Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Doa Kedua Orang Tua dan Saudaranya file:///android_asset/html/index_sholeh2.html I Would like to sha

Arsip Blog

Twitter

twitter
Latest Post

Karena Cinta, Aku Harus Memilih (2)

Written By sumatrars on Rabu, 01 April 2015 | April 01, 2015



Category : Tazkiyatun Nufus
Source article: Muslim.Or.Id

14 January 2015,

Bismillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Pada artikel Karena Cinta Aku Harus Memilih (bag.1) -Alhamdulillah- telah kami jelaskan tentang kiat mudah meninggalkan latar belakang yang hitam dan tiga poin telah disebutkan di sana, yaitu:

  • Mencintai sesuatu yang paling menyenangkan hati

  • Dengan menyadari bahwa setiap cinta itu butuh pengorbanan.

  • Merenungkan kaidah Qur’ani: “Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik darinya”

Nah, berikut kelanjutan kiat mudah tersebut:

4. Allah tidak sama dengan sesuatu apapun

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat” (QS. Asy-Syuuraa:11).

Allah berbeda dengan makhluk-Nya. Allah mencegah dengan tujuan untuk memberi, adapun makhluk-Nya, banyak di antara mereka yang memberi, agar kelak ganti diberi. Allah berbeda dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, husnudz dzonlah (berprasangka baiklah) Anda kepada-Nya, ketika Anda tercegah mendapatkan sesuatu yang Anda harapkan dari perhiasan dunia, asalkan Anda tetap bisa bertaqwa, apalagi kalau ternyata Anda menjadi lebih bertakwa karenanya, bukan malah nyesel nggak kesampean ‘cita-cita’ jahiliyyahnya atau bukan malah pengen seperti yang dulu, tatkala teringat nostalgia jahiliyyahnya.

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata, “Jadi demikiankah, Allah Yang Maha Suci, tidaklah Dia mencegah sesuatu dari hamba-Nya yang beriman, berupa perkara dunia, melainkan Dia akan memberikan kepadanya yang lebih utama dan lebih bermanfaat baginya dan anugerah itu tidaklah diberikan kepada non mukmin. Karena sesungguhnya Allah mencegah hamba-Nya dari mendapatkan sesuatu yang lebih rendah nilainya dan sepele, Dia tidak ridha itu didapatkan oleh hamba-Nya karena Dia hendak memberi kenikmatan yang terbaik dan mahal nilainya untuknya. Namun karena ketidaktahuan seorang hamba terhadap maslahat dirinya dan terhadap kedermawanan,kebijaksanaan dan kelembutan Tuhannya,menjadikannya tidak mengetahui perbedaan tingkatan nilai,antara apa yang ia tercegah mendapatkanya, dengan apa yang disimpan untuknya.

Justru yang ada adalah ia begitu menginginkan sesuatu yang bisa segera didapatkan di dunia ini, walaupun sepele nilainya, sedangkan untuk kenikmatan yang ditunda (di akhirat), demikian lemah seleranya terhadapnya,meski itu sesuatu yang mahal nilainya. Padahal, jika seorang hamba adil dalam bersikap terhadap Rabbnya -namun, bagaimanakah ia bisa begitu?- tentu akan mengetahui bahwa karunia-Nya untuknya  -dalam bentuk pencegahan-Nya dari mendapatkan dunia, kelezatan dan kenikmatannya- lebih baik daripada karunia-Nya dalam bentuk pemberian-Nya.

Jadi, tidaklah Dia mencegah seseorang kecuali untuk memberinya, tidaklah Dia mengujinya kecuali untuk menyelamatkannya, tidaklah Dia mengujinya, kecuali untuk membersihkannya, dan tidaklah Dia mematikannya, kecuali untuk menghidupkannya” (Lihat kitab Fawa`idul Fawaid, hal: 82, Ibnul Qoyyim).

Meyakini bahwa: “Di Surga, berharaplah semau Anda, semua akan tersedia!

Allah Ta’ala berfirman,

لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ

Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya” (QS. Qaaf : 35).

Ya, penduduk Surga mendapatkan fasilitas dari Rabb-Nya, berupa “Berharaplah semau Anda, semua akan tersedia”. Oleh karena itu, bagi Anda yang harus meninggalkan hobi Anda karena menyibukkan diri dengan ta’lim, beramal dan berdakwah, janganlah bersedih karena Anda bisa mendapatkan apa yang terluput di dunia, kelak di Surga.

Simaklah dialog singkat berikut ini:

عن سليمان بن بريدة عن أبيه أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله هل في الجنة من خيل ؟ قال : إنِ اللهُ أدخلك الجنة فلا تشاء أن تحمل فيها على فرس من ياقوتة حمراء يطير بك في الجنة حيث شئت ، قال : وسأله رجل فقال يا رسول الله هل في الجنة من إبل ؟ قال : فلم يقل له مثل ما قال لصاحبه ، قال : إن يدخلك الله الجنة يكن لك فيها ما اشتهت نفسك ولذت عينك .

Dari Sulaiman bin Buraidah, dari bapaknya, bahwa ada seseorang bertanya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi sallam, ia berkata, “Ya  Rasulullah, apakah di surga ada kuda? Beliau menjawab, ‘Jika Allah memasukkan Anda ke dalam surga, maka tidaklah Anda menginginkan bisa menaiki kuda dari batu mulia berwarna merah,yang terbang membawamu kemana saja sesesuka Anda di Surga’ (kecuali keingian tersebut akan terlaksana)”. Ia (perawi) berkata, “Ada seseorang bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah di Surga ada unta?’”, Ia (perawi) berkata, “Beliau tidak menjawab kepadanya dengan jawaban seperti yang ditujukan kepada temannya (tadi)” , beliau menjawab:  “Jika Allah memasukkan Anda ke dalam Surga, maka Anda akan mendapatkan apa saja yang disukai jiwa Anda dan yang sedap dipandangan mata Anda”. (HR. At-Tirmidzi (2543) dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi 3/522. [1])

ففي (صحيح البخاري) عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي – صلى الله عليه وسلم – كان يتحدث – وعنده رجل من أهل البادية -: ((إن رجلاً من أهل الجنة استأذن ربه في الزرع، فقال له: ألست فيما شئت؟. قال: بلى، ولكن أحب الزرع، فبذر، فبادر الطرف نباته. واستواؤه، واستحصاده، فكان أمثال الجبال))

Dalam Shahihul Bukhari, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, bahwa suatu saat Nabi shlallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkisah -sedangkan bersama beliau ada seorang badui-, “Ada seorang penduduk surga memohon izin kepada Tuhannya untuk bercocok tanam, lalu Allah berfirman, “Bukankah engkau sudah mendapatkan semua yang enkau inginkan?” Ia menjawab, “Benar, akan tetapi saya hobi bercocok tanam”. Maka ia pun menabur benih, lalu tumbuh, matang dan siap panennya tanaman tersebut berlangsung dengan cepat, sampai jadilah bergunung-gunung”. [2]

Nah, jika Anda memang mencintai Allah, Anda harus berani menentukan pilihan. Benar karena cinta, Anda harus memilih!

Catatan Kaki

[1] Islamqa.info/ar/14404

[2] http://www.dorar.net/enc/aqadia/2848

Article : Blog Al-Islam


Back to Top

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Karena Cinta, Aku Harus Memilih (1)

Written By sumatrars on Selasa, 31 Maret 2015 | Maret 31, 2015

Category : Tazkiyatun Nufus
Source article: Muslim.Or.Id

13 January 2015,

Tidak sedikit di antara ikhwan dan akhwat, sebelum mereka menyandang status ‘ikhwan‘ dan ‘akhwat‘, sebelum akrab dengan panggilan ‘akhi‘ dan ‘ukhti‘, mereka memiliki masa lalu yang kelam.

Sebatas ilustrasi

Barangkali diantara mereka, ada yang dulunya suka pacaran dan gonta-ganti cowok ataupun cewek. Ada yang dulunya pegawai bank ribawi. Ada yang mantan preman, ada juga mantan gitaris, tentu akrab sekali dengan si gitar kesayangannya. Banyak yang dulunya suka pamer aurat atau karyawati dengan dandanan yang seronok. Belum lagi yang dulunya maniak nonton sinetron seronok dan tayangan pornoaksi. Bahkan tidak sedikit pula di antara mereka yang berasal dari keluarga yang berada, yang seolah-olah identik dengan serba ada, mau apa aku bisa, sehingga dulunya ada yang sudah terbiasa dengan kemaksiatannya orang kaya.

Walaupun di antara mereka banyak juga yang berstatus hidup pas-pasan, seolah-olah hidupnya bermoto pas butuh, pas ada, Padahal ada diantara mereka yang sesunguhnya keadaannya pas butuh pas ada (utangan riba), kredit riba ini dan utang bank riba itu, karono kahanan (karena keadaan), begitu alasannya. Padahal sesungguhnya, pola hidup konsumtiflah yang menjadi biang keladinya. Barangkali seputar itulah gambaran kelamnya, namanya juga belum ngaji.

Lalu Allah pun memberi hidayah!

Dengan berbagai jalan hidayah yang unik, akhirnya mereka memasuki pintu-pintu hidayah masing-masing. Mulailah mereka kenal dengan aktivitas baru, berupa ngaji salaf. Seiring dengan bertambahnya ilmu dan amal, mulailah banyak muncul dalam hati mereka pergolakan antara haq dan batil antara taat dan maksiat.

Perlahan tapi pasti hidayah itu menghujam dalam hati

Ketika cinta kepada Allah telah merasuk dalam hati, lalu membuahkan halawatul iman (kemanisan iman), maka Allahlah segalanya bagi hati tersebut.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman (Ketika) Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya. Jika ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke Neraka” (Hadis Riwayat Bukhari, Kitab Iman, Bab Manisnya Iman).

Itulah pokok keimanan, yaitu ketika Allah adalah segalanya baginya dengan menomorsatukan cinta Allah dan mengalahkan seluruh bentuk kecintaan lainnya yang bertentangan dengannya.Karena cinta Allahlah, kita harus memilih kebenaran dan meninggalkan kebatilan. Hanya demi Allahlah seorang mukmin rela meninggalkan seluruh catatan kelamnya, walaupun berat dirasa.

Cinta kepada Allah adalah sebuah kewajiban, yang wajib kita dahulukan di atas semua jenis cinta.

Ulama telah menjelaskan bahwa Hubbullah (cinta Allah) adalah pokok dari seluruh kecintaan yang baik, Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,

وكل ما سواه مما يحب فإنما محبته تبع لمحبة الرب تبارك وتعالى كمحبة ملائكته أنبيائه وأوليائه، فإنها تبع لمحبته سبحانه، وهي من لوازم محبته، فإن محبة المحبوب توجب محبة ما يحبه

Segala sesuatu yang dicintai selain-Nya, sesungguhnya kecintaan kepadanya mengikuti kecintaan kepada Ar-Rabb Tabaraka wa Ta’ala, seperti kecintaan kepada Malaikat, Nabi-Nabi, dan para wali-Nya, maka sebenarnya kecintaan-kecintaan itu mengikuti kecintaan kepada-Nya Subhanahu.

Kecintaan-kecintaan itu sekaligus sebagai konsekuensi kecintaan kepada-Nya karena mencintai sesuatu (Dzat) itu mengharuskan mencintai perkara yang dicintai oleh sesuatu (Dzat) tersebut”(Ad-Daa`wad Dawaa`: 276).

Maksudnya, bahwa dalam kehidupan seorang muslim, dasar aktivitasnya adalah Hubbullah (mencintai Allah), sedangkan mencintai Allah berkonsekuensi mencintai segala yang dicintai oleh-Nya dan membenci segala yang dibenci oleh-Nya.

Sebagaimana perkataan Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,

فحقيقة المحبة لا يتم إلا بموالاة المحبوب، و هو موافقته في حبه ما يحب و يبغض ما يبغض. و الله يحب الإيمان و التقوى و يبغض الفسوق و العصيان

Hakikat cinta tidaklah sempurna kecuali dengan loyal kepada yang dicintainya, yaitu menyesuaikan diri, dengan mencintai setiap perkara yang dicintai olehnya dan membenci setiap perkara yang dibenci olehnya” (Al-‘Ubudiyyah, Ibnu Taimiyyah :28).

Itulah hakikat cinta Allah. Kecintaan kepada Allah yang seperti inilah yang sesuai dengan fitrah manusia yang lurus dan sesuai dengan tujuan diciptakannya hati manusia,

و القلب خلق يحب الحق و يريده و يطلبه

Hati diciptakan untuk mencintai Allah,menginginkan (berjumpa dengan)-Nya dan berusaha mendapatkan (keridhaan)-Nya” (Al-‘Ubudiyyah, Ibnu Taimiyyah:26).

Kiat mudah meninggalkan masa lalu yang hitam

Berikut trik mudah untuk bisa meninggalkan catatan kelam dan kemaksiatan yang sudah terbiasa dilakukan

  1. Mencintai sesuatu yang paling menyenangkan hati, dengan demikian akan bisa terkalahkan seluruh kecintaan yang lain yang bertentangan dengannya. Dan tidak ada yang lebih menyenangkan hati daripada mencintai Allah.

  2. Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

    والإنسان لا يَترُك محبوبًا إلا بمحبوبٍ آخَرَ يكون أحبَّ إليه منه، أو خوفًا مِن مكروه

    Seseorang tidaklah meninggalkan sesuatu yang dicintai kecuali beralih kepada sesuatu lain yang lebih ia cintai darinya atau karena takut tertimpa sesuatu yang dibencinya” (Al-‘Ubudiyyah, 26).

    Dengan demikian, harusnya seorang hamba lebih mencintai hidup dalam ketaatan kepada Allah daripada kesukaan buruk dan hobi maksiatnya karena sudah ada penggantinya berupa sesuatu yang lebih menyenangkan hatinya bahkan paling menyenangkan, sehingga sukarela ia tinggalkan hobi dan kesukaan buruknya tersebut.

  3. Dengan menyadari bahwa setiap cinta itu butuh pengorbanan.

  4. Jangankan cinta yang benar, cinta yang batil, maksiat ataupun cinta yang sia-sia pun butuh pengorbanan untuk mendapatkannya.Tidakkah Anda lihat para penggemar musik seronok, untuk mendatangi konser musik besar rela berkorban uang biaya transport dan penginapan jika mereka datang dari luar kota. Mereka mengorbankan waktu berjam-jam antri tiket dengan antrian yang mengular itu. Mengorbankan badan dan bahkan nyawa ketika harus terjadi tawuran antar penonton. Bahkan ia rela meninggalkan shalat ‘ashar, maghrib dan isya’ demi mengikuti acara tersebut.Tidakkah Anda lihat para pecinta demonstrasi produk demokrasi kuffar tersebut, ketika demo, mereka rela berkorban puluhan juta dan merasakan nyerinya pentungan polisi serta dinginnya sel penjara. Mereka rela pula tidak makan berhari-hari di bawah bendera aksi mogok makan? Benarlah apa yang dijelaskan Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,

    و معلوم أن المحبوبات لا تنال غالبا إلا باحتمال المكروهات، سواء كانت محبة صالحة أو فاسدة

    Adalah perkara yang dimaklumi bahwa biasanya tidaklah diperoleh perkara yang dicintai itu kecuali dengan pengorbanan yang tidak disukai (oleh hawa nafsunya), hal ini berlaku, baik dalam kecintaan yang baik maupun dalam kecintaan yang buruk” (Al-‘Ubudiyyah, Ibnu Taimiyyah :29).

    Lha yen podo-podo korbane, kalau sama-sama berkorbannya, mengapa mereka tidak berkorban untuk mencintai Allah dan beribadah kepada-Nya? Mengapa tidak memilih berkorban untuk masuk Surga?

  5. Merenungkan kaidah Qur’ani : Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah niscaya Allah menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik darinya.

  6. Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah dalam Al-Qowa’idul Hisan-nya berkata,

    من ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه

    Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik darinya”. Lalu beliau menjelaskan lebih lanjut, “Kaidah ini terdapat dalam banyak Ayat Al-Quran.

  • Kaum Muhajirin yang pertama-tama hijrah meninggalkan negri, harta, dan orang-orang yang dicintainya,lalu Allah menggantinya dengan rezeki yang luas, kemuliaan dan kekuasaan.

  • Nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memisahkan diri dari kaum dan bapaknya, serta menjauh dari sesembahan yang mereka sembah, Allah pun menganugerahkan kepadanya Nabi Ishaq dan Nabi Ya’qub serta keturunan-keturunan yang shalih.

  • Nabi Yusuf ‘alaihis salam ketika mampu menahan diri dari berbuat jelek terhadap Istri raja, padahal godaannya sangat kuat, beliau pun rela tinggal di penjara, demi menjauhkan diri dari kerusakan dan fitnah, maka Allah pun menggantinya dengan kekuasaan yang besar di muka bumi, dengan fasilitas harta, kekuasaan dan wanita untuk beliau.

  • Ashhabul Kahfi, ketika meninggalkan kaum mereka dan sesembahan kaum mereka, Allah berkenan menggantinya dengan limpahan rahmatnya dan kelapangan serta Allah jadikan mereka sebagai sebab hidayah bagi orang-orang yang sesat.

  • Maryam putri ‘Imran, tatkala mampu menjaga kehormatannya, maka Allah jadikan beliau dan putranya sebagai tanda kebesaran Allah Ta’ala.

  • Nabi Sulaiman ‘alaihis salam ketika mengorbankan kuda karena sempat melalaikan beliau dari dzikrullah, Allah ganti dengan angin yang patuh terhadap perintahnya dan nikmat yang lainnya. (Syarh Al-Qowa’idul Hisan : 206, dengan sedikit perubahan).

Sekarang giliran Anda bergumam dalam hati

Tidaklah aku tinggalkan catatan kelamku, tidaklah aku keluar dari dunia hitamku dengan Lillah Ta’ala melainkan Allah akan menganugerahkan kepadaku limpahan rahmat-Nya yang mengalahkannya. Demikianlah Allah, Rabb kita, wahai Ikhwan dan Akhwat! Tidaklah seorang hamba meninggalkan dengan ikhlas sesuatu yang dimurkai oleh Allah, kecuali ia akan mendapatkan sesuatu yang dicintai-Nya.

Dan tidaklah Dia Subhanahu wa Ta’ala mencegah hamba-Nya yang beriman dari mendapatkan dunia kecuali akan memberinya sesuatu yang lebih utama dan lebih bermanfaat, di dunia maupun di akhirat. Jika Antum dan Antunna ingin lebih mengenal betapa bijaksananya Allah ‘Azza wa Jalla dalam mentaqdirkan keadaan kita semua maka ikuti kelanjutan artikel ini berikut Karena cinta, aku harus memilih (bag.2), insyaAllah di sana Anda akan dapatkan hikmah Allah dalam penakdiran keadaan setiap mukmin dan bagaimana balasan di surga bagi orang yang rela meninggalkan sesuatu yang terlarang semasa di dunia.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Perbedaan Antara Menyebutkan Nikmat Allah Dengan Ujub



Category : Akhlaq dan Nasehat
Source article: Muslim.Or.Id

Dalam artikel yang berjudul Sudahkah Anda Melakukan Tahadduts Bin Ni’mah? telah disebutkan bahwa menyebutkan nikmat Allah merupakan perintah Allah dan salah satu bentuk bersyukur kepada Allah Ta’ala. Dan sudah dijelaskan pula bahwa nikmat yang diperintahkan untuk disebutkan meliputi nikmat dunia maupun agama. Dengan demikian amal sholih termasuk salah satu kenikmatan yang diperintahkan untuk disebutkan juga, bahkan hakikatnya kenikmatan agama lebih besar daripada kenikmatan dunia.

Berarti jika ada seorang muslim menyebutkan amal shalihnya kepada saudaranya, apakah ini dinilai sebagai perbuatan riya’ (memamerkan amal shaleh) atau ‘ujub (membanggakan amal shalih)? Berikut keterangan para ulama rahimahumullah:

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan antara menyebutkan nikmat Allah (tahadduts bin ni’mah) dengan ujub (merasa bangga dengan nikmat) adalah orang yang menyebutkan suatu nikmat, berarti telah mengabarkan tentang sifat Dzat yang menganugerahkan nikmat tersebut, kedermawanan, dan perbuatan baik-Nya. Maka ia hakikatnya memuji Allah dengan menampakkan dan menyebutkan nikmat tersebut, bersyukur kepada-Nya dan menyebarkan kabar tentang seluruh anugerah-Nya. Jadi, maksudnya adalah menampakkan sifat-sifat Allah, memuji, menyanjung-Nya (atas limpahan nikmat tersebut), mendorong diri untuk mencari nikmat itu dari-Nya,bukan dari selain-Nya, mendorong diri untuk mencintai dan mengharap-Nya, sehingga dengan demikian ia menjadi sosok hamba yang mengharap lagi tunduk mendekatkan diri kepada Allah dengan menampakkan, menyebarkan kabar tentang nikmat-Nya itu dan membicarakannya. Adapun membanggakan nikmat adalah menyombongkan diri di hadapan manusia, menampakkan kepada mereka bahwa ia lebih mulia dan lebih besar keutamaannya dari mereka, ia hendak menunggangi tengkuk (baca merendahkan) dan memperbudak hati mereka, serta memaksa mereka untuk menghormati dan melayaninya” (Kitab Ar-Ruh, Ibnul Qoyyim, hal. 312).

Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Orang yang menyebutkan keta’atan (amal shaleh) dirinya,tidak terlepas dari dua keadaan :

  1. Pendorongnya adalah ingin menyatakan dirinya suci dan menghitung-hitung amalnya di hadapan Rabbnya. Hal ini adalah perkara yang berbahaya, terkadang bisa merusak amalnya dan menggugurkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang hamba-Nya dari menyatakan diri bersih (suci), Dia berfirman

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ

Maka janganlah kalian mengatakan diri kalian suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa” (QS. An-Najm:32).

  • Kedua, pendorongnya adalah ingin menyebutkan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala (tahadduts bin ni’mah), dan ia maksudkan hal itu sebagai wasilah agar dicontoh oleh orang-orang yang semisalnya. Ini merupakan tujuan yang terpuji karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

  • وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

    Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu sebutkan” (QS. Adh-Dhuha: 11).

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة

    Barangsiapa di dalam agama Islam memberi contoh  amal shalih (maksudnya yang pertama dalam mengamalkan suatu amal shalih dan manusia mencontohnya), maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari Kiamat” (Nur ‘alad Darb: 30/12).

    Kesimpulan

    Jika seorang hamba menyebutkan nikmat Allah (termasuk di dalamnya nikmat amal sholeh) sesuai dengan yang disyari’atkan,lalu manusia memujinya sehingga ia terkesan/senang dengan pujian tersebut,namun dalam hatinya tidak ada keinginan riya`(memperlihatkan ibadah agar dipuji manusia) dan sum’ah (memperdengarkan suara dalam beribadah agar dipuji manusia),maka itu termasuk kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.

    Dan yang dinamakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin bentuknya adalah seorang mukmin melakukan amal shalih dengan mengharap pahala Allah (ikhlas) lalu Allah jadikan manusia mengetahui, menyenangi dan memujinya, tanpa ada niat sengaja memamerkan amal shalihnya dan tanpa ada niat sengaja mencari pujian manusia, lalu ia senang dan terkesan dengan pujian itu.

    Dari Abi Dzar -radhiallahu ‘anhu- berkata,

    ‏ ‏‏قيل‏:‏ يا رسول الله، أرأيت الرجل يعمل العمل من الخير، ويحمَده – أو يحبه – الناس عليه‏؟‏ قال‏:‏ تلك عاجل بشرى المؤمن‏)‏ رواه مسلم‏.‏

    Ada yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan Anda seseorang yang beramal dengan suatu amal kebaikan, lalu manusia memujinya atau mencintainya? Beliau bersabda (Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin)” Diriwayatkan oleh Imam Muslim.

    Catatan :

    Perlu diketahui, bahwa orang yang menyebutkan nikmat Allah (tahadduts bin ni’mah) dengan tanpa ada niat riya` dan sum’ah, maka bukanlah termasuk kedalam kategori “sikap sengaja menampakkan jenis yang tercela”, bahkan hal itu termasuk “sikap menampakkan jenis yang terpuji”, asal sesuai dengan yang disyariatkan.

    Wallahu A’lam.

    (Diolah dari: islamqa.info/ar/137984 dan islamqa.info/ar/148158 )

    Article : Blog Al-Islam


    Back to Top

    ?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

    Hukum Minum Dengan Sekali Nafas

    Category : Fiqih dan Muamalah
    Source article: Muslim.Or.Id

    Terdapat hadits shahih yang masyhur dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau minum dengan 3 kali nafas. Yaitu beliau menghabiskan minuman tidak sekaligus, namun perlahan dengan 3 kali mengeluarkan nafas. Maka timbul pertanyaan dan ini pun dibahas para ulama dalam kitab-kitab fiqih, yaitu apakah boleh minum dengan sekali nafas, atau sekali teguk? Simak bahasan singkat berikut.

    Anjuran minum perlahan dengan 3 kali nafas

    Anas bin Malik radhiallahu’anhu menceritakan,

    كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يتنفَّسُ في الشرابِ ثلاثًا ، ويقول : ( إنه أَروى وأبرأُ وأَمرأُ )

    biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bernafas tiga kali ketika minum. Dan beliau bersabda: ‘Sesungguhnya dengan begini haus lebih hilang, lebih lepas dan lebih enak‘” (HR. Al Bukhari 5631, Muslim 2028, dan ini adalah lafadz Muslim).

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “ini adalah dalil dianjurkannya bernafas 3 kali ketika minum” (Majmu’ Al Fatawa, 32/208). Maka jelaslah bahwa hal ini hukumnya sunnah, tidak sampai wajib. Karena hukum asal dari perbuatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah sunnah.

    Namun perlu dicatat, bahwa bernafas yang dimaksud di sini bukanlah bernafas atau mengeluarkan nafas di dalam gelas atau tempat minum. Namun yang dimaksud adalah di luar gelas. Karena dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

    إذا شَرِبَ أحدُكم فلا يَتَنَفَّسُ في الإناءِ

    jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah bernafas di dalam bejana (tempat minum)” (HR. Al Bukhari 153, Muslim 267).

    Jadi caranya: meneguk air, lalu berhenti dan keluarkan nafas di luar gelas, lalu teguk lagi, lalu berhenti dan keluarkan nafas di luar gelas, lalu teguk lagi, lalu berhenti dan keluarkan nafas di luar gelas, selesai.

    Hukum minum dengan satu nafas

    Lalu bagaimana dengan minum satu kali nafas atau sekali teguk? Terdapat hadits dari sahabat Abu Sa’id Al Khudry radhiallahu’anhu, ia berkata:

    ان النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن النفخ في الشراب، فقال رجل ‏:‏ القذاة أراها في الإناء‏؟‏ فقاله‏:‏ ‏”‏أهرقها‏”‏ قال‏:‏ إني لا أروى من نفس واحد‏؟‏ قال‏:‏ ‏”‏فأبن القدح إذاً عن فيك‏”‏

    Bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang bernafas di dalam tempat minum. Maka ada seorang yang bertanya: “(Wahai Rasulullah,) terkadang (kalau saya minum) ada gelembung udara yang keluar di bejana (tempat minum)”. Rasulullah bersabda: “keluarkan itu!”. Lalu lelaki tadi berkata: “(Wahai Rasulullah,) haus saya tidak hilang dengan sekali teguk saja”. Rasulullah bersabda: “kalau begitu minumlah beberapa teguk lalu ambil nafas!” (HR. At Tirmidzi 764, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 385).

    Hadits ini menunjukkan bolehnya minum dengan cara menenggak beberapa teguk lalu baru bernafas, atau beberapa tenggak sampai habis, baru bernafas. Syaikh Al Albani rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini beliau mengatakan: “ini menunjukkan bolehnya minum dengan sekali nafas. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mengingkari seorang lelaki yang mengatakan: ‘haus saya tidak hilang dengan sekali teguk saja’. Andai minum dengan sekali nafas itu terlarang, maka ketika itu Rasulullah akan menjelaskan larangannya. Beliau akan berkata semisal: ‘Memangnya boleh minum dengan sekali nafas?'”.

    Di tempat lain, Syaikh Al Albani juga menukil perkataan Ibnu Hajar Al Asqalani: “Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath: Imam Malik membolehkannya minum dengan sekali nafas berdalil dengan hadits ini. Bolehnya hal ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah dari Sa’id bin Musayyab dan sekelompok tabi’in lainnya. Lalu Umar bin Abdul Aziz juga mengatakan: yang dilarang adalah bernafas di dalam bejana, adapun orang yang tidak bernafas di dalam bejana boleh saja minum dengan sekali nafas jika ia mau” (Silsilah Ash Shahihah, 1/670-671, dinukil dari Ikhtiyarat Imam Al Albani 478).

    ِAdapun hadits yang menganjurkan minum dengan sekali nafas, haditsnya tidak shahih.

    إِذا شَرِبَ أَحَدُكُم فَليَشرَب فِي نَفَسٍ واحِدٍ

    jika salah seorang dari kalian minum maka minumlah dengan sekali nafas

    Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan: “hadits ini tidak shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena Yahya bin Said tidak meriwayatkan dari Aban bin Yazid dan aku khawatir lafadznya maqlub, seharusnya ‘janganlah minum‘ namun disebutkan ‘minumlah‘” (Al ‘Ilal Al Mutanahiah, 2/669).

    Minum dengan bernafas lebih dari tiga kali

    Minum dengan lebih dari tiga kali nafas tentu saja kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah. Terlebih lagi dalam hadits larangan bernafas di dalam bejana disebutkan:

    إذا شربَ أحدُكم، فلا يتنفَّسْ في الإناءِ، فإذا أرادَ أن يعودَ، فلينحِّ الإناءَ، ثمَّ ليَعُد إن كانَ يريدُ

    jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah bernafas di dalam bejana (tempat minum). Jika ia ingin mengulang (tegukan) maka singkirkan dahulu bejana (dari mulut untuk bernafas), kemudian teguk lagi jika ingin” (HR. Ibnu Majah 2784, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

    Menunjukkan tidak ada batasan jumlah tegukan atau nafas ketika minum. Tentu saja selama tidak sampai israf (berlebih-lebihan) dalam minum. Wallahu a’lam.

    Demikian, semoga bahasan ringkas ini bermanfaat.

    Article : Blog Al-Islam


    Back to Top

    ?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

    Syarah Dzikir Sebelum Tidur (5)

    Written By sumatrars on Minggu, 22 Maret 2015 | Maret 22, 2015

    Related categories : Syarah,sirah,Dzikir,

    Transcribed on: 22 Maret 2015

    Ingat Allah, Rasulullah dan Waliyullah

    Bismillah Walhamdulillah

    Semoga Allah SWT Senantiasa memberi perlindungan dan pertolongan kepada kita semua.

    اَللَّهُمَّ إِنَّكَ خَلَقْتَ نَفْسِيْ وَأَنْتَ تَوَفَّاهَا، لَكَ مَمَاتُهَا وَمَحْيَاهَا، إِنْ أَحْيَيْتَهَا فَاحْفَظْهَا، وَإِنْ أَمَتَّهَا فَاغْفِرْ لَهَا. اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ

    Ya Allah, sesungguhnya Engkau menciptakan diriku, dan Engkaulah yang akan mematikannya. Mati dan hidupnya hanya milik-Mu. Apabila Engkau menghidupkannya, maka peliharalah ia. Apabila Engkau mematikannya, maka ampunilah ia. Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu keselamatan.”[1]

    Shahabat yang meriwayatkan hadits ini adalah Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma.

    Ungkapan نَفْسِيْ ‘jiwaku’, dengan kata lain, ruhku.

    Ungkapan لَكَ مَمَاتُهَا وَمَحْيَاهَا ‘mati dan hidupnya hanya milik-Mu’, dengan kata lain, di tangan-Mu kekuasaan mematikan dan menghidupkannya. Tak seorang pun selain Engkau mampu untuk itu. Engkau Yang menghidupkan dan Engkau Yang mematikan. Dan Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.

    Ungkapan إِنْ أَحْيَيْتَهَا ‘apabila Engkau menghidupkannya’, dengan kata lain, jika Engkau biarkan dia tetap hidup; فَاحْفَظْهَا ‘maka peliharalah’ dari segala sesuatu yang membahayakannya dan menjadikannya kasar.

    Ungkapan وَإِنْ أَمَتَّهَا ‘apabila Engkau mematikannya’, dengan kata lain, jika Engkau pisahkan dia dari badanku. Karena mematikan ruh adalah ungkapan yang menunjukkan perpisahannya dengan badan.

    Ungkapan أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ ‘aku mohon kepada-Mu keselamatan’. الْعَافِيَةَ adalah penjagaan Allah terhadap seorang hamba dari berbagai macam penyakit dan musibah.

    Disalin dari Syarh Do’a dan Dzikir Hishnul Muslim oleh Madji bin Abdul Wahhab Ahmad dengan Korektor Syaikh Dr. Sa’id bin Ali Wahf Al-Qahthani, terbitan Darul Falah Jakarta, Hal. 296-297.

    [1] Ditakhrij Muslim, (4/2083), no. 2712; dan Ahmad dengan lafazh darinya (2/79).

    Akhiri dengan bacaan Alhamdulillah.

    Insya Allah, Postingan ini dapat mengentarkan Kejalan Kebenaran, Amin.

    Sources of articles by :  and authors by :  Doandzikir.wordpress.Com

    Rewritten by : Rachmat Machmud  end Republished by : Redaction Duta Asri Palem 3

    Kembali Keatas

    |
    07:31:10 PM
    ?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

    Syarah Dzikir Sebelum Tidur (4)

    Doa/Dzikir Sebelum Tidur (4)


    19/03/2015

    بِاسْمِكَ رَبِّيْ وَضَعْتُ جَنْبِيْ، وَبِكَ أَرْفَعُهُ، فَإِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِيْ فَارْحَمْهَا، وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ

    Dengan menyebut nama-Mu, wahai Tuhanku aku merebahkan tubuhku, dengan menyebut nama-Mu aku angkat tubuhku. Jika Engkau hendak menahan jiwaku (mencabut nyawaku), maka kasihanilah; dan jika Engkau biarkan (hidup), maka jagalah sebagaimana Engkau menjaga hamba-hamba-Mu yang shalih.”[1]

    Shahabat yang meriwayatkan hadits ini adalah Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu.

    Disebutkan di bagian awal hadits:

    إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ عَنْ فِرَاشِهِ ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ فَلْيَنْفُضْهُ بِصَنِفَةِ إِزَارِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ بَعْدُ فَإِذَا اضْطَجَعَ فَلْيَقُلْ…

    Jika salah seorang dari kalian bangun dari kasurnya, lalu hendak kembali lagi kepadanya, hendaknya dia mengibasnya dengan ujung kain sarungnya tiga kali, karena sesungguhnya dia tidak mengetahui apa yang menggantikannya sepeninggalnya. Sedangkan jika berbaring hendaknya mengucapkan…

    Ungkapan بِصَنِفَةِ إِزَارِهِ ‘dengan ujung kain sarungnya’, صَنْفَة adalah bagian ujung kain sarung, yaitu setelah ikatan di bagian pinggang. Dikatakan pinggirannya, dengan kata lain, bagian tepinya mana pun. Sedangkan yang dimaksud di sini pokoknya adalah bagian ujung. Sedangkan dalam riwayat yang di dalamnya disebutkan: بِدَا خِلَةِ إِزَارِهِ ‘dengan bagian dalam kain sarungnya’, maka dikatakan, “Beliau tidak memerintahkan kepadanya dengan menggunakan bagian dalam kain sarung melainkan dengan bagian luarnya.” Karena yang demikian lebih jelas dan lebih bagus. Karena orang yang bersarung dia mengambil salah satu ujungnya di bagian kanannya. Sedangkan bagian yang lain di bagian kirinya. Lalu dia mengembalikan yang dipegang dengan tangan kirinya ke badannya. Itulah yang disebut dengan ‘bagian dalam kain sarung’. Sedangkan bagian yang dipegang dengan tangan kanannya dikembalikan pada kain sarung yang langsung bersentuhan dengan badannya. Lalu jika seseorang menuju kasurnya, lalu dia mengendurkan sarungnya, maka dia akan mengendurkan dengan menggunakan tangan kanannya atas bagian luar kain sarungnya sehingga tetaplah bagian dalam yang menggantung. Dengan bagian itulah dia kibaskan.

    Ungkapan مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ ‘apa yang menggantikannya’, dengan kata lain, apa yang datang kepadanya sepeninggalnya. Yakni, kiranya binatang berbisa mendekat sehingga menjadi berada di atasnya setelah dirinya.

    Ungkapan فَإِنْ أَمْسَكْتَ ‘jika Engkau tahan jiwaku’, dengan kata lain, ruhku. Sedangkan yang dimaksud dengan jiwa di sini adalah ruh karena adanya keterangan atas kata itu. Yakni jika Engkau menahannya di sisi-Mu dengan mematikannya, maka kasihilah dia. Sedangkan jika Engkau melepaskannya kembali ke badanku lagi, maka jagalah dia dari kejahatan syetan dan berbagai kerusakan yang ditimbulkan dunia dengan apa-apa yang dengannya Engkau jaga para hamba-Mu yang shalih.[]

    Disalin dari Syarh Do’a dan Dzikir Hishnul Muslim oleh Madji bin Abdul Wahhab Ahmad dengan Korektor Syaikh Dr. Sa’id bin Ali Wahf Al-Qahthani, terbitan Darul Falah Jakarta, Hal. 294-296.

    [1] Al-Bukhari, (11/126), no. 6320; dan Muslim, (4/2084), no. 2714.

    Sumber Artikel; Doandzikir.wordpress.com

    ?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

    Hadits Palsu: Larangan Melihat Kemaluan Istri

    Hadits Palsu Larangan Melihat Kemaluan Istri
    Hadits, Farji 

    Posted on 20/03/2015 by Ibnu Majjah

    Nama eBook: Hadits Palsu Tentang Larangan Melihat Kemaluan Suami/Istri

    Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA حفظه الله

    الحمد لله رب العالمين، والعاقبة للمتقين، والصلاة والسلام على إمام المرسلين، نبينامحمد، وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد

    Allah Tabaroka wa ta’ala telah menghalalkan hubungan suami istri, hanya saja sebagian manusia melarang melihat kemaluan pasangannya dengan dalil:

    رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: إِذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ زَوْجَتَهُ أَوْ جَارِيَتَهُ فَلاَ يَنْظُرُ إِلَى فَرْجِهَا فَإِنَّ ذَلِكَ يُوْرِثُ الْعَمَى

    Diriwayatkan dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم bahwa beliau bersabda: “Jika salah seorang darimu (suami) mengumpuli istri atau budaknya, maka janganlah dia melihat kemaluannya, karena hal itu akan menyebabkan kebutaan

    Bacalah eBook ini yang akan menjelaskan riwayat ini dari segi keabsahan hadits dan fikih haditsnya.

    Download :

    Download Ms Word

    Disalin dari Sumber Artikel;
    Penulis Salinan; H.Rachmat.Flimban
    ?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

    Mengkompromikan Dua Dalil Lebih Utama

    Kaidah Fikih, Dalil, Fikih, Kaidah, Menyikapi, Pertentangan.

    18/03/2015 by Ibnu Majjah

    Alhamdulillah, kita memuji dan bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada kita, selanjutnya shalawat dan salam teruntuk Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat, Amma ba’du:

    Kaedah Fikih yang kita posting pada kesempatan yang mulia ini adalah:

    إِعْمَالُ الدَّلِيْلَيْنِ أَوْلَى مِنْ إِهْمَالِ أَحَدِهِمَا مَا أَمْكَنَ

    Mengamalkan dua dalil sekaligus lebih utama daripada meninggalkan salah satunyaselamamasihmemungkinkan

    Kaidah ini menjelaskan patokan yangharus dipegang ketika kita menemui dua dalil yang nampaknya berseberangan atau bertentangan. Maka sikap kita adalah menjamak dan menggabungkan dua dalil tersebut selama masih memungkinkan. Karena keberadaan dalil-dalil itu untuk diamalkan dan tidak boleh ditinggalkan kecuali berdasarkan dalil yang Lain. Jadi hukum asalnya adalah tetap mengamalkan dalil tersebut.

    Apabila ada dua dalil yang nampaknya berseberangan maka ada tiga alternatif dalam menyikapinya.

    Pertama. Kita menjamakkan dan mengkompromikan keduanya dengan mengkhusukan yang umum atau memberikan taqyid kepada yang mutlaq. Ini dilakukan apabila memang hal itu memungkinkan. Jika tidak memungkinmaka berpindah ke alternatif kedua, yaitu dengan an-naskh. Alternatif ini dilakukan dengan mencari dalil yang datangnya lebih akhirlalu kita jadikan sebagai nasikh (penghapus) kandungan dalil yang datang lebih awal, jika tidak memungkinkan juga, maka kita menempuh alternatif ketiga, yaitu kita mentarjih dengan memilih salah satu dari dua dalil tersebut mana yang lebih kuat.

    Silahkan simak eBook ini lebih lanjut dan temukan contoh penerapannya…

    ?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

    Manhaj, Madrasah Salafus Shalih

    Written By sumatrars on Sabtu, 24 Januari 2015 | Januari 24, 2015



    Category : Manhaj
    Source article: Muslim.Or.Id

    Berapa banyak wali murid yang sanggup membayar SPP yang tinggi, namun tak kunjung mendapatkan tingginya iman dan akhlak anak kesayangannya?

    Berapa banyak murid yang sekolah di gedung yang besar, namun kerdil jiwa lulusannya?

    Berapa banyak sekolah yang berfasilitas mewah semewah hotel, dengan ribuan murid, namun sayangnya semakin megah fisiknya, semakin banyak yang lemah iman, ilmu, dan, amalnya.

    Kasus demi kasus melanda, bukan hanya muridnya yang berkasus, namun juga sebagian gurunya pun berkasus! Dari sisi ilmu tidak bisa bersaing, dari sisi amal, akhlaq, dan ibadah memprihatinkan.

    Lihatlah Hakikat dan jangan tertipu dengan yang zahir!

    Hakikat suatu pendidikan bukan ditentukan berdasarkan banyaknya murid, bukan pula pada megahnya bangunan, dan fasilitas, akan tetapi ditentukan berdasarkan baiknya tujuan dan niat (ikhlas), serta sesuainya bentuk pendidikan itu dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan manhaj salaf (mutaba’ah). Na’am, sarana dan fasilitas fisik memiliki andil besar, namun sifatnya penunjang, bukan yang pertama dan utama.

    Memang benar kurikulum pelajaran yang zahir sangat penting. Namun kurikulum khafiy juga tidak bisa disepelekan, keikhlasan guru dan muridnya, semangat, contoh nyata pengamalan sunnah dari guru dan murid seniornya (kakak kelas), pergaulan murid-muridnya, dan lingkungan sekolahnya. Semua itulah hakikatnya. Mengajarkan dan menanamkan “sesuatu” kepada murid-murid tersebut bisa jadi lebih besar pengaruhnya daripada pemahaman, hafalan, pengerjaan soal ujian yang merupakan target kurikulum zahir.

    Alangkah indahnya ungkapan Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah:

    “فالعاقل ينظر إلى الحقائق لا إلى الظواهر”

    “Ciri khas orang yang berakal sehat adalah suka melihat hakekat dan tidak tertipu dengan perkara yang zahir”.

    Madrasah Salaf

    Lihatlah bagaimana madrasah Salafush Shalih yang walaupun terkadang sedikit muridnya, walaupun sederhana bangunannya, namun karena taufik dari Allah lalu keikhlasan dan mutaba’ah mereka (gigihnya memegang sunnah), tumbuhlah sebuah madrasah yang mubarakah, keluarlah darinya lulusan-lulusan insan-insan yang bertakwa.

    Salah satu Imam Ahlus Sunnah dari kalangan Tabi’ut Tabi’in, Imam Al-Auza’i rahimahullah mengisahkan tentang jumlah orang yang menghadiri majelis guru beliau, Imam Atha’ bin Abi Rabaah rahimahullah (beliau adalah salah seorang imam dari kalangan Tabi’in, murid Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, dan ‘Aisyah radiyallahu an hum. Imam Auza’i mengatakan tentang hal itu

    مات عطاء بن أبي رباح يوم مات , وهو أرضى أهل الأرض عند الناس , وما كان يشهد مجلسه إلا تسعة أو ثمانية. اهـ

    Pada hari meninggalnya Atha’ bin Abi Rabaah rahimahullah, beliau menjadi orang yang paling dicintai di muka bumi di zamannya, padahal dulu ketika hidupnya, pernah didapati “tidaklah ada orang yang menghadiri majelisnya kecuali hanya 9 atau 8 orang saja”.

    Orang yang paling dicintai di zamannya, seorang imam besar ternyata pernah didapati yang menghadiri majelisnya hanya sembilan atau delapan orang saja. Padahal dengan taufik Allah, muncullah nama-nama besar dari madrasah beliau yang sederhana itu, semisal Imam Abu Hanifah, Al-Auza’i, dan yang lainnya.

    Silsilatudz Dzahab

    Ada sebuah kisah yang menarik tentang Imam Nafi’ rahimahullah salah satu dari Imam-Imam Tabi’in dan salah seorang yang disebut-sebut ulama termasuk dari Silsilatudz Dzahab (Rangkaian sanad emas) dan dikatakan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah sebagai sanad yang paling shahih.

    قال البخاري رحمه الله : أصح الأسانيد كلها : مالك عن نافع عن ابن عمر

    Al-Bukhari rahimahullah berkata, “Sanad yang paling shahih adalah jika suatu riwayat diriwayatkan dari Malik, Nafi’, dan Ibnu ‘Umar”.

    Di antara kebiasaan beliau adalah menyediakan waktu mengajarkan Ilmu ba’da Shalat Subuh sampai terbit matahari, nah Imam Malik rahimahullah yang merupakan murid beliau berkata,

    وكان يجلس بعد الصبح في المسجد لا يكاد يأتيه أحد

    Pernah suatu saat beliau duduk di Masjid ba’da Shalat Shubuh, namun hampir-hampir tidak ada seorang pun yang mendatangi beliau”.

    Orang yang termasuk Silsilatudz Dzahab dan Ashahhul Asaniid ini pernah didapati hampir-hampir tidak ada seorangpun yang mendatangi beliau.

    Apakah karena sedikitnya orang yang menghadiri majelis beliau lalu hakikatnya tidak sukses sekolah yang beliau pimpin? Padahal sekolah tersebut, majelis beliau tersebut telah meluluskan alumnus-alumnus besar sekelas Imam Malik dan Imam Al-Hafidz Ayub As-Sikhtiyani.

    Cambuk bagi kita

    Semua itu sebagai cambuk bagi kita untuk terus mempelajari mengapa dan bagaimana pendidikan mereka bisa sukses dan berusaha keras untuk berbenah diri. Itulah hakikat bermanhaj salaf, senantiasa mencontoh bagaimana Salafus Shalih berilmu dan mengamalkan Islam.

    والله أعلم بالصواب.

    [Diolah dari ceramah Ustadzunal Fadhil Abdullah Taslim, Lc., MA. dengan penambahan]

    Oleh : Ust. Sa’id Abu Ukkasyah

    Disalin 10 Januari 2015

    Article : Blog Al-Islam


    Back to Top



    ?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

    Fiqih Shalat, Rajin Shalat Namun Masih Bermaksiat



    Category : Fiqih, Fiqih Shalat,
    Source article: Rumaysho.Com, Muhammad Abduh Tuasikal

    Kita tahu bahwa shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Sayangnya, ada yang rajin shalat, namun di luar itu ia masih berjudi. Kami pun mendapatkan cerita seperti itu. Apakah shalatnya yang bermasalah? Coba kita kaji bersama dengan melihat perkataan ulama-ulama salaf di masa silam.

    Allah Ta’ala berfirman,

    إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

    Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al ‘Ankabut: 45).

    Ibnu Mas’ud pernah ditanya mengenai seseorang yang biasa memperlama shalatnya. Maka kata beliau,

    إِنَّ الصَّلاَةَ لاَ تَنْفَعُ إِلاَّ مَنْ أَطَاعَهَا

    Shalat tidaklah bermanfaat kecuali jika shalat tersebut membuat seseorang menjadi taat.” (HR. Ahmad dalam Az Zuhd, hal. 159 dengan sanad shahih dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 13: 298 dengan sanad hasan dari jalur Syaqiq dari Ibnu Mas’ud).

    Al Hasan berkata,

    مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ تَنْهَهُ عَنِ الفَحْشَاءِ وَالمنْكَرِ، لَمْ يَزْدَدْ بِهَا مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا

    Barangsiapa yang melaksanakan shalat, lantas shalat tersebut tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia hanya akan semakin menjauh dari Allah.” (Dikeluarkan oleh Ath Thobari dengan sanad yang shahih dari jalur Sa’id bin Abi ‘Urubah dari Qotadah dari Al Hasan)

    Abul ‘Aliyah pernah berkata,

    إِنَّ الصَّلاَةَ فِيْهَا ثَلاَثُ خِصَالٍ فَكُلُّ صَلاَةٍ لاَ يَكُوْنُ فِيْهَا شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الخَلاَل فَلَيْسَتْ بِصَلاَةٍ: الإِخْلاَصُ، وَالْخَشْيَةُ، وَذِكْرُ اللهِ. فَالإِخْلاَصُ يَأْمُرُهُ بِاْلمعْرُوْفِ، وَالخَشْيَةُ تَنْهَاهُ عَنِ المنْكَرِ، وَذِكْرُ القُرْآنِ يَأْمُرُهُ وَيَنْهَاهُ.

    Dalam shalat ada tiga hal di mana jika tiga hal ini tidak ada maka tidak disebut shalat. Tiga hal tersebut adalah ikhlas, rasa takut dan dzikir pada Allah. Ikhlas itulah yang memerintahkan pada yang ma’ruf (kebaikan). Rasa takut itulah yang mencegah dari kemungkaran. Sedangkan dzikir melalui Al Qur’an yang memerintah dan melarang sesuatu.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 65).

    Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali hafizhohullah berkata, “Siapa yang merutinkan shalat dan mengerjakannya di waktunya, maka ia akan selamat dari kesesatan.” (Bahjatun Nazhirin, 2: 232).

    Jika ada yang sampai berbuat kemungkaran, maka shalat pun bisa mencegahnya dari perbuatan tersebut.

    Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengatakan,

    جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِّي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ فُلاَنًا يُصَلِّيْ بِاللَّيْلِ فَإِذَا أَصْبَحَ سَرِقَ؟ فَقَالَ: “إِنَّهُ سَيَنْهَاهُ مَا يَقُوْلُ

    Ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Ada seseorang yang biasa shalat di malam hari namun di pagi hari ia mencuri. Bagaimana seperti itu?” Beliau lantas berkata, “Shalat tersebut akan mencegah apa yang ia lakukan.” (HR. Ahmad 2: 447, sanadnya shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).

    Nah berarti shalat yang baik adalah shalat yang bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Inilah shalat yang mesti dibentuk. Jadi kalau ia rajin shalat, malah masih terus melakukan dosa besar, maka shalatnya lah yang mesti diperbaiki. Wallahu a’lam.

    Disalin pada, 27 Rajab 1435 H


    Article : Blog Al-Islam


    Back to Top

    ?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

    Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

    Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

    Translate

     
    Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
    Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
    Template Created by Creating Website Published by Mas Template
    Proudly powered by Blogger