BLOG AL ISLAM
Kontributor
Cari Blog Ini
Arsip Blog
-
►
2011
(33)
- ► Januari 2011 (22)
- ► September 2011 (1)
-
►
2012
(132)
- ► April 2012 (1)
- ► Agustus 2012 (40)
- ► Oktober 2012 (54)
- ► November 2012 (4)
- ► Desember 2012 (3)
-
►
2013
(15)
- ► Maret 2013 (1)
-
►
2015
(53)
- ► Januari 2015 (45)
- ► April 2015 (1)
-
▼
2023
(2)
- ► Februari 2023 (1)
Live Traffic
Mengkompromikan Dua Dalil Lebih Utama
Written By sumatrars on Minggu, 22 Maret 2015 | Maret 22, 2015
Kaidah Fikih, Dalil, Fikih, Kaidah, Menyikapi, Pertentangan.
18/03/2015 by Ibnu Majjah
Alhamdulillah, kita memuji dan bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada kita, selanjutnya shalawat dan salam teruntuk Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat, Amma ba’du:
Kaedah Fikih yang kita posting pada kesempatan yang mulia ini adalah:
إِعْمَالُ الدَّلِيْلَيْنِ أَوْلَى مِنْ إِهْمَالِ أَحَدِهِمَا مَا أَمْكَنَ
“Mengamalkan dua dalil sekaligus lebih utama daripada meninggalkan salah satunyaselamamasihmemungkinkan”
Kaidah ini menjelaskan patokan yangharus dipegang ketika kita menemui dua dalil yang nampaknya berseberangan atau bertentangan. Maka sikap kita adalah menjamak dan menggabungkan dua dalil tersebut selama masih memungkinkan. Karena keberadaan dalil-dalil itu untuk diamalkan dan tidak boleh ditinggalkan kecuali berdasarkan dalil yang Lain. Jadi hukum asalnya adalah tetap mengamalkan dalil tersebut.
Apabila ada dua dalil yang nampaknya berseberangan maka ada tiga alternatif dalam menyikapinya.
Pertama. Kita menjamakkan dan mengkompromikan keduanya dengan mengkhusukan yang umum atau memberikan taqyid kepada yang mutlaq. Ini dilakukan apabila memang hal itu memungkinkan. Jika tidak memungkinmaka berpindah ke alternatif kedua, yaitu dengan an-naskh. Alternatif ini dilakukan dengan mencari dalil yang datangnya lebih akhirlalu kita jadikan sebagai nasikh (penghapus) kandungan dalil yang datang lebih awal, jika tidak memungkinkan juga, maka kita menempuh alternatif ketiga, yaitu kita mentarjih dengan memilih salah satu dari dua dalil tersebut mana yang lebih kuat.
Silahkan simak eBook ini lebih lanjut dan temukan contoh penerapannya…
Kaedah Fikih (17): Ibadah yang Tidak Ada Tuntunan
Written By sumatrars on Selasa, 20 Januari 2015 | Januari 20, 2015
Dalam kaedah fikih kali ini akan dibicarakan mengenai ibadah yang tidak ada tuntunan.
Syaikh As Sa’di mengatakan dalam bait syairnya,
وليس مشروعا من الأمور
غير الذي في شرعنا مذكور
Suatu ibadah boleh dilakukan
Hanya jika ada dalil yang disebutkan dalam syariat kita
Dalil Kaedah
Demikian adanya karena Allah menciptakan manusia untuk ibadah. Ibadah itu mesti dengan dalil dari Al Qur’an dan disebutkan lewat lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di samping itu, ibadah mesti dilakukan dengan ikhlas untuk mengharapkan ridho-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Al Ahzab: 21).
Juga didukung dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718). Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718).
Contoh Ibadah yang Tidak Ada Tuntunan
- Beribadah atau mendekatkan diri pada Allah dengan teput tangan dan musik.
- Perayaan tahun baru
- Perayaan maulid nabi
- Shalat tasbih karena dibangun berdasarkan hadits dhoif.
Tambahan yang Tidak Ada Tuntunan dalam Ibadah Apakah Membatalkan Ibadah?
Jika ada tambahan yang tidak ada tuntunan dalam ibadah apakah membatalkan ibadah? Di sini perlu dipahami dua hal:
- Tambahan tersebut bersambung dengan ibadah itu sendiri, maka ibadah yang ditambah itu menjadi batal. Contoh: melaksanakan shalat Zhuhur lima raka’at, shalat tersebut menjadi batal. Karena satu raka’at tambahan bersambung langsung dengan shalat.
- Tambahan tersebut terpisah dan tidak kembali pada pokok ibadah. Contoh:
melakukan basuhan ketika wudhu sebanyak empat kali. Kali yang keempat tidak
dituntunkan, maka basuhan ketiga yang jadi asal, tidaklah batal.
Syariat Sebelum Islam, Apakah Jadi Dalil?
Syariat sebelum kita bisa dibagi menjadi:
- Nukilannya dari umat sebelum kita, seperti itu tidak dijadikan dalil karena nukilan tersebut tidaklah tsiqoh (bukan dari yang kredibel).
- Nukilannya dari Al Quran dan As Sunnah, di sini ada tiga macam:
- Yang disetujui oleh syariat kita seperti puasa Asyura, maka itu menjadi syariat bagi umat Islam.
- Yang dihapus oleh syariat kita seperti haramnya musik, maka bukan lagi menjadi syariat kita.
- Yang didiamkan artinya tidak ada kata setuju maupun menghapus, maka para ulama ushul berbeda pendapat, yang tepat adalah tetap sebagai hujjah (dalil) asalkan disebutkan nukilannya dari Al Quran dan As Sunnah.
Semoga bermanfaat.
Referensi:
Risalah fil Qowa’id Al Fiqhiyyah, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Pensyarh: Dr. Su’ud bin ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Al Ghorik, terbitan Dar At Tadmuriyyah, cetakan pertama, tahun 1432 H.
Syarh Al Manzhumatus Sa’diyah fil Qowa’id Al Fiqhiyyah, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy Syatsri, terbitan Dar Kanuz Isybiliya, cetakan kedua, 1426 H.
Article : Blog Al-Islam
Back to Top
|
|
Darurat Tidak Menggugurkan Hak Orang Lain
Written By sumatrars on Sabtu, 16 Agustus 2014 | Agustus 16, 2014
Transcribed on : 16/08/2014
الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على رسوله محمد، وعلى آله وأصحابه أجمعين، أما بعد
Sebagaimana telah kita Pahami bahwa seseorang yang berada dalam keadaan darurat, yang menyebabkannya harus mengonsumi sesuatu yang haram, maka ia diberikan udzur untuk melakukannya. Misalnya, orang yang sangat lapar dan tidak ada makanan yang didapatkan kecuali daging bangkai maka dalam keadaan itu diperbolehkan baginya untuk memakan daging tersebut sekedarnya. Allah عزّوجلّ berfirman:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. (QS. Al-Baqarah/2:173)
Namun demikiantimbul pertanyaan apabila perbuatan seseorang mengambil atau mengkonsumsi perkara yang haram itu menyebabkan hilang atau rusaknya harta orang lain? Apakah ia wajib menggantinya ataukah tidak? Inilah yang dibahas dalam kaidah:
الاِضْطِرَارُ لاَ يُبْطِلُ حَقَّ الغَيْرِ
Keadaan Darurat Tidak Menggugurkan Hak Orang Lain
Semoga kita dapat memahami kaidah ini, dan semoga Allah عزّوجلّ melapangkan dan melindungi kaum muslimin, amin…
Download:
Atau |
Atau |
Atau |
Article : Blog Al-Islam
Back to Top
Fiqih Yakin Tidak Hilang Dengan Keraguan
Written By sumatrars on Sabtu, 06 Oktober 2012 | Oktober 06, 2012
Sumber: Web Penulis di AhmadSabiq.com
- اليَقِيْنُ : Keyakinan hati yang berdasarkan pada dalil
- الظَنُّ : persangkaan kuat Contoh: apabila seseorang sedikit meragukan sesuatu apakah halal ataukah harom, namun persangkaan yang kuat dalam hatinya berdasarkan dalil yang dia ketahui bahwa hal itu haram, maka persangkaan kuat inilah yang dinamakan dengan الظَنُّ
- الشَكُّ: Keraguan tanpa bisa memilih dan tidak bisa menguatkan salah satu diantara keduanya
- الوَهْمُ : Persangkaan lemah Contoh : Pada kasus الظَنُّ, maka kemungkinan yang lemah, yaitu halalnya perbuatan tersebut itulah yang dinamakan dengan الوَهْمُ Adapun kalau seseorang tidak mengetahui sama sekali, maka itulah kebodohan (الجَهْل) dan ia terbagi menjadi dua macam:
- الجَهْلُ الْبَسِيْطُ (Kebodohan yang ringan ) yaitu orang yang tidak tahu namun dia menyadari bahwa dirinya tidak mengetahui
- الجَهْلُ الْمُرَكَّبُ (kebodohan berat) yaitu orang yang yang tidak tahu tapi mengaku mengetahui. (Lihat Syarah Al Ushul min Ilmil Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin hal : 69)
- Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah berwudlu, lalu ragu ragu apakah dia sudah batal ataukah belum, maka dia tidak wajib berwudlu lagi, karena yang yakin adalah sudah berwudlu, sedang batalnya masih diragukan.
- Dan begitu pula sebailknya, apabila orang yakin bahwa dia telah batal wudlunya, namun dia ragu-ragu apakah dia sudah berwudlu kembali ataukah belum ? maka dia wajib wudlu lagi karena yang yakin sekarang adalah batalnya wudlu.
- Barang siapa yang berjalan diperkampungan lalu kejatuhan air dari rumah seseorang dari lantai dua, yang mana ada kemungkinan bahwa itu adalah air najis, maka dia tidak wajib mencucinya karena pada dasarnya air itu suci, dan asal hukum ini tidak bisa dihilangkan hanya dengan sebuah keraguan, kecuali kalau didapati sebuah tanda-tanda kuat bahwa itu adalah air najis, misalkan bau pesing dan lainnya.
- Barang siapa yang berjalan disebuah jalanan yang becek atau berlumpur yang ada kemungkinan bahwa air itu najis, maka tidak wajib mencuci kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya air adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.
- Barang siapa yang telah sah nikahnya, lalu dia ragu-ragu apakah sudah terjadi talak ataukah belum, maka nikahnya tetap sah dan tidak perlu digubris terjadinya talak yang masih diragukan.
- Orang yang pergi meninggakan kampung halaman dalam keadaan sehat namun bertahun-tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka dia tetap dihukumi sebagai orang hidup yang dengannya tidak boleh diwarisi hartanya, sehingga datang berita yang meyakinkan bahwa dia telah meninggal dunia atau dihukumi oleh pihak pengadilan bahwa dia telah meninggal dunia.
- Seorang istri yang ditinggal suaminya pergi, maka dia tetap dihukumi sebagai seorang istri, yang atas dasar ini maka dia tidak boleh menikah lagi, kecuali kalau datang berita meyakinkan bahwa suaminya telah meninggal dunia atau telah menceraikannya atau dia mengajukan gugatan cerai ke pengadilan lalu pengadilan memutuskan untuk memisahkannya hubungan pernikahan dengan suaminya yang hilang beritanya.
-
Orang yang yakin bahwa dirinya telah berhutang, lalu dia ragu-ragu apakah dia
sudah melunasinya ataukah belum, maka dia wajib melunasinya lagi kecuali kalau
pihak yang menghutangi menyatakan bahwa dia telah melunasi hutang atau ada bukti
kuat bahwa sudah lunas, misalkan ada dua orang saksi yang menyatakan bahwa
hutangnya telah lunas.
Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)
Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...