ali bin Nayif Asy-syahud. Darul-Ma’mur.

  2. At-Tibyan li Fadhail wa Munkarat Syahri Sya’ban. Nayif bin Ahmad Al-Hamd.

  3. Sya’ban, Syahrun Yaghfulu ‘anhu Katsir minannas. Abdul-Halim Tumiyat. www.nebrasselhaq.com

  4. Dan sumber-sumber lain yang sebagian besar telah dicantumkan di footnotes.

Article : Blog Al-Islam


Daftar Artikel

Ingin mendapatkan Artikel/Posting dari kami /Berlangganan, Silahkan kirimkan Alamat eMail  Anda pada kolom dibawah, demgan demikian anda akan mendapatkan setiap ada artikel yang terbit dari kami.
Want to get article / post from our / Subscribe, Please send your eMail address in the fields below, so you will get every article published from us.

Delivered by FeedBurner

Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger