Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Arsip Blog

Twitter

Latest Post
Tampilkan postingan dengan label haji dan umrah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label haji dan umrah. Tampilkan semua postingan

Fiqih, Apakah Dianjurkan Minum Air Zam-Zam Sambil Berdiri?

Written By sumatrars on Kamis, 08 Januari 2015 | Januari 08, 2015

Category : amair zam zam, fikih, Haji, mekkah, umroh, zamzam

31 December 2014,

Masjidil Haram Makkah Al Mukarromah, 7 Rabi’ul Awwal 1436 H

Muhammad Abduh Tuasikal (@RumayshoCom)

Sumber Artikel : Muslim.Or.Id

Sebagian orang punya keyakinan atau anggapan bahwa minum air zam-zam dianjurkan sambil berdiri. Apakah benar anggapan semacam itu?

Perlu diketahui bahwa minum sambil duduk tetap diperintahkan karena mengingat adanya larangan minum sambil berdiri. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- زَجَرَ عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh melarang dari minum sambil berdiri (HR. Muslim no. 2024).

Sedangkan hadits lain menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum air zam-zam sambil berdiri.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma berkata,

سَقَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ قَائِمًا

“Aku memberi minum kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari air zam-zam, lalu beliau minum sambil berdiri” (HR. Bukhari no. 1637 dan Muslim no. 2027)

Mayoritas ulama menganggap bahwa hadits terakhir di atas menunjukkan bolehnya minum seperti itu. Bahkan dalam hadits yang lain disebutkan bahwa beliau minum juga sambil berdiri selain pada air zam-zam. Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَشْرَبُ قَائِمًا وَقَاعِدًا

Aku pernah melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- minum sambil berdiri, begitu pula pernah dalam keadaan duduk” (HR. Tirmidzi no. 1883 dan beliau mengatakan hadits ini hasan shahih)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan dalam Syarh Shahih Muslim setelah menyebutkan hadits-hadits yang membicarakan minum sambil berdiri bahwa hadits-hadits tersebut tidaklah bermasalah dan tidak ada yang dhoif, bahkan seluruhnya shahih. Pemahaman yang tepat, hadits yang menyebutkan larangan minum sambil berdiri menunjukkan makruhnya. Sedangkan hadits yang membicarakan cara minum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berdiri menunjukkan bolehnya. Jadi kedua macam hadits tersebut tak saling kontradiksi. Demikiam penjelasan Imam Nawawi.
Dalam madzhab Abu Hanifah dianjurkan minum air zam-zam sambil berdiri. Para ulama Hanafiyah menganggap bahwa keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang minum air zam-zam sambil berdiri adalah hadits khusus yang keluar dari konteks larangan minum sambil berdiri.

Kesimpulan yang lebih baik, tidak ada anjuran minum air zam-zam sambil berdiri. Keadaan yang baik saat minum air tersebut adalah sambil duduk. Sedangkan yang disebutkan kalau beliau minum sambil berdiri adalah menunjukkan kebolehan sebagaimana keterangan Imam Nawawi rahimahullah di atas.

Semoga bermanfaat bagi yang ingin menikmati keberkahan air zam-zam.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Hadits Tentang Haji (02): Pakaian Ihram

Written By sumatrars on Kamis, 21 Agustus 2014 | Agustus 21, 2014

Related categories : Bahasan Utama, Haji, ihram, umrah

Transcribed : 20 Agust 2014, 20 Syawal 1435 H

Bagaimana bentuk pakaian yang digunakan oleh orang yang berhaji atau umrah saat berihram? Apakah ada bentuk pakaian tertentu dan larangan dari pakaian tertentu?

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ada seseorang yang berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ مِنَ الثِّيَابِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْخِفَافَ ، إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ ، وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ ، وَلاَ تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ أَوْ وَرْسٌ »

Wahai Rasulullah, bagaimanakah pakaian yang seharusnya dikenakan oleh orang yang sedang berihram (haji atau umrah, -pen)?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh mengenakan kemeja, sorban, celana panjang kopiah dan sepatu, kecuali bagi yang tidak mendapatkan sandal, maka dia boleh mengenakan sepatu. Hendaknya dia potong sepatunya tersebut hingga di bawah kedua mata kakinya. Hendaknya dia tidak memakai pakaian yang diberi za’faran dan wars (sejenis wewangian, -pen).” (HR. Bukhari no. 1542)

Dalam riwayat Bukhari disebutkan,

وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ

Hendaknya wanita yang sedang berihram tidak mengenakan cadar dan sarung tangan.” (HR. Bukhari no. 1838).

Larangan ketika haji ada tiga macam: (1) Larangan khusus pada laki-laki, (2) larangan khusus pada perempuan, (3) larangan pada laki-laki dan perempuan, inilah yang lebih banyak.

Larangan yang khusus bagi laki-laki: mengenakan pakaian al makhith yang membentuk lekuk tubuh dan berjahit, maksudnya seperti kemeja, kaos dalam, celana dalam, celana pendek maupun celana panjang. Juga laki-laki dilarang menutup kepala dengan topi dan pecis saat berihram.

Pakaian Ihram Saat Haji dan Umrah

Begitu juga larangan yang khusus bagi laki-laki adalah memakai sepatu dari bahan apa pun. Namun jika tidak mendapati sepatu, maka sepatu yang ada dipotong sampai bagian mata kaki terbuka, sehingga sepatu tersebut beralih menjadi sendal. Akan tetapi, untuk hal ini hanya masa di awal-awal pensyariatan, setelah itu jadi terhapus. Yang ada saat ini adalah diperintahkan untuk menggunakan sendal saat ihram.

Larangan yang ditujukan pada laki-laki dan perempuan: memakai wewangian atau parfum. Namun tetap yang sedang berihram diperkenankan untuk bersih-bersih (mandi). Namun ketika telah berniat ihram, maka tidak boleh lagi menggunakan wewangian seperti minyak misk dan lainnya. Akan tetapi sesuatu yang berbau wangi, namun tidak digunakan untuk tujuan wewangian, maka tidaklah mengapa digunakan.

Larangan yang khusus bagi perempuan: terlarang memakai penutup wajah kecuali jika ada laki-laki bukan mahram, ia sengaja menutupi khimarnya tidaklah masalah. Begitu pula wanita dilarang mengenakan sarung tangan.

Namun wanita masih diizinkan menggunakan baju warna apa pun itu, baik putih, kuning, merah, atau hijau dan dari bahan apa pun. Yang tidak dibolehkan adalah jika pakaian tersebut diberi wewangian.

Demikian penjelasan singkat dari hadits yang dibahas di atas mengenai pakaian ihram saat haji dan umrah. Moga bermanfaat.

Referensi:

Syarh ‘Umdatil Ahkam, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darut Tauhid, cetakan pertama, tahun 1431 H.

Sources of articles by : Muslim.Or.Id and authors by : 

Rewritten by : Rachmat Machmud  end Republished by : Redaction Duta Asri Palem 3

Kembali Keatas

|

Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.

If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.

Delivered by FeedBurner

Kembali ke Atas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Hadits Tentang Haji (01): Masalah Miqat bagi yang Berhaji

Written By sumatrars on Minggu, 17 Agustus 2014 | Agustus 17, 2014

Category : Bahasan Utama, Haji, miqat, umrah

Transcribed : 16 Aug 2014, 20 Syawal 1435 H

Masalah miqat bagi yang berhaji wajib dipahami.

Seputar haji dengan mengutarakan dalil-dalil. Sebelumnya untuk panduan haji sudah dibahas secara global tanpa disertakan dalil yang lengkap. Kali ini bahasan lebih mendetail pada dalil dengan penjelasan ringkas dari para ulama.

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

إِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَقَّتَ لأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ ، وَلأَهْلِ الشَّأْمِ الْجُحْفَةَ ، وَلأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ ، وَلأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ ، هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ ، مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, penduduk Syam di Juhfah, penduduk Nejd di Qarnul Manazil dan penduduk Yaman di Yalamlam.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah. Barangsiapa yang kondisinya dalam daerah miqat tersebut, maka miqatnya dari mana pun dia memulainya. Sehingga penduduk Makkah, miqatnya juga dari Makkah.” (HR. Bukhari no. 1524 dan Muslim no. 1181).

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« يُهِلُّ أَهْلُ الْمَدِينَةِ مِنْ ذِى الْحُلَيْفَةِ وَأَهْلُ الشَّامِ مِنَ الْجُحْفَةِ وَأَهْلُ نَجْدٍ مِنْ قَرْنٍ ». قَالَ عَبْدُ اللَّهِ وَبَلَغَنِى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « وَيُهِلُّ أَهْلُ الْيَمَنِ مِنْ يَلَمْلَمَ »

Penduduk Madinah hendaknya memulai ihram dari Dzul Hulaifah, penduduk Syam dari Juhfah, dan penduduk Nejd dari Qarn (Qarnul Manazil).

Abdullah menuturkan bahwa ada kabar yang telah sampai padanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penduduk Yaman memulai ihram dari Yalamlam.” (HR. Bukhari no. 130 dan Muslim no. 13).

Dalam riwayat lain disebutkan, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَقَّتَ لأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan untuk penduduk Irak Dzatu ‘Irqin.” (HR. Abu Daud no. 1739, An Nasai no. 2654. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Dalam riwayat lain disebutkan, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

وَمُهَلُّ أَهْلِ الْمَشْرِقِ مِنْ ذَاتِ عِرْقٍ

Penduduk masyriq (dari arah timur jazirah) beriharam dari Dzatu ‘Irqin.” (HR. Ibnu Majah no. 2915. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Tempat Miqat

Miqat makaniyah yaitu tempat mulai berihram bagi yang punya niatan haji atau umrah. Ada lima tempat:

(1) Dzul Hulaifah (sekarang dikenal: Bir ‘Ali), miqat penduduk Madinah, miqat yang jaraknya paling jauh.

(2) Al Juhfah, miqat penduduk Syam dan penduduk Maghrib (dari barat jazirah).

(3) Qarnul Manazil (sekarang dikenal: As Sailul Kabiir), miqat penduduk Najed.

(4) Yalamlam (sekarang dikenal: As Sa’diyah), miqat penduduk Yaman.

(5) Dzatu ‘Irqin (sekarang dikenal: Adh Dhoribah), miqat pendudk Irak dan penduduk Masyriq (dari timur jazirah).

miqat_haji_01

Masuk Daerah Miqat Harus Berihram

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ

Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tersebut padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah.” Itu berarti siapa saja yang melewati kota atau daerah miqat tersebut haruslah dalam keadaan berihram. Termasuk juga bagi yang bukan penduduk kota tersebut yang berasal dari luar ketika melewati miqat tadi, maka harus dalam keadaan berihram.

Seperti misalnya penduduk Najed (kota Riyadh, Qasim sekitarnya), ada yang mengambil miqat bukan di Qarnul Manazil, namun ia mengambil miqat dari Dzatu ‘Irqin yang merupakan miqat penduduk Irak. Seperti itu dibolehkan.

Sebagaimana dibolehkan pula jika penduduk Syam dan Mesir mengambil miqat dari miqatnya penduduk Madinah yaitu di Dzul Hulaifah, bukan di Juhfah.

Melewati Miqat Tanpa Berihram

Kata Syaikh As Sa’di rahimahullah, “Siapa saja yang melewati daerah miqat tanpa berihram, maka ia harus kembali ke miqat tersebut. Ia harus kembali berihram dari miqat yang teranggap tersebut. Jika tidak kembali, maka ia punya kewajiban membayar dam.” (Syarh Umdatil Ahkam, hal. 389).

Contoh penduduk Indonesia yang ingin langsung berhaji atau umrah menuju Makkah, ada yang tidak berniat ihram padahal sudah melewati miqat Yalamlam. Ini merupakan kekeliruan dan ia terkena dam seperti kata Syaikh As Sa’di di atas jika tidak mau kembali ke miqat.

Apakah itu Berlaku Bagi yang Mau Berhaji dan Umrah Saja?

Menurut pendapat yang lebih kuat dan pendapat ini dianut oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah karena berpegang pada tekstual hadits, yang mesti berihram ketika masuk daerah miqat adalah yang punya niatan haji dan umrah saja. Adapun jika niatannya untuk berdagang dan lainnya, maka tidak diwajibkan dalam keadaan berihram. Namun para ulama katakan bahwa siapa saja yang memasuki kota Makkah sebaiknya dalam keadaan berihram. Lihat Syarh ‘Umdatil Ahkam karya Syaikh As Sa’di, hal. 390.

Bagi yang Berada di Dalam Daerah Miqat dan Berada di Makkah

Bagi penduduk Jeddah misalnya, atau penduduk Makkah, mereka semuanya berada dalam daerah miqat, jika mereka ingin berhaji atau berumrah, maka hendaklah berihram dari tempat mereka mulai safar, bisa dari rumah mereka.

Syaikh As Sa’di mengatakan, “Penduduk Makkah bisa berihram untuk haji dari Makkah. Namun untuk umrah, hendaklah keluar menuju tanah halal untuk berniat ihram dari situ.” (Idem).

Jika ada yang berkata, “Kenapa haji dan umrah bisa dibedakan seperti itu? Ini dikarenakan seluruh akitivitas umrah berada di tanah haram (tidak keluar ke tanah halal), maka diperintahkan ia keluar untuk berihram dari tanah halal. Adapun haji, tidak diharuskan berihram dari tanah halal. Karena aktivitas haji tidak semuanya di tanah haram, bahkan ada yang dilakukan di luar tanah haram, yaitu ketika wukuf di Arafah.” (Idem).

Semoga bermanfaat, hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:

Syarh ‘Umdatil Ahkam, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darut Tauhid, cetakan pertama, tahun 1431 H.

Posisi Posting
|

Sources of articles by : Muslim.Or.Id and authors by : 

Rewritten by : Rachmat Machmud  end Republished by : Redaction Duta Asri Palem 3

Kembali Keatas

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Tunaikan Amalan Wajib, Berhak Atas Surga

Written By sumatrars on Sabtu, 14 Juni 2014 | Juni 14, 2014

Category : Hadits, Haji, halal, haram, Puasa, Shalat, surga, zakat
Source article: Muslim.Or.Id

Transcribed on : 13 June 2014,

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الأَنْصَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ اْلمَكْتُوْبَاتِ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، وَأَحْلَلْتُ الْحَلاَلَ، وَحَرَّمْت الْحَرَامَ، وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شَيْئاً، أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ ؟ قَالَ : نَعَمْ .

Dari Jabir bin Abdullah Al Anshary radhiyallahu ‘anhuma, bahwa seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah dengan berkata, “Bagaimana pendapatmu jika saya melaksanakan shalat yang wajib, berpuasa Ramadhan, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, lalu saya tidak menambah lagi sedikit pun, apakah saya akan masuk surga?” Beliau menjawab, Ya.” (HR. Muslim).

Syarh/penjelasan:

Disebutkan dalam sebagian syarah Al Arba’in, bahwa penanya dalam hadits tersebut bernama Nu’man bin Qauqal.
Maksud “mengharamkan yang haram” adalah menjauhinya dengan meyakini keharamannya. Syaikh Abu ‘Amr Ibnu Shalah berkata, “Zhahirnya maksud kata-katanya, “mengharamkan yang haram” ada dua perkara: Pertama, meyakini sebagai sesuatu yang haram. Kedua, ia tidak melakukannya. Berbeda dengan menghalalkan yang halal, maka cukup dengan meyakini kehalalannya.

Maksud “menghalalkan yang halal” adalah mengerjakannya dengan meyakini kehalalannya.

Sedangkan maksud perkataannya, “lalu saya tidak menambah lagi sedikit pun”, yakni tidak menambah dengan amalan sunat. Hadits ini menunjukkan bolehnya meninggalkan amalan sunat secara jumlah (garis besar), tetapi orang yang meninggalkannya sesungguhnya telah menghilangkan keberuntungan dan pahala yang besar bagi dirinya, sedangkan Allah meninggikan derajat seseorang sesuai amalnya, dan orang yang rutin meninggalkan perkara sunat, maka hal itu merupakan kekurangan pada agamanya dan cacat pada keadilannya, dan jika meninggalkannya karena meremehkan serta tidak suka kepadanya, maka yang demikian merupakan kefasikan sehingga berhak dicela.

Hadits di atas seperti hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut:

أَتَى أَعْرَابِيٌّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ: دُلَّني عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ دَخَلْتُ الْجَنَّةَ. قَالَ: تَعْبُدُ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ، وتُؤدِّي الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ، وَتَصُومُ رَمَضَانَ. قَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَا أَزِيدُ عَلَى هَذا شَيْئًا وَلَا أنْقُصُ مِنْهُ. فَلَمَّا وَلَّى، قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: مَنْ سَرَّه أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا

“Seorang Arab badui pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Tunjukkanlah kepadaku amalan yang jika aku kerjakan, maka aku akan masuk surga.” Beliau bersabda, “Kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, mendirikan shalat yang wajib, menunaikan zakat yang wajib, dan berpuasa di bulan Ramadhan.” Ia (orang Arab badui) berkata, “Demi Allah yang jiwaku di Tangan-Nya, aku tidak menambah sedikit pun dan tidak mengurangi.” Ketika orang itu telah pergi, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang ingin melihat salah seorang penghuni surga, maka lihatlah orang ini” (Muttafaq ‘alaih)

Para imam dari kalangan ahli fiqh membedakan antara perkara wajib dengan perkara sunat adalah untuk mengetahui mana yang wajib dan mana yang tidak, dan karena khawatir akan disiksa jika meninggalkannya, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan yang sunat maksudnya adalah untuk mengingatkan sunatnya dan keadaannya yang lebih utama jika dikerjakan untuk memberikan kemudahan dan meringankan, atau untuk mengingatkan bahwa perkara sunat itu tidak wajib. Hikmah disyariatkan perkara sunat adalah untuk menyempurnakan yang wajib. Hal ini berdasarkan hadits berikut:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ: يَقُوْلُ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ: اُنْظُرُوا فِي صَلاَةِ عَبْدِيْ أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً، وَإِنْ كَانْ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئاً قَالَ: انْظُرُوْا هَلْ لِعَبْدِيْ مِنْ تَطَوُّعٍ، فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ: أَتِمُّوْا لِعَبْدِيْ فَرِيْضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ اْلأَعْمَالُ عَلَى ذَلِكُمْ

“Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat. Allah Azza wa Jalla akan berfirman kepada para malaikat-Nya sedangkan Dia lebih mengetahui, “Lihatlah shalat hamba-Ku, apakah dia menyempurnakannya atau menguranginya?” Jika ternyata sempurna, maka dicatat sempurna. Namun jika kurang, Allah berfirman, “Lihatlah! Apakah hamba-Ku memiliki ibadah sunat?” Jika ternyata ada, Allah berfirman, “Sempurnakanlah shalat fardhu hamba-Ku dengan shalat sunatnya,” lalu diambil amalannya seperti itu” (HR. Empat orang ahli hadits dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2020)

Faidah Hadits

Hadits di atas juga menunjukkan beberapa hal berikut:

  1. Bahwa orang yang mengerjakan kewajiban dan menjauhi larangan akan masuk ke dalam surga.

  2. Boleh meninggalkan amalan sunat secara garis besar, jika maksudnya bukan meremehkan.

  3. Tujuan hidup ini adalah agar kita masuk ke dalam surga.

  4. Pentingnya shalat yang lima waktu, dan bahwa shalat merupakan sebab seseorang masuk ke surga, demikian juga menunjukkan pentingnya puasa.

  5. Tidak disebutkan di dalam hadits tersebut zakat dan haji, karena zakat dan haji sudah masuk ke dalam keumuman kalimat “mengharamkan yang haram”.

  6. Bisa juga tidak disebutkan kata-kata zakat, karena orang tersebut fakir, tidak mampu berzakat, sehingga Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab sesuai dengan keadaannya. Sedangkan tidak disebutkan hajji, bisa saja karena waktu itu belum diwajibkan (sebagaimana dijelaskan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam syarah Al Arba’in beliau).

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Maraji’:

Makbatah Syamilah versi 3.45

Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’ani was Sunnah)

Syarh Al Arba’in (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin)

Article : Blog Al-Islam


Ingin mendapatkan Artikel/Posting dari kami /Berlangganan, Silahkan kirimkan Alamat eMail  Anda pada kolom dibawah, demgan demikian anda akan mendapatkan setiap ada artikel yang terbit dari kami.
Want to get article / post from our / Subscribe, Please send your eMail address in the fields below, so you will get every article published from us.

Delivered by FeedBurner

Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Aqidah, Kisah George dan Idul Adha

Written By sumatrars on Sabtu, 09 Februari 2013 | Februari 09, 2013

Kategori : Bahasan Utama,Aqidah,

(Sanggahan bagi yang Turut Serta dalam Perayaan Non Muslim)
Kategori: Aqidah, Bahasan Utama

Mohon dibaca dan direnungi berdasarkan realita kita dengan seksama…

George (50 th) tinggal bersama istri, dan dua orang anaknya (Tony & Julia) di Washington. Menjelang datangnya bulan Dzul Hijjah, George dan istri serta anak-anaknya mengikuti berita-berita seputar penentuan tanggal 1 Dzul Hijjah.

George aktif menyimak berita di radio. Istrinya menyimak lewat televisi. Sedangkan Tony rajin searching di internet.

Ketika pengumuman tanggal 1 Dzul Hijjah diumumkan, George sekeluarga bersiap-siap untuk menyambut Iedul Adha yang bertepatan dengan tanggal 10 Dzul Hijjah, setelah acara wukuf di Arafah tanggal 9-nya.

Keesokannya, mereka sekeluarga pergi ke desa untuk membeli domba sesuai kriteria syari untuk dijadikan hewan kurban (udhiyyah), yaitu: tidak boleh buta sebelah, pincang, atau terlalu kurus. Mereka berniat menyembelihnya begitu hari raya tiba.

Domba pun mereka bawa dengan pick-up sambil terus mengembik di perjalanan…

Adapun Julia yang baru berusia 5 tahun, asyik berceloteh dan mengatakan, “Ayah… alangkah indahnya hari raya Iedul Adha! Aku akan pakai gaun baru, dapat THR, dan bisa membeli boneka baru… aku akan pergi bersama teman-temanku ke TOY CITY untuk bermain sepuasnya di sana… Duh, alangkah indahnya saat-saat hari raya”, katanya. “Andai aja semua hari adalah hari raya” lanjutnya.

Begitu mobil tiba di rumah, istri George berbisik, “Wahai suamiku tercinta… Kamu tahu khan, bahwa disunnahkan membagi daging korban menjadi tiga: sepertiga kita makan sendiri untuk beberapa hari ke depan, sepertiga kita sedekahkan ke fakir miskin, dan sepertiga lagi kita hadiahkan ke tetangga kita David, Elizabeth, dan Monica”.

Begitu Iedul Adha tiba, George dan istrinya bingung di manakah arah kiblat, karena mereka hendak menghadapkan domba kurban ke kiblat. Setelah menebak-nebak, mereka memutuskan menghadapkan kurban ke arah Saudi Arabia, dan ini sudah cukup.

Setelah mengasah pisau, George menghadapkan dombanya ke kiblat lalu menyembelihnya. Ia kemudian menguliti dan memotong-motong dagingnya. Adapun istrinya membaginya menjadi tiga bagian sesuai sunnah.

Namun tiba-tiba George berteriak mengatakan, “Waduh, kita terlambat ke gereja… sebab ini hari Minggu dan kita akan terlambat menghadiri misa!”. George konon tidak pernah ketinggalan misa di Gereja setiap hari Minggu. Ia bahkan rajin membawa istri dan anak-anaknya ke gereja. Sampai di sini, pengisah mengakhiri kisahnya tentang George.

Salah satu yg hadir bertanya:
Waduh, kamu membingungkan kami dengan kisah ini !!! George ini seorang muslim ataukah Kristen??”.

Pengisah menjawab:
“George dan keluarganya adalah penganut Kristen. Mereka tidak meyakini kemahaesaan Allah, namun menganggapnya salah satu dari Tuhan yang  tiga (trinitas). Mereka juga tidak percaya bahwa Muhammad adalah penutup para nabi dan rasul” jelasnya.

Majelis pun geger mendengar penjelasan tersebut. lalu salah satu yang di majelis berseru,
“Hai Ahmad, kamu jangan membohongi kami. Siapa yang percaya kalau George dan keluarganya melakukan itu semua? Mana mungkin seorang Nasrani menerapkan syiar-syiar Islam… mana mungkin mereka membuang-buang waktu untuk menyimak radio, televisi, dan internet sekedar untuk mengetahui kapan hari raya Iedul Adha tiba?? Mana mungkin mereka rela merogoh koceknya untuk membeli hewan kurban, lalu menyembelih dan membagi-baginya… dst!!!” kata si penanya.

Ahmad pun menjawab dengan senyum dan sedikit heran,
Wahai saudara-saudaraku tercinta, tentu kalian tidak mempercayai ceritaku. Kalian tidak akan membenarkan jika ada sebuah keluarga Kristen yang melakukan hal tersebut. Akan tetapi, kita yang berada di negeri-negeri muslim: Abdullah, Muhammad, Khalid, Khadijah, Fatimah, dan nama-nama muslim lainnya dengan santai turut merayakan hari raya kaum Nasrani dan Yahudi. Kita turut merayakan tahun baru Masehi (Masehi nisbat kepada Isa Al Masih/Yesus), mengucapkan selamat Natal, merayakan Valentine’s Day, April Mop, Paskah, ulang tahun, hari raya ini… dan itu…?”.

Mestinya, kita tidak perlu mengingkari bila George melakukan hal itu. Namun kita harus mengingkari diri dan keluarga kita sendiri”. kemudian dengan nada serius Ahmad melanjutkan, “Aku pernah tinggal di Amerika lebih dari 10 tahun, namun demi Allah, aku tak pernah sekalipun melihat seorang Kristen maupun Yahudi yang merayakan salah satu hari raya kita kaum muslimin. Aku juga tidak pernah mendapati seseorang dari mereka menanyakan tentang acara atau pesta yang kita rayakan. Sampai-sampai ketika aku berhari-raya di apartemenku, tidak ada seorang pun yang memenuhi undanganku setelah mereka tahu bahwa yang kurayakan adalah hari raya Islam. Aku menyaksikan itu semua selama aku tinggal di Barat, namun sekembaliku ke negeri muslim, ternyata kita merayakan hari raya mereka… falaa haulaa walaa quwwata illa billaahil azhiem.

Kisah ini ditulis oleh Syaikh Abdul Malik Al Qasim dengan judul (جورج والعيد).

Mengucapkan Selamat Natal dan Selamat Hari Raya kepada orang kafir hukumnya haram berdasarkan ijma’ ulama.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
Mengucapkan selamat atas hari raya yang menjadi ciri khas orang kafir hukumnya haram berdasarkan kesepakatan ulama. Seperti mengucapkan selamat atas hari raya mereka, atau puasa mereka dengan mengatakan, “Selamat Natal dan Tahun Baru Masehi… (Selamat Paskah, Selamat Waisak, Selamat Nyepi, dsm”). Kalau pun yang mengatakan tidak sampai jatuh kepada kekafiran, tetap saja itu merupakan perbuatan haram yang setara dengan mengucapkan selamat kepada seseorang karena sujud kepada salib; bahkan ucapan selamat tadi lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkaiNya, daripada mengucapkan selamat kepada orang yang minum khamer atau membunuh orang lain, atau berzina, dan semisalnya. Namun banyak kalangan yang tidak menghargai agamanya, terjerumus dalam perbuatan yang sangat ‘menjijikkan’ tersebut tanpa disadari… Sebab barangsiapa mengucapkan selamat kepada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah, atau kekafiran; berarti menjerumuskan dirinya kepada murka dan amarah Allah” (Disadur dari kitab: Ahkaam Ahlidz Dzimmah).

Sumber Penulis: Ustadz Sufyan Basweidan, MA dan Sumber Artikel Muslim.Or.Id

Dari artikel 'Kisah George dan Idul Adha (Sanggahan bagi yang Turut Serta dalam Perayaan Non Muslim) — Muslim.Or.Id'



Daftar Artikel

Silahkan Masukkan Alamat Email pada kolom dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Haji - Sebab Mendapatkan Ampunan di Hari Arafah

Written By sumatrars on Selasa, 23 Oktober 2012 | Oktober 23, 2012


Sebab Mendapatkan Ampunan di Hari Arafah


Hari Arafah adalah hari di mana Allah menyempurnakan Islam dan menyempurnakan nikmat-Nya ketika itu. Hari Arafah adalah hari haji Akbar menurut mayoritas salaf. Hari Arafah juga adalah hari istimewa bagi umat ini.

Anas bin Malik pernah mengatakan, “Hari Arafah lebih utama dari 10.000 hari-hari lainnya."[1] Siapa saja yang berpuasa ketika itu akan mendapatkan ampunan dosa (yaitu dosa kecil) untuk dua tahun.

Mengenai hari Arafah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ


“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arafah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?” [2]

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hari Arafah adalah hari pembebasan dari api neraka. Pada hari itu, Allah akan membebaskan siapa saja yang sedang wukuf di Arafah dan penduduk negeri kaum muslimin yang tidak melaksanakan wukuf. Oleh karena itu, hari setelah hari Arafah –yaitu hari Idul Adha- adalah hari ‘ied bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Baik yang melaksanakan haji dan yang tidak melaksanakannya sama-sama akan mendapatkan pembebasan dari api neraka dan ampunan pada hari Arafah.” [3]

Ibnu Rajab selanjutnya menjelaskan bahwa siapa yang ingin mendapatkan pembebasan dari api neraka dan pengampunan dosa pada hari Arafah, maka lakukanlah hal-hal berikut. [4]

PERTAMA :

Melaksanakan puasa Arafah (bagi yang tidak berhaji). Dari Abu Qatadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,:

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ


“Puasa Arafah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” [5]

KEDUA :

Menjaga anggota badan dari hal-hal yang diharamkan pada hari tersebut.

KETIGA :

Memperbanyak syahadat tauhid, keikhlasan dan kejujuran pada hari tersebut karena semuanya tadi adalah asas agama ini yang Allah sempurnakan pada hari Arafah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri sering memperbanyak hal-hal tadi dan beliau menyebutkannya setelah menyebutkan bahwa do’a pada hari Arafah adalah sebaik-baik do’a. Disebutkan dalam hadits,

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ


“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan “Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli sya-in qodiir (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Miliki-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu)”. [6]

KEEMPAT :

Memerdekakan seorang budak jika mampu. Karena barangsiapa yang memerdekakan seorang budak mukmin, maka Allah akan membebaskan anggota tubuhnya dari api neraka karena anggota tubuh budak yang ia merdekakan.

KELIMA :

Memperbanyak do’a ampunan dan pembebasan dari api neraka ketika itu karena hari Arafah adalah hari terkabulnya do’a. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ


“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arafah.” [7]

Dan untuk mendapatkan pembebasan dari api neraka dan pengampunan dosa, hendaklah pula dijauhi segala dosa yang dapat menghalangi dari mendapatkan ampunan. Di antara yang harus dijauhi adalah:

PERTAMA :
Sifat sombong dan takabbur. Allah Ta’ala berfirman,

وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ


“Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.(QS. Al Hadid: 23)
Sebagaimana pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ



“Allah tidak akan memandang siapa saja yang menjulurkan celananya (di bawah mata kaki) dengan sombong.” [8]

KEDUA :
Tidak terus menerus dalam melakukan dosa-dosa besar (al kaba-ir).[9]

Itulah yang dinasehatkan oleh Ibnu Rajab agar seseorang bisa mendapatkan ampunan dan pembebasan dari api neraka pada hari Arafah.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendapatkan ampunan dan pembebasan dari api neraka pada hari tersebut.

Ya Allah, terimalah setiap amalan kami di hari Arafah yang mulia ini dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mendapatkan pengampunan dosa dan pembebasan dari api neraka. Sesungguhnya engkau Maha Mengijabahi setiap do’a-do’a kami.

Segala puji bagi Allah yang dengan setiap nikmat-Nya segala kebaikan menjadisempurna.

Sumber Penulis :Muhammad Abduh Tuasikal  Sumber Artikel : Muslim.or.id



[1]Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 489, Al Maktab Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1428 H.
[2] HR. Muslim no. 1348, dari ‘Aisyah.
[3] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 482.
[4] Ini adalah penjelasan yang kami olah dari pemaparan Ibnu Rajab dengan sedikit penambahan dari kami.
[5] HR. Muslim no. 1162, dari Abu Qotadah.
[6] HR. Tirmidzi no. 3585, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[7] Idem
[8] HR. Bukhari no. 5783, dari Ibnu ‘Umar.
[9] Lihat Latho-if Al Ma’arif , 493-496.




Daftar Artikel

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Haji Mabrur (3): Benarkah Dianjurkan Tinggal 8 Hari di Kota Madinah?

Haji Mabrur (3): Benarkah Dianjurkan Tinggal 8 Hari di Kota Madinah?


Pertanyaan: “Saya pernah mendengar bahwa barangsiapa yang shalat di Masjid Nabawi sebanyak 40 kali shalat dituliskan baginya keterlepasan dari sifat munafik, Apakah hadits ini shahih (benar)?”
Jawaban: “Segala puji hanya bagi Allah Ta’ala, semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, no hadits: 12173, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلاةً لا يَفُوتُهُ صَلاةٌ كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ ، وَنَجَاةٌ مِنْ الْعَذَابِ ، وَبَرِئَ مِنْ النِّفَاقِ

     Artinya: “Barangsiapa yang shalat di Masjidku sebanyak 40 kali shalat, ia tidak ketinggalan shalat maka niscaya dituliskan baginya kelepasan dari api neraka dan keselamatan dari adzab dan terlepas
dari kemunafikan.”

    Hadits ini adalah hadits yang lemah, karena di dalamnya ada seorang perawi yang bernama Nubaith. Dan dia adalah seorang perawi yang majhul, majhul ‘ain  (tidak diketahui orangnya) dan juga majhul hal (keadaannya).

Nubaith adalah seorang perawi yang majhul hal, karena tidak ada seorangpun dari para ahli hadits yang menyatakan dia adalah perawi yang tsiqah (terpercaya), kecuali Ibnu Hibban dan Al Haitsamy serta Al Mundziry.

Adapun Ibnu Hibban menyatakan tsiqah (terpercaya) karena sebagaimana yang diketahui oleh para ahli hadits bahwa Ibnu Hibban sering menjadikan perawi-perawi yang majhul menjadi perawi tsiqah (terpercaya).

Adapun Al Haitsamy, pendapatnya berdasarkan pendapat Ibnu Hibban.
Sedangkan Al Mundziry tidak terlalu jelas penyebutannya tentang Nubaith, bahwa dia adalah perawi yang tsiqah, dan Al Mundziry sendiri telah keliru dalam pernyataannya, karena Nubaith bukanlah seorang perawi dari perawi-perawi yang ada di dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim bahkan bukan perawi yang ada di dalam kitab-kitab hadits yang enam, yaitu Shahih Bukhari, Muslim, Sunan Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan An Nasai.

Dan Nubaith adalah perawi yang majhul ‘ain karena tidak ada yang meriwayatkan haditsnya kecuali dari jalan Abdurrahman bin Abi Laila dan Nubaith sendiri hanya meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, lalu kapan wafatnya Nubaith juga tidak diketahui, sehingga memungkinkan dengannya, kita mengetahui apakah ia benar-benar bertemu dengan Anas bin Malik atau tidak. Lihat kitab Silsilat Al Ahadits Adh Dha’ifah, no. 364.

Oleh sebab inilah Al Albani di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Adh dha’ifah, no. 364 menyatakan hadits ini “Lemah” bahkan dalam kitab Dha’ifut Targhib, no hadits: 755 bahwa hadits tersebut mungkar (istilah di dalam ilmu hadits yang maksudnya adalah: hadits yang lemah menyelisihi hadits yang shahih).
Beliau juga mengatakan di dalam kitab beliau “Hajjatun Nabiyyi shallallahu ‘alaihi wasallam”, hal: 185:

“أن من بدع زيارة المدينة النبوية التزام زوار المدينة الإقامة فيها أسبوعا حتى يتمكنوا من الصلاة في المسجد النبوي أربعين صلاة ، لتكتب لهم براءة من النفاق وبراءة من النار”

Termasuk perbuatan bid’ah saat ziarah ke kota Madinah Nabawiyyah adalah keharusan para penziarah untuk menetap di sana selama seminggu sehingga  memungkinkan bagi mereka untuk shalat di masjid Nabawi 40 kali shalat, agar dituliskan bagi mereka keterlepasan dari sifat munafik dan siksa neraka

    Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Adapun apa yang tersebar di masyarakat bahwa seorang penziarah (kota Madinah) hendaklah ia berdiam (maksudnya di kota Madinah-pent) selama 8 hari sehingga dapat shalat 40 kali, maka seperti ini meskipun diriwayatkan di dalamnya sebagian hadits: “Barangsiapa yang shalat didalamnya sebanyak 40 kali shalat, maka niscaya dituliskan baginya lepas dari api neraka dan keselamatan dari adzab dan terlepas dari kemunafikan”, akan tetapi hadits ini adalah hadits yang lemah menurut para pakar peneliti hadits, tidak bisa dijadikan sandaran, karena di dalam hadits ini telah menyendiri seorang perawi yang tidak dikenal dengan hadits dan periwayatan, dan telah dikuatkan oleh orang yang tidak disandarkan penguatannya jika ia menyendiri periwayatannya, jadi yang jelas bahwa hadits yang di dalamnya ada keutamaan 40 shalat di dalam masjid nabawi adalah hadits yang lemah tidak bisa dijadikan sandaran, dan berziarah tidak mempunyai batasan yang tertentu dan jika menziarahinya selama 1 jam atau dua jam atau sehari atau dua hari atau lebih banyak daripada itu maka tidak mengapa”. Lihat Majmu’ Fatawa  Ibnu Baz, juz 17/hal:406.

    Dan hadits yang lemah ini sudah ditutupi oleh sebuah hadits yang derajatnya hasan diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, no hadits: 241, tentang keutamaan selalu menjaga akan takbiratul ihram bersama jama’ah, dari shahabat Anas bin Malikradhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ النِّفَاقِ”.

     Artinya: “Barangsiapa yang shalat untuk Allah selama 40 hari di dalam  jama’ah, ia mendapati takbir yang pertama, maka niscaya dituliskan baginya dua keterlepasan, lepas dari neraka dan lepas dari kemunafikan”. Dihasankan oleh Imam Al Albani di dalam kitab Shahihut Tirmidzi, no hadits: 200.

    Dan keutamaan yang di dapat atas hadits ini menyeluruh di setiap masjid yang didirikan shalat berjama’ah, di daerah manapun dan tidak khusus hanya di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.


    Dan berdasarkan atas ini maka barangsiapa yang selalu menjaga shalat selama 40 hari, ia mendapati takbiratul ihram bersama jama’ah maka niscya dituliskan baginya dua keterlepasan,lepas dari neraka dan lepas dari kemunafikan, baik itu di masjid Nabawi atau Mekkah atau selain keduanya dari masjid-masjid yang ada.

    Sebelum diakhiri tulisan ini, perlu diingatkan akan beberapa keadaan yang semestinya tidak terjadi, yaitu sebagian para penziarah kota Madinah yang berkeyakinan bahwa selama di kota Madinah mengerjakan 40 kali shalat di Masjid Nabawi, setelah merampungkan jumlah shalatnya sebanyak 40 kali shalat, maka sebagian mereka tidak mau lagi menghadiri shalat berjamaah di Masjid Nabawi dengan keyakinan di atas tadi, yaitu sudah selesai 40 kali shalat!

    Padahal shalat di masjid Nabawi mendapatkan pahala 1000 shalat dibandingkan masjid lain selain masjid Al Haram Mekkah.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ ».

 Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallambersabda: “Satu shalat di masjidku ini lebih utama dari 1000 shalat dari masjid lainnya kecuali masjid Al Haram”. HR. Bukhari dan Muslim.

    Akibat keyakinan diatas, sebagian para penziarah kota Madinah yang notabenenya kebanyakan mereka adalah para jamaah haji baik sebelum atau sesudah pelaksanaan ibadah haji, telah melewatkan keutamaan yang tidak di dapatkan kecuali di Masjid Nabawi.

Wallahu a’lam. 
Sabtu, 26 Syawwal 1432H Dammam KSA
Sumber Penulis: Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc  Sumber Artikel Muslim.Or.Id













Daftar Artikel

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Haji - Menunaikan Hadyu Sebelum Idul Adha

Written By sumatrars on Senin, 22 Oktober 2012 | Oktober 22, 2012

 Hadyu adalah hewan yang disembelih sebagai kewajiban haji tamattu’ dan qiron. Apa yang kita bahas kali ini adalah yang terjadi pada sebagian jama’ah haji kita. Mereka menunaikan hadyu lebih awal. 

 Setelah selesai menunaikan umroh dan sambil menunggu hari tarwiyah, mereka sudah menunaikan hadyu meski jauh hari sebelum masuk bulan Dzulhijjah. Sepertinya ini pun jadi sindikat bisnis oleh orang-orang Indo yang ada di Mekkah. 

Karena jika hadyu diambil sebelum hari Idul Adha, pasti harganya jatuh murah. Jadinya sebagian orang ini menjadikan hal ini sebagai bisnis biar cepat mengais rizki padahal tidak mengetahui akan hukumnya.

Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz -semoga Allah merahmati beliau- ditanya, “Kami berihram dan kami mengambil manasik tamattu’. 

Kami telah menunaikan umrah dan kami pun telah bertahallul. Sebagian ada yang menyarankan untuk segera menunaikan hadyu dan segera disebar di Mekkah, jadinya berarti kita sudah melakukan sembelihan di Mekkah. 

 Kemudian kami ketahui setelah itu bahwa penyembelihan hadyu itu sah setelah melempar jumroh ‘aqobah. Aku sebenarnya telah mengetahui hal tersebut sebelumnya. 

Aku pun katakan pada mereka untuk menunda penyembelihan hingga hari Nahr (Idul Adha) atau setelah itu (pada hari tasyriq). Namun ada yang menyarankan untuk segera menunaikan sembelihan hadyu ketika kami sampai dan telah menunaikan umroh. Setelah satu hari dari umroh, kami pun menunaikan hadyu. 

Apa hukum masalah ini? Apa kewajiban kami dalam kondisi seperti ini?”

Syaikh rahimahullah menjawab,
“Barangsiapa yang menyembelih hadyu sebagai damm tamattu’ sebelum hari ‘ied, hadyunya tidaklah sah. Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidaklah pernah menyembelih hadyu kecuali telah masuk hari Nahr (Idul Adha). 

Mereka pernah tiba untuk menunaikan haji dan mereka mengambil manasik tamattu’ pada hari keempat Dzulhijjah. Mereka membawa hewan ternak dan unta, hewan-hewan tersebut tetap masih bersama mereka dan mereka baru menyembelihnya setelah datang hari Nahr (Idul Adha).

Jika penyembelihan hadyu dibolehkan sebelum Idul Adha, maka tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat segera melakukannya pada hari keempat Dzulhijjah (ketika mereka tiba) sebelum mereka bertolak menuju ‘Arofah. 

Karena manusia sudah butuh untuk menyantap daging saat itu. 

Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tidak menunaikannya saat itu namun baru menunaikan ketika datang hari Idul Adha, ini menunjukkan tidak sahnya

Sehingga yang menyembelih sebelum hari Idul Adha, maka ia telah menyelisihi ajaran Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. 

Jika kita melakukan syari’at baru, maka tentu tidak sah sebagaimana orang yang shalat atau puasa sebelum waktunya. Tidak puasa Ramadhan yang dilakukan sebelum waktunya. Tidak sah pula shalat yang dikerjakan sebelum waktunya, dan semacam itu.

Intinya, ibadah yang dilakukan sebelum waktunya tidaklah sah. Ia punya kewajiban untuk mengulangi sembelihan tersebut jika ia mampu. Jika tidak mampu, maka ia bisa memilih puasa selama tiga hari pada hari haji dan tujuh hari ketika kembali ke negerinya.  Jadinya, total puasa tersebut adalah sepuluh hari sebagai ganti dari sembelihan tadi. Karena Allah Ta’ala berfirman,

فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ

Bagi siapa yang ingin melakukan haji tamattu’ (mengerjakan ‘umrah sebelum haji di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.” (QS. Al Baqarah: 196).” 

[Fatawa Tata’allaq bi Ahkamil Hajj wal ‘Umroh waz Ziyaroh, hal. 83. Link fatwa]

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath Thorifiy -semoga Allah memberkahi umur beliau- berkata, “Tidak boleh menyembelih hadyu sebelum hari nahr (Idul Adha). Demikian pendapat jumhur (mayoritas) ulama, berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i

Imam Syafi’i menilai bolehnya menunaikan hadyu setelah seseorang masuk berihram untuk menunaikan haji. Perkataan beliau -rahimahullah- telah menyelisihi praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak diketahui dari para sahabat menyelisihi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini untuk melepas kewajiban.” (Shifat Hajjatin Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, hal. 192)
Wallahu waliyyut taufiq.

@ Jami’ah Malik Su’ud Riyadh-KSA, 3/12/1433 H

Sumber Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal  dan Sumber Artikel Muslim.Or.Id


Daftar Artikel

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan kirim Email untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit.
If you like the article on this blog, please send Email to subscribe free via email, that way you will get a shipment every article there is an article published.


Delivered by FeedBurner
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger