Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

BLOG AL ISLAM

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Arsip Blog

Twitter

Latest Post
Tampilkan postingan dengan label aqidah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label aqidah. Tampilkan semua postingan

MAKNA AKIDAH

Written By Rachmat.M.Flimban on Rabu, 10 Agustus 2022 | Agustus 10, 2022

MAKNA AKIDAH

Kata akidah atau i’tiqod secara bahasa berasal dari kata al ‘aqdu yang artinya berputar sekitar makna kokoh, kuat, dan erat. [1]
Adapun secara istilah umum, kata akidah bermakna keyakinan yang kokoh akan sesuatu, tanpa ada keraguan. [2]
Jika keyakinan tersebut sesuai dengan realitas yang ada maka akidah tersebut benar, namun jika tidak sesuai maka akidah tersebut bathil. [3]
Setiap pemeluk suatu agama memiliki suatu akidah tertentu. Namun kebenaran akidah hanya ada dalam islam. Karena dia bersumber dari Dzat yang Maha Mengetahui, yaitu Allah ta’ala. Sehingga karenanya tidak ada perbedaan antara akidah yang dibawa oleh para Nabi dari masa ke masa.Sumber: https://muslim.or.id/24808-makna-akidah.html
Adapun akidah yang bathil, mencakup semua akidah yang bertentangan dengan wahyu. Yaitu akidah yang hanya bersumber dari akal manusia, atau berasal dari wahyu namun dirubah dan diselewengkan. Seperti akidahnya orang yahudi bahwa Uzair adalah anak Allah, atau akidahnya orang Nashroni bahwa al masih adalah anak Allah, atau akidah syiah yang berkeyakinan bahwa Allah menyesal setelah berkehendak, yang dinamakan akidah bada’.
Dalam definisi syar’i, akidah dalam agama islam bermakna masalah masalah ilmiyah yang berasal dari Allah dan Rosulnya, yang wajib bagi setiap muslim untuk meyakininya sebagai pembenaran terhadap Allah dan Rosul Nya. [4]
Meskipun kata akidah dalam hal ini merupakan istilah baru[5] yang tidak dikenal dalam Al Qur’an maupun Sunnah[6], namun para ulama menggunakan istilah ini. Yang menunjukan kebolehan penggunaan istilah ini. Toh, tidak ada masalah dalam penggunaan istilah jika maknanya dipahami.
Diantara para ulama yang menggunakan istilah ini adalah Imam Al Laalakaai (418 H) dalam kitabnya Syarhul ushul I’tiqod ahlu sunnah wal jama’ah, kemudian Imam As Shobuni (449 H) dalam kitabnya Aqidas Salaf Ashaabul Hadits.
Baca juga: Pentingnya Aqidah Dalam Kehidupan Seorang Insan
Kemudian ada beberapa istilah yang semakna dengan akidah yang juga digunakan oleh para ulama, diantaranya:
Al Fiqhul Akbar
Pada awal kemunculannya kata fiqih dimaksudkan kepada ilmu tentang agama islam secara umum, dan terkhusus ilmu berkenaan dengan akherat, masalah masalah hati, penghancur amal dan sebagainya.[7] Namun kemudian makna ini berubah menjadi ilmu tentang hukum hukum dhohir praktis syar’I yang sekarang dikenal dengan ilmu fiqih.[8]
Sehingga karenanya ilmu fiqih di masa dahulu mencakup seluruh ilmu agama baik ilmu akidah yang bersifat bathin maupun ilmu hukum-hukum yang bersifat zahir. Dari sinilah kemudian muncul istilah Fiqhul Akbar yang dimaksudkan ilmu akidah. Karena ilmu akidah lebih agung dibandingkan ilmu cabang hukum-hukum zahir yang merupakan Fiqhul Ashghor.
Ulama yang pertama kali menggunakan istilah ini adalah Abu Hanifah (150 H) dalam kitabnya Al Fiqhul Akbar. Beliau berkata, “Al Fiqhul Akbar dalam agama lebih baik dari fiqih dalam ilmu, seseorang faqih tentang bagaimana cara beribadah kepada Rabb nya lebih baik dari mengumpulkan seluruh ilmu”[9]
Al Iman
Iman secara bahasa[10] bermakna At Tashdiq (pembenaran)[11] dan Al Iqroor (penetapan)[12]. Adapun secara istilah syar’i iman adalah pembenaran dan penetapan serta ketundukan terhadap kebenaran yang berasal dari wahyu.[13] Dan para ulama sepakat bahwa Iman mencakup perkataan dan perbuatan, perkataan hati dan lisan, perbuatan hati dan anggota badan.[14]
Istilah iman merupakan kata yang paling sering disebutkan dalam Al Qur’an maupun sunnah. Diantara para ulama yang menggunakan istilah ini adalah Ibnu Mandah (395 H) dalam kitabnya Kitabul Iman, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (728 H) juga dalam dua kitabnya yaitu Al Iman Ausath dan Al Imanul Kabir, kemudian juga Imam Bukhori dalam S- nya membuat bab di awal sohihnya dengan nama kitabul iman.[15]
As Sunnah
Kata sunnah memiliki makna yang bermacam macam tergantung disiplin ilmu masing masing[16]. Dalam ilmu fiqih sunnah adalah hal hal yang jika dikerjakan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan tidak apa apa. Dalam ilmu ushul fiqih assunnah bermakna sumber wahyu kedua setelah Al Qur’an. Dalam ilmu hadits assunnah merupakan persamaan kata dari akidah, dan seterusnya. Terkadang juga sunnah digunakan sebagai antitesa dari kata bid’ah. Namun kemudian banyak ulama yang menggunakan istilah sunnah ditunjukan kepada makna akidah dikarenakan urgensi ilmu akidah yang merupakan pokok agama islam. Diantara para ulama yang menggunakan istilah sunnah adalah Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hambal (327 H) dalam kitabus Sunnah dan Imam Al Barbahaari (329 H) dalam kitabnya Syarhus Sunnah.
As Sunnah
Kata sunnah memiliki makna yang bermacam macam tergantung disiplin ilmu masing masing[16]. Dalam ilmu fiqih sunnah adalah hal hal yang jika dikerjakan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan tidak apa apa. Dalam ilmu ushul fiqih assunnah bermakna sumber wahyu kedua setelah Al Qur’an. Dalam ilmu hadits assunnah merupakan persamaan kata dari akidah, dan seterusnya. Terkadang juga sunnah digunakan sebagai antitesa dari kata bid’ah. Namun kemudian banyak ulama yang menggunakan istilah sunnah ditunjukan kepada makna akidah dikarenakan urgensi ilmu akidah yang merupakan pokok agama islam. Diantara para ulama yang menggunakan istilah sunnah adalah Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hambal (327 H) dalam kitabus Sunnah dan Imam Al Barbahaari (329 H) dalam kitabnya Syarhus Sunnah.
At Tauhid
Kata tauhid terdapat dalam hadits Mu’adz ketika diutus ke yaman diatas. Diantara para ulama yang menggunakan kata ini adalah Ibnu Khuzaimah (311 H) dalam Kitabut Tauhid Wa Itsbaatu Shifaatir Rabb ‘Azza Wa Jalla , juga Imam Al Maqriizi (845 H) dalam kitabnya Tajridut Tauhid Al Mufid, serta Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab (1206 H) dalam Kitabut Tauhid Alladzi Huwa Haqqullah ‘Alal ‘Abid. Kitab kitab yang ditulis dengan istilah tauhid hanya membahas hal hal yang berkaitan dengan tauhid dengan ketiga macamnya, yang merupakan bagian dari ilmu akidah. Sehingga kitab kitab akidah lebih bersifat komprehensif (syumul). Selain membahas masalah tauhid, kitab kitab Akidah juga membahas hal hal lain seperti iman dan rukun rukunnya, islam dan rukun rukunnya, hal hal yang bersifat ghoib, kaidah kaidah dalam akidah yang pasti yang disepakati para ulama, wala dan baro, bantahan terhadap aliran sesat dll.[17]
As syari’ah
Secara umum akidah seperti sunnah, terkadang dimaksudkan seluruh yang disyariatkan oleh Allah kepada hambanya berupa hukum hukum yang disampaikan oleh para nabi. Terkadang dimaksudkan hanya masalah akidah, dan terkadang dimaksudkan masalah amaliyah fiqhiyah saja. Dalam Al Qur’an pun makna Syariah berbeda beda, terkadang syariat bermakna seluruh ajaran yang dibawa para nabi[18], terkadang dikhususkan ajaran setiap nabi yang berbeda antara satu nabi dengan yang lainnya[19], dan terkadang dikhususkan kepada kesamaan da’wah seluruh nabi yaitu tauhid.[20]
Adapun secara khusus makna Syari’ah adalah akidah yang diyakini oleh ahlu sunnah wal Jama’ah. Dan ini lah yang dimaksud oleh para ulama ketika menulis kitab kitab akidah dengan nama As Syari’ah. Diantara ulama yang menggunakan istilah ini adalah Imam Al Ajurri (360 H) dalam kitab beliau As Syarii’ah dan Ibnu Bathoh (387 H) dalam kitab beliau Al Ibaanah ‘Alaa Syarii’ati Firqotun Naajiyah.
Ushulud Din
Ashlu atau pokok adalah apa yang dibangun diatasnya sesuatu. Maka ushulud din adalah sesuatu yang agama dibangun diatasnya. Dan agama islam dibangun diatas akidah yang benar. Sehingga para ulama menggunakan istilah ini dengan makna ilmu akidah. Dan ini yang kita kenal dalam perguruan perguruan tinggi di timur tengah, saudi arabia khususnya fakultas yang berkonsentrasi membahas akidah adalah fakultas ushuluddin. Diantara ulama yang menggunakan istilah ini adalah Abu Hasan Al Asy’ari (324 H)dalam kitab beliau Al Ibanah ‘An Ushulid Diyanah, dan Ibnu Bathoh (387 H) dalam kitabnya Asy Syarhu wal Ibanag ‘An Ushulis sunnah Wad Diyanah. Wallahu ‘Alam.
Bacaan Selanjutnya: Perbedaan antara Aqidah, Tauhid dan Manhaj
Catatan kaki/Bookmark
[1] Lihat kata “عقد” dalam Mu’jam Maqoyisil Lughoh, Ibn Faris (4/86-87), Madkhol Lidiroosatil Akidah Al Islamiyah, Dr. Utsman Jum’ah Ad Dhomairiyah 9 (Maktabah As Sawaadi At Tauzi’, Cet 1; 1425 H, Jeddah) Hal. 87
[2] Al Mu’jam Al Washith 2/614
[3] Lihat : Ibnu Utsaimin Syarhul Akidah Wasathiyah, Hal.37 (Dar Tsuroyya Linnasyr, cet. 2 1426 H) dan Muhammad Kholil Harros, Syarhul Akidah Al Wasathiyah. Hal. 15 (Dar Imam Ahmad, cet 1, 1429 H)
[4] Lihat Dr. Sulaiman Umar Al Asyqor, Akidah Fillah (Dar Nufasaa, cet 15 1423 H, Urdun) hal. 12
[5] Meskipun asal katanya ada dalam Al Qur’an, seperti dalam Surat Al Ma’idah ayat 1 dan 89
[6] Madkhol Lidiroosatil Akidah Al Islamiyah, hal. 63
[7] Lihat : Mukhtashor Minhajil Qosidin, hal. 22
[8] Madkhol Lidiroosatil Akidah Al Islamiyah, hal. 65
[9] Ibid hal. 67-68
[10] Hal ini akan dibahas lebih rinci dalam makalah yang lain dengan judul Hakekat Iman antara Ahlu Sunnah dan Ahlu Bid’ah dalam waktu dekat Insya Allah.
[11] Lihat Fathul bari (1/46) Dr. Muhammad bin Ibrohim Al Hamd, Al Iman Haqiiqotuhu Wa Maa Yata’allaqu Bihi Minal Masaail (Dar Ibnu Khuzaimah, Hal. 14)
[12] Lihat Majmu Fatawa (7/638) Syarhul Aqidah Al Washatiyah Hal. 41
[13] Madkhol Lidiroosatil Akidah Al Islamiyah, hal. 70
[14] Majmu Fatawa (7/308)
[15] Imam bukhori membuka Shohih Bukhori nya dengan kitabul Iman dan menutupnya dengan kitabut Tauhid. Ini menunjukan fiqih beliau dalam setiap bab yang beliau tulis. Beliau ingin menunjukan bahwa tauhid atau iman merupakan kewajiban yang pertama dan yang terakhir. Namun ada perbedaan antara keduanya. Kitabul iman berisi penjelasan tentang iman, hakekat, cabang cabang cabangnya dan kelompok yang menyimpang dalam masalah ini yaitu murji’ah. Adapun tauhid berkenaan dengan tauhid terutama asma wa sifat serta bantahan terhadap kelompok yang menyimpang dalam hal ini yaitu jahmiyah al mu’athilah.
[16] Tentang makna sunnah lihat Al Kuliyyat (3/9-12) Madkhol Lidiroosatil Akidah Al Islamiyah, hal. 74-75
[17] Lihat Dr. Muhamad bin Ibrohim Al Hamd, Rosaail Fil Akidah (Dar Ibnu Khuzaimah, Riyadh, cet 1 1432 H) Hal. 11
[18] Seperti dalam Qs. Al Jatsiyah : 18
[19] Seperti dalam Qs. Al Maidah : 48
[20] Seperti dalam Qs. As Syuro : 13
Penulis: Abdullah Hazim
Disalin dari ;Sumber Artikel; Muslim.or.id muslim.or.
Penulis Ravhmat.M.Flimban

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Bahaya Mengkafirkan Sesama Kaum Muslimin

Written By Rachmat.M.Flimban on Minggu, 20 Maret 2022 | Maret 20, 2022

AQIDAH

Bahaya Mengkafirkan Sesama Kaum Muslimin
dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D

Mencela sesama kaum muslimin secara umum termasuk dalam perbuatan dosa besar, apalagi mengkafirkan sesama muslimin. Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran.” (HR. Bukhari no. 48 dan Muslim no. 64)

Lebih dari itu adalah mencela sesama muslim dengan melemparkan tuduhan bahwa dia telah kafir. Perbuatan ceroboh (penyakit) semacam ini telah menjangkiti sebagian kaum muslimin karena lemahnya pemahaman mereka terhadap aqidah dan manhaj yang benar. Padahal, banyak kita jumpai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan hal ini.

Diriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالفُسُوقِ، وَلاَ يَرْمِيهِ بِالكُفْرِ، إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ، إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ

“Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan fasik dan jangan pula menuduhnya dengan tuduhan kafir, karena tuduhan itu akan kembali kepada dirinya sendiri jika orang lain tersebut tidak sebagaimana yang dia tuduhkan.” (HR. Bukhari no. 6045)

Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, “Wahai kafir!” maka bisa jadi akan kembali kepada salah satu dari keduanya.” (HR. Bukhari no. 6104)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ

“Apabila seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut.” (HR. Muslim no. 60)

Dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ

“Apabila seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut.” (HR. Muslim no. 61)

Hadits-hadits di atas termasuk yang dinilai membingungkan, karena makna yang diinginkan tidak seperti yang tercantum dalam teks hadits. Menuduh (memvonis) sesama muslim dengan tuduhan kafir adalah maksiat, yang tidak sampai derajat perbuatan kekafiran. Sedangkan seorang muslim tidaklah dinilai (divonis) kafir hanya dengan sebab maksiat, seperti misalnya berzina, membunuh, demikian juga dengan menuduh saudara muslim dengan tuduhan kafir, tanpa meyakini batilnya agama Islam.

Oleh karena itu, terdapat beberapa penjelasan ulama berkaitan dengan hadits di atas.

Penjelasan pertama, hadits di atas dimaknai bagi orang-orang yang meyakini halalnya perbuatan tersebut (adanya istihlal dari pelaku). Kalau seseorang meyakini (memiliki i’tiqad) bahwa perbuatan tersebut halal, inilah yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir.

Kaidah dalam masalah ini adalah maksiat itu berubah menjadi kekufuran ketika pelakunya meyakini halalnya perbuatan maksiat tersebut. Kalau dia bermaksiat, namun dia merasa bersalah, maka itu statusnya tetap maksiat.

Penjelasan ke dua, yang kembali kepada dirinya adalah maksiat berupa pelecehan kepada saudaranya dan dosa maksiat akibat memvonis kafir saudaranya. Artinya, yang kembali kepada si penuduh adalah “maksiat menuduh kafir”.

Penjelasan ke tiga, sebagian ulama memaknai hadits ini khusus untuk orang-orang khawarij yang suka mengkafirkan kaum muslimin. Ini menurut pendapat ulama yang mengatakan bahwa sekte khawarij itu kafir. Akan tetapi, pendapat ini lemah karena pendapat yang tepat adalah bahwa kaum khawarij itu tidak kafir sebagaimana kelompok ahlul bid’ah yang lainnya, meskipun mereka hobi mengkafirkan sesama muslimin.

Penjelasan ke empat, maknanya adalah bahwa perbuatan itu akan mengantarkan kepada kekafiran. Hal ini karena maksiat adalah pos pengantar menuju kekafiran. Orang yang banyak dan terus-menerus berbuat maksiat dan tidak bertaubat, maka dikhawatirkan lama-lama akan berujung kepada kekafiran.

Penjelasan ke lima, yang kembali kepada dirinya sendiri adalah “vonis (tuduhan) kafir”, bukan maksudnya kalau dirinya menjadi benar-benar kafir. Hal ini karena ketika dia menuduh saudara sesama muslim dengan tuduhan kafir, maka seolah-olah dia sedang menuduh dirinya sendiri, karena muslim yang satu dengan yang lain bagaikan satu tubuh (satu badan).

Demikianlah lima penjelasan ulama tentang maksud hadits bahwa siapa saja yang menuduh saudara sesama muslim dengan tuduhan kafir, maka tuduhan kafir itu akan kembali kepada si penuduh.

Kesimpulan, perbuatan (suka) menuduh sesama muslim dengan tuduhan kafir adalah perkara maksiat yang berbahaya. Seharusnya kita menjauhkan diri kita dari perbuatan mengkafirkan sesama muslimin. [Selesai]


Sumber: Muslim.or.id

Catatan kaki:
Disarikan dari kitab Afaatul Lisaan fii Dhau’il Kitaab was Sunnah, karya Syaikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani rahimahullahu Ta’ala, hal. 86-90.

Penulis; Rachmat.M.Ma,Flimban
Artikel: Muslim.or.id ; Penulis: M
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Mengatakan Allah Punya Anak, Hampir-Hampir Langit Terbelah

Written By sumatrars on Selasa, 20 Januari 2015 | Januari 20, 2015

Category : Aqidah,

Mengatakan Allah Punya Anak, Hampir-Hampir Langit Terbelah

Pantaskah Allah dikatakan punya anak seperti yang disuarakan oleh orang Nashrani? Sungguh perkataan ini adalah perkataan mungkar yang hampir membuat langit terbelah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا (٨٨) لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا (٨٩) تَكَادُ السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (٩٠) أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا (٩١) وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا (٩٢)

“Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda’wakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” (QS. Maryam: 88-92)

Inilah sanggahan yang telak pada orang yang menyatakan Allah memiliki anak seperti yang disuarakan oleh orang Nashrani. Orang Nashrani menyatakan Isa sebagai putera Allah. Juga orang Yahudi menyatakan bahwa Uzair itu putera Allah. Sedangkan orang musyrik menyatakan bahwa malaikat adalah anak perempuan Allah. Maha Suci Allah akan perkataan busuk mereka.

Allah pun membantah bahwa sungguh perkataan tersebut sangat-sangat keji. Yang menunjukkan bahayanya perkataan semacam itu, Allah katakan bahwa hampir-hampir saja langit runtuh. Gara-gara perkataan itu pula, bumi hampir saja terbelah. Gunung-gunung pun ikut hancur lantaran perkataan mungkar tersebut.

Ingatlah, Allah tidak pantas dikatakan demikian. Apabila dinyatakan Allah memiliki anak, itu menunjukkan adanya sifat kekurangan dan itu sama saja menandakan Allah itu butuh pada makhluk. Padahal Allah itu “al ghoniy al hamiid”, yang Maha Cukup (artinya: tidak butuh pada makhluk-Nya) dan Maha Terpuji.

Begitu pula jika ada yang mengatakan Allah memiliki anak, berarti anak itu akan serupa dengan orang tuanya. Padahal tidak ada yang serupa dengan Allah Ta’ala. Demikian yang dikatakan oleh Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya, Taisir Al Karimir Rahman.

Berarti kekeliruan dari pernyataan Allah itu memiliki anak: (1) Allah itu tidak butuh pada makhluk, (2) Allah itu tidak serupa dengan makhluk sebagaimana kemiripan antara orang tua dan anak.

Ka’ab Al Ahbar mengatakan,

غضبت الملائكة، واستعرت النار ، حين قالوا ما قالوا

Malaikat akan murka, api neraka akan panas menyala ketika mereka menyuarakan apa yang mereka katakan.

Meski dikatakan seperti itu, Allah masih tetap memberikan rezeki. Meskipun disakiti, Allah tetap memberikan maaf. Dalam hadits yang dikeluarkan dalam shahihain,

لَيْسَ أَحَدٌ – أَوْ لَيْسَ شَىْءٌ – أَصْبَرَ عَلَى أَذًى سَمِعَهُ مِنَ اللَّهِ ، إِنَّهُمْ لَيَدْعُونَ لَهُ وَلَدًا ، وَإِنَّهُ لَيُعَافِيهِمْ وَيَرْزُقُهُمْ

Tidak ada sesuatu pun yang lebih sabar dari bentuk disakiti yang ia dengar selain Allah. Mereka menyatakan bahwa Allah memiliki anak. Meski demikian, Allah masih memaafkan mereka dan tetap memberikan mereka rezeki.” (HR. Bukhari no. 6099 dan Muslim no. 2804, dari Abu Musa). Demikian pelajaran dari Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir rahimahullah.

Namun tetap perkataan “Allah itu punya anak” adalah mungkar.

Ibnu Katsir menyatakan,

وأنه لا إله إلا هو، وأنه لا شريك له، ولا نظير له ولا ولد له، ولا صاحبة له، ولا كفء له، بل هو الأحد الصمد:
وفي كُلّ شَيءٍ له آيةٌ … تَدُل على أنه واحِدُ …

Tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Allah tidaklah memiliki anak dan istri. Tidak ada yang semisal dengan-Nya. Allah itu Al Ahad Ash Shomad (Maha Esa dan semua makhluk bergantung pada-Nya).

Pada segala sesuatu terdapat ayat (tanda kuasa Allah), itu semua menunjukkan Allah itu Esa.” Demikian dinukil dari Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim.

Dari sini, apakah pantas seorang muslim mengucapkan selamat natal, padahal maksud natal adalah memperingati kelahiran Isa sebagai anak Tuhan?! Tidak pantas menyatakan pula mengucapkan natal masuk dalam perselisihan fikih, dan bukan dalam ranah akidah.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Source article: Desember 26, 2014 Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. Rumaysho.Com,

Article : Blog Al-Islam


Back to Top

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Memuji Non Muslim, Orang Kafir dan Agama Kafir

Written By sumatrars on Senin, 19 Januari 2015 | Januari 19, 2015



Category : Aqidah,

Source article: Desember 22, 2014, Rumaysho.Com, Muhammad Abduh Tuasikal, MSc.

Bagaimanakah hukum memuji non muslim atau orang kafir? Bagaimana juga jika sampai memuji agama atau kekafiran mereka?

Dalam Al Qur’an, kita tidak diperbolehkan menjadikan non muslim sebagai pemimpin kita atau menjadikan mereka sebagai awliya’. Namun maksud awliya’ juga adalah menjadikan sebagai kekasih, orang yang dicintai, dan teman dekat, seperti itu tidak dibolehkan. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)

Sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al Jalalain, yang dimaksud menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai awliya’ adalah menjadikan sebagai pemimpin dan sebagai teman.

Siapa yang menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin dan teman dekat, maka ia termasuk golongan mereka. Yang dimaksud kata Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya, siapa yang mencintai orang kafir secara sempurna, maka ia berarti berpindah pada agama mereka. Siapa yang mencintai sedikit, maka dapat menyeret pada kecintaan yang lebih. Perlahan-lahan akan mencintai mereka secara berlebihan sampai akhirnya pun menjadi bagian dari mereka. Itulah efek jelek dari mencintai orang kafir.

Jika loyal pada orang kafir tidaklah dibolehkan, maka memuji mereka pun tidak diperkenankan. Inilah di antara prinsip muslim yang telah dicontohkan oleh para ulama kita.

Al ‘Allamah Abu Ath Thoyyib Shidiq bin Hasan Al Bukhari rahimahullah dalam kitabnya Al ‘Ibrah (hal. 245), ia berkata,

وأما من يمدح النصارى ، ويقول إنهم أهل العدل ، أو يحبّون العدل ، ويكثر ثناءهم في المجالس ، ويهين ذكر السلطان للمسلمين ، وينسب إلى الكفار النّصيفة وعدم الظلم والجور ؛ فحكم المادح أنه فاسق عاص مرتكب لكبيرة ؛ يجب عليه التوبة منها والندم عليها ؛ إذا كان مدحه لذات الكفار من غير ملاحظة الكفر الذي فيهم . فإن مدحهم من حيث صفة الكفر فهو كافر

Siapa saja yang memuji orang Nashrani, menyatakan mereka adalah orang yang adil, orang Nashrani itu mencintai keadilan, pujian seperti ini pun banyak disuarakan di majelis, maka yang memuji termasuk orang fasik dan pelaku dosa besar. Sedangkan sikapnya untuk pemimpin atau raja muslim jadi dihinakan. Adapun orang kafir diagung-agungkan dan tidak pernah disebut zalim. Orang yang melakukan seperti itu wajib bertaubat dan menyesal atas sikapnya.

Sedangkan kalau yang dipuji adalah dari sisi akidah kafir yang mereka anut, maka memuji mereka termasuk kekafiran.”

Guru kami, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir Al Barrak hafizhohullah berkata,

” من اعتقد أن اليهود والنصارى على دين صحيح فهو كافر ، ولو عمل بكل شرائع الإسلام وأنه مكذب لعموم رسالته صلى الله عليه وسلم .وعلى هذا فذِكر ما عند الكفار من أخلاق محمودة على وجه المدح لهم والإعجاب بهم وتعظيم شأنهم حرام ، لأن ذلك مناقض لحكم الله فيهم ” انتهى .

Siapa yang meyakini bahwa agama Yahudi dan Nashrani itu benar, maka ia kafir walaupun ia menjalani berbagai syariat Islam. Realitanya ia telah mendustakan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya saja yang memuji non muslim dari sisi akhlak, kagum pada tingkah laku serta mengagungkan mereka, demikian itu haram. Seperti itu bertentangan dengan hukum Allah pada mereka.

Saudara-saudara para pembaca Rumaysho.Com, cobalah menilai pemahaman JIL (Jaringan Islam Liberal) yang sangat gemar menghaturkan pujian pada non muslim, bahkan menyanjung setinggi langit agama dan ajaran mereka, sesatkah atau tidakkah mereka?

Semoga Allah memberikan kita taufik dan hidayah pada akidah yang benar.

Saat ini masjid pesantren binaan Ustadz M. Abduh Tuasikal sedang direnovasi (dijadikan dua lantai) dan membutuhkan dana sekitar 1,5 Milyar rupiah. Dana yang masih kurang untuk pembangunan tahap kedua, dibutuhkan sekitar 850 juta rupiah.
Bagi yang ingin menyalurkan donasi renovasi masjid, silakan ditransfer ke: (1) BCA: 8610123881, (2) BNI Syariah: 0194475165, (3) BSM: 3107011155, (4) BRI: 0029-01-101480-50-9 [semua atas nama: Muhammad Abduh Tuasikal].
Jika sudah transfer, silakan konfirmasi ke nomor 0823 139 50 500 dengan contoh sms konfirmasi: Rini# Jogja# Rp.3.000.000#BCA#20 Mei 2012#renovasi masjid. Laporan donasi, silakan cek di sini.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top

?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Mendoakan Non Muslim: Semoga Engkau Mendapat Hidayah



Category : Aqidah,
Source article: Desember 20, 2014, Rumaysho.Com, Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

Islam memerintahkan untuk tetap berbuat baik pada non muslim. Seperti masih dibolehkan menyapa dan menanyakan kabar mereka, bahkan sampai mendoakan mereka dapat hidayah ketika mereka masih hidup asalkan bentuknya bukanlah salam.

Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9)

Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah mengatakan bahwa bentuk berbuat baik dan adil di sini berlaku kepada setiap agama. Lihat Tafsir Ath Thobari, 28: 81.

Di antara bentuk berbuat baik yang masih dibolehkan pada non muslim adalah menghormati mereka dengan mengutarakan kata-kata yang baik, mengucapkan selamat pagi, selamat sore, atau sekedar bertanya keadaan keluarga, istri dan anak. Begitu pula masih dibolehkan mendoakan mereka agar mendapatkan taufik, kebahagiaan dan kebaikan, dan tetap pula berkata pada mereka dengan perkataan yang lemah lembut. Lihat penjelasan Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid dalam Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 219514.

Jadi jangan mengira bahwa larangan memulai mengucapkan salam berarti tidak boleh melakukan hal-hal di atas. Memang prinsip ini diajarkan dalam Islam, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ

Jangan kalian mengawali mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nashrani.” (HR. Muslim no. 2167).

Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh memulai mengucapkan salam pada non muslim yaitu Yahudi dan Nashrani. Dilarang demikian karena ‘as salaam’ adalah di antara nama Allah. As salaam cuma ditujukan pada orang yang khusus –khusus menurut agama kita-.

Ucapan tersebut hanya khusus dimulai pada sesame muslim. Sedangkan untuk non muslim, bisa dengan ucapan marhaban (selamat datang), moga di pagi ini engkau berbahagia, ahlan wa sahlan, itu masih dibolehkan.

Dalam Al Majmu’ (4: 607-608), Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika seseorang memberi ucapan penghormatan pada kafir dzimmi dengan ucapan selain ucapan salam, maka Al Mutawalli dan Ar Rofi’i membolehkan hal ini. Misalnya, ada yang mengucapkan pada non muslim ‘semoga Allah memberi hidayah untukmu’, ‘semoga Allah memberi nikmat padamu di pagi ini’, seperti itu tak bermasalah. Apalagi kalau butuh memberikan penghormatan seperti itu untuk mencegah tindak jelek mereka atau semacam itu dengan memberi ucapan ‘semoga Allah memberikan kebaikan, kebahagiaan, keselamatan atau kegembiraan padamu di pagi ini’. Sedangkan jika ucapan seperti itu tidak dibutuhkan, maka ada pilihan untuk tidak berucap apa-apa. Karena jika tak ada kepentingan, maka nantinya jadi berkasih sayang dengan mereka. Padahal asalnya seorang muslim tetap bersikap tidak loyal pada non muslim.

Berarti yang kita bahas, mendoakan ‘semoga engkau dapat hidayah‘ pada non muslim dibolehkan.
Semoga Allah memberikan hidayah demi hidayah pada akidah yang lurus.

Saat ini masjid pesantren binaan Ustadz M. Abduh Tuasikal sedang direnovasi (dijadikan dua lantai) dan membutuhkan dana sekitar 1,5 Milyar rupiah. Dana yang masih kurang untuk pembangunan tahap kedua, dibutuhkan sekitar 850 juta rupiah.
Bagi yang ingin menyalurkan donasi renovasi masjid, silakan ditransfer ke: (1) BCA: 8610123881, (2) BNI Syariah: 0194475165, (3) BSM: 3107011155, (4) BRI: 0029-01-101480-50-9 [semua atas nama: Muhammad Abduh Tuasikal].
Jika sudah transfer, silakan konfirmasi ke nomor 0823 139 50 500 dengan contoh sms konfirmasi: Rini# Jogja# Rp.3.000.000#BCA#20 Mei 2012#renovasi masjid. Laporan donasi, silakan cek di sini.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top



?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Aqidah, Kuliah Agama Hanya untuk Cari Gelar



Category : Aqidah2
Source article: Rumaysho.com, Muhammad Abdu Tuasikal, MSc.

Des 19, 2014

Bagaimana jika ada yang kuliah agama namun hanya untuk cari gelar (Dr., MA, MAg, SAg, Lc)?

Niat ikhlas tentu saja sangat dibutuhkan dalam kita mempelajari ilmu agama. Karena tanpa niat yang benar, amalan kita jadi sia-sia. Oleh karena itu, para ulama sejak masa silam sangat perhatian sekalian dengan niatnya. Jangan-jangan karena niatan yang tidak ikhlas itulah yang membuat amalan termasuk pula menuntut ilmu agama menjadi sia-sia.

Siksaan Bagi Orang yang Belajar Agama Hanya untuk Dipuji

Coba tengok, siksaan bagi orang yang belajar agama namun tidak ikhlas begitu pedih. Ikhlas itu berarti mengharap ridha Allah dengan amalan tersebut, bukan sanjungan atau pujian manusia.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ ف&#161 6;ي&#16 07;َا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ. قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ جَرِىءٌ. فَقَدْ قِيلَ.ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ

Orang yang pertama kali diputuskan pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati syahid di jalan Allah. Lalu dia didatangkan, kemudian Allah memperlihatkan kepadanya nikmat-Nya, maka dia pun mengenalinya. Allah berkata, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?” Orang tersebut menjawab, “Aku telah berperang di jalan-Mu sampai aku mati syahid.” Allah berkata, “Engkau dusta, akan tetapi engkau melakukan itu supaya disebut sebagai seorang pemberani dan ucapan itu telah dilontarkan.Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dibawa, maka dia diseret dengan wajahnya (terjerembab di tanah), sampai dia pun dilemparkan di neraka.

وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ. قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ. وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ. فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ

Kemudian ada orang yang belajar agama dan mengajarkannya, serta membaca Al Qur’an. Lalu orang itu didatangkan, lalu Allah memperlihatkan nikmat-Nya dan orang itu pun mengenalinya. Allah berkata, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?” Orang itu menjawab, “Aku telah belajar agama, mengajarkannya dan aku telah membaca Al Qur’an.” Allah berkata, “Engkau dusta, akan tetapi engkau belajar agama supaya disebut alim dan engkau membaca Al Quran supaya disebut qari’ dan ucapan itu telah dilontarkan.” Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dibawa, maka dia pun diseret dengan wajahnya (terjerembab di tanah) sampai dia pun dilemparkan di neraka.”

وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ. فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِىَ فِى النَّارِ

“Kemudian ada seorang laki-laki yang diberikan kelapangan oleh Allah dan menganugerahinya segala macam harta. Lalu dia pun didatangkan, lalu Allah memperlihatkan nikmat-Nya itu dan orang itu pun mengenalinya. Allah berkata, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?” Orang itu menjawab, “Aku tidak meninggalkan satu jalan pun sebagai peluang untuk berinfak melainkan aku berinfak di situ semata-mata karena-Mu.” Allah berkata, “Engkau dusta, akan tetapi engkau melakukan seperti itu supaya disebut dermawan dan ucapan itu telah dilontarkan.” Maka orang itu diperintahkan untuk dibawa, lalu dia pun diseret dengan wajahnya (terjerembab di tanah), kemudian dia dilemparkan di neraka.” (HR. Muslim no. 1905)

Bagaimana Kuliah Agama Hanya untuk Cari Gelar?

Syaikh As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Siapa yang jihadnya dengan lisan dan perbuatannya untuk membela kebenaran, itu disebut orang yang ikhlas. Sedangkan yang punya maksud selain itu, ia akan mendapatkan sesuai yang diniatkan dan amalannya tidak diterima.” Beliau melanjutkan, “Seluruh amalan shalih yang dilakukan oleh orang yang riya’, amalannya itu batil karena luput dari ketidak-ikhlasan. Padahal setiap amalan shalih harus didasari ikhlas. Amalan tidak hanya ikhlas namun hendaklah mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak, amalan tersebut tertolak.” (Al Qowa’id wal Ushul Al Jami’ah, hal. 37)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu (belajar agama) yang seharusnya diharap adalah wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat.” (HR. Abu Daud no. 3664, Ibnu Majah no. 252 dan Ahmad 2: 338. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Berdasarkan hal di atas, kebanyakan orang bingung bagaimana hukum mengambil kuliah jurusan agama yang tujuannya hanya untuk mencari ijazah (mencari gelar). Ada yang menyatakan, “Kami tidak mau kuliah agama karena sulit masuk surga (karena niatan yang tidak ikhlas, -pen).” Cukup katakan pada orang yang mengutarakan semisal itu, saat ini kita hidup di zaman yang apa-apa butuh ijazah baik perihal agama ataupun urusan dunia. Masa kini adalah masa di mana selembar ijazah itu sangat dibutuhkan. Yang tidak memiliki ijazah saat ini tidak bisa menempati posisi penting, baik posisi mengajar, menjadi qadhi (hakim), atau meraih posisi krusiala lainnya.

Karenanya belajar di universitas (kuliah agama) untuk meraih ijazah supaya mendapatkan posisi strategis dalam dakwah dan bermanfaat bagi kaum muslimin, seperti itu tidaklah menafikan keikhlasan.

Adapun jika ada yang miskin lalu punya niatan bahwa ia ingin menempuh kuliah agama agar mendapatkan ijazah. Dari situlah ia mendapatkan harta, namun sayangnya ia tidak punya keinginan untuk meraih akhirat sama sekali. Orang seperti ini dikatakan berdosa.

Namun ini berbeda jika yang ditempuh adalah kuliah teknik supaya menjadi lulusan sarjana teknik, lalu ia mencari pekerjaan dengan ijazahnya tersebut, seperti ini tidaklah masalah. Karena ilmu teknik tidak masuk dalam ilmu syari’at.

Akan tetapi, ilmu agama tetap lebih afdhol dari ilmu dunia tersebut. Karena ilmu agama itu lebih dibutuhkan. Para ulama itu lebih dibutuhkan untuk membimbing umat sehingga mereka bisa berada di jalan yang lurus.” (At Ta’liq ‘ala Al Qawa’id Al Ushul Al Jami’ah, hal. 72-73).

Perhatikan Niat Ikhlas dalam Belajar

Simak perkataan salaf berikut yang menunjukkan meluruskan niat untuk ikhlas butuh kesungguhan. Dari Sulaiman bin Daud Al Hasyimiy, ia berkata,

ربَّما أُحدِّثُ بحديثٍ ولي نيةٌ ، فإذا أتيتُ على بعضِه ، تغيَّرت نيَّتي ، فإذا الحديثُ الواحدُ يحتاجُ إلى نيَّاتٍ

Terkadang ketika aku mengutarakan satu hadits, aku butuh satu niat. Ketika aku mengarah ke sebagiannya, beralihlah niatku. Dapat disimpulkan bahwa satu hadits ternyata butuh beberapa niat.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 83).

Sahl bin ‘Abdullah At Tusturi berkata,

ليس على النَّفس شيءٌ أشقُّ مِنَ الإخلاصِ ؛ لأنَّه ليس لها فيه نصيبٌ

Tidak sesuatu yang lebih berat pada jiwa selain keikhlasan. Satu bagian pun teramat sulit dicapai oleh jiwa.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 84).

Yusuf bin Al Husain Ar Rozi mengutarakan,

أعزّ شيءٍ في الدُّنيا الإخلاصُ ، وكم اجتهد في إسقاطِ الرِّياءِ عَنْ قلبي ، وكأنَّه ينبُتُ فيه على لون آخر

Sesuatu yang paling sulit (untuk diraih, -pen) di dunia adalah ikhlas. Seringnya aku berusaha untuk menghapus riya’ dari hatiku, namun riya’ itu tumbuh lagi dengan warna yang lain. ” (Idem)

Ya Allah, mudahkanlah kami untuk selalu ikhlas dalam melakukan ketaatan pada-Mu. Aamiin, Ya Saami’ad Du’aa.

Referensi:

Al Qawa’id wal Ushul Al Jami’ah, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, tahqiq: Dr. Khalid bin ‘Ali bin Muhammad Al Musyaiqih, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan kedua, tahun 1432 H.

At Ta’liq ‘ala Al Qawa’id Al Ushul Al Jami’ah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, terbitan Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, cetakan tahun 1433 H.

Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan kesepuluh, tahun 1432 H.


Segera pesan buku Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal yang membicarakan masalah natal dan loyal pada non muslim dengan judul “Natal, Hari Raya Siapa?” dan “Kesetiaan pada Non Muslim” di Toko Online Ruwaifi.Com via sms +62 852 00 171 222 atau BB 27EACDF5 atau WA +62 8222 604 2114. Kirim format pesan: buku natal dan kesetiaan#nama pemesan#alamat#no HP#jumlah buku. Harga Rp.20.000,- untuk dua buku (belum termasuk ongkir).
Saat ini masjid pesantren binaan Ustadz M. Abduh Tuasikal sedang direnovasi (dijadikan dua lantai) dan membutuhkan dana sekitar 1,5 Milyar rupiah. Dana yang masih kurang untuk pembangunan tahap kedua, dibutuhkan sekitar 850 juta rupiah.
Bagi yang ingin menyalurkan donasi renovasi masjid, silakan ditransfer ke: (1) BCA: 8610123881, (2) BNI Syariah: 0194475165, (3) BSM: 3107011155, (4) BRI: 0029-01-101480-50-9 [semua atas nama: Muhammad Abduh Tuasikal].
Jika sudah transfer, silakan konfirmasi ke nomor 0823 139 50 500 dengan contoh sms konfirmasi: Rini# Jogja# Rp.3.000.000#BCA#20 Mei 2012#renovasi masjid. Laporan donasi, silakan cek di sini.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top



?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Aqidah, Muslim Kok Bangga dengan Setan Merah?



Category : Aqidah
Source article: Rumaysho.Com

Des 11, 2014

Kenapa sampai ada muslim yang begitu bangga dengan setan merah (red devils) di dada, padahal yang dibanggakan adalah setan. Setan itu bukan diagungkan, namun dihinakan.

Setan itu Dihinakan, Bukan Dibanggakan

Setan itu dihinakan, bukan dibanggakan, bukan didukung. Mari kita ambil pelajaran dari hadits yang membicarakan sujud sahwi berikut.

Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ

Jika salah seorang di antara kalian memiliki keragu-raguan dalam shalatnya, ia tidak tahu, apakah sudah melaksanakan shalat tiga ataukah empat raka’at, maka buanglah jauh-jauh keragu-raguan tersebut dan berpeganglah dengan yang yakin. Kemudian lakukanlah sujud sahwi dengan dua kali sujud sebelum salam. Jika shalatnya jadinya lima raka’at, maka sujud sahwi tersebut untuk menggenapkan. Jika shalatnya ternyata sudah sempurna, maka tujuan sujud sahwi adalah untuk menghinakan setan.” (HR. Muslim no. 571).

Yang dimaksud targhiman lisy syaithon adalah menghinakan setan. Karena targhiman itu berasal dari kata rughom yang berarti debu. Jadi maksudnya adalah Allah menghinakan dengan menaruh debu di hidungnya. Demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah.

Makna hadits adalah setan itu memberikan was-was kepada setiap orang yang shalat. Setan ingin membuat shalatnya batal atau ada kekurangan. Dari sini, Allah memberikan jalan keluar bagi yang shalat untuk menutupi kekurangan tersebut dengan sujud sahwi. Di samping itu, sujud sahwi bertujuan untuk mengatasi was-was, menghinakan setan, mengusirnya, menjauhkan dari maksud setan dan menyempurnakan shalat seseorang. Untuk menjalankan perintah Allah pun termasuk tujuan dari sujud sahwi karena setan itu enggan untuk sujud ketika diperintah. Lihat Syarh Shahih Muslim karya Imam Nawawi rahimahullah, 5: 55.

Dari hadits di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menjelaskan, “Sudah sepantasnya manusia itu menghinakan dan merendahkan setan. Hal ini untuk menjalankan perintah Allah sebagaimana yang sudah disebutkan dalam hadits ‘sujud sahwi tersebut untuk menghinakan setan’.”

Beliau rahimahullah juga menyatakan, “Menghinakan setan dan para pendukungnya termasuk perkara yang dicintai oleh Allah Ta’ala.” (Fathu Dzil Jalali wal Ikram bi Syarh Bulughil Maram, 4: 61-62)

Nah kalau ada yang bangga dengan lambang setan merah di dadanya, sungguh jauh dari apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Setan itu dihinakan, bukan diagungkan dan dibela.

Muslim itu Tidak Bangga dengan Setan (Devils)

Memakai kaos bola setan merah dapat termasuk tasyabbuh dengan orang kafir. Karena yang bangga dengan setan bukanlah orang beriman. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan seorang muslim tidak memiliki sifat loyal pada non muslim,

لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah: 22).

Larangan tasyabbuh (menyerupai orang kafir) juga disebutkan dalam hadits dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ 1: 269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا

Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Setan itu Musuh

Setan itu menyesatkan manusia dari jalan yang lurus. Setan itu adalah musuh dari para Nabi. Allah Ta’ala berfirman,

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al An’am: 112)

Allah Ta’ala juga menyebutkan,

وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا

“Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Al Isra’: 53).

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (QS. Fathir: 6).

Layakkah muslim bangga dengan SETAN MERAH? Think!

Silakan renungkan jika Anda adalah seorang muslim yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya. Hanya Allah yang memberi hidayah.

Referensi:

Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.

Fathu Dzil Jalali wal Ikram bi Syarh Bulughil Maram, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, cetakan pertama, tahun 1429 H.


Selesai disusun di Panggang, Gunungkidul @ Darush Sholihin, 18 Safar 1436 H menjelang Ashar
Saudaramu yang mencintaimu karena Allah: Muhammad Abduh Tuasikal

Segera pesan buku Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal yang membicarakan masalah natal dengan judul “Natal, Hari Raya Siapa?” di Toko Online Ruwaifi.Com via sms +62 852 00 171 222 atau BB 27EACDF5 atau WA +62 8222 604 2114. Kirim format pesan: buku natal#nama pemesan#alamat#no HP#jumlah buku. Harga Rp.8.000,- (belum termasuk ongkir).

Saat ini masjid pesantren binaan Ustadz M. Abduh Tuasikal sedang direnovasi (dijadikan dua lantai) dan membutuhkan dana sekitar 1,5 Milyar rupiah. Dana yang masih kurang untuk pembangunan tahap kedua, dibutuhkan sekitar 850 juta rupiah.

Bagi yang ingin menyalurkan donasi renovasi masjid, silakan ditransfer ke: (1) BCA: 8610123881, (2) BNI Syariah: 0194475165, (3) BSM: 3107011155, (4) BRI: 0029-01-101480-50-9 [semua atas nama: Muhammad Abduh Tuasikal].
Jika sudah transfer, silakan konfirmasi ke nomor 0823 139 50 500 dengan contoh sms konfirmasi: Rini# Jogja# Rp.3.000.000#BCA#20 Mei 2012#renovasi masjid. Laporan donasi, silakan cek di sini.

Article : Blog Al-Islam


Back to Top



?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Aqidah

Written By sumatrars on Jumat, 16 Januari 2015 | Januari 16, 2015



Category : Aqidah
Source article: http://rumaysho.com, Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

Hati-Hati dengan Dewi Nike

Patung Dewi Nike

Beberapa produk kaos atau baju ada yang tertera tulisan Nike. Tahukah Nike itu siapa? Ternyata Nike itu nama sesembahan non muslim, yaitu nama dewi kemenangan. Bolehkah menggunakan produk semacam itu?
Nike itu Nama Dewi Kemenangan

Nike itu adalah nama dewi kemenangan atau keberhasilan. Kita sudah tahu bagaimanakah dewa dan dewi adalah nama sesembahan orang musyrik.

Mari kita lihat benarkah Nike adalah seorang Dewi. Disebutkan dalam Wikipedia sebagai berikut.

Dalam mitologi Yunani, Nike (yang berarti kemenangan) adalah dewi yang dihubungkan dengan kemenangan dan keberhasilan. Bangsa Romawi menyamakan Dewi Nike dengan Dewi Victoria. Menurut berbagai dongeng, Dewi Nike disebutkan sebagai putri dari Pallas (Titan) dan Stiks (dewi sungai), saudari dari Kratos, Bia dan Zelos. Dewi Nike dan dan saudara saudari kandungnya menyertai Zeus pada saat perang melawan Titan.

Nike sering digambarkan bersayap dalam lukisan maupun patung. Sebagian besar dewa-dewi Yunani kuno dapat melepaskan sayapnya. Nike adalah dewi kekuatan, kecepatan dan kemenangan baik dalam peperangan maupun dalam kompetisi. Nike berteman dekat dengan Athena (dewi kebijaksanaan).

Nike merupakan salah satu dewi yang figurnya digunakan pada koin. Selain itu figur Nike juga digunakan untuk piala FIFA pertama yang dikenal sebagai piala Jules Rimet. Sejak tahun 1928, figur nike digunakan untuk medali Olimpiade musim panas, yang digambarkan sedang memegang daun palem ditangan kiri dan mahkota kemenangan ditangan kanan.

Perusahaan sport terkemuka, Nike Inc mengambil nama dewi Nike berikut lambang perusahaan yang ditafsirkan dari sayap Nike. (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Nike_%28mitologi%29)
Orang Muslim Tidak Boleh Mendukung Syiar Non Muslim

Orang muslim tentu saja tidak boleh mendukung syiar non muslim. Karena orang muslim punya prinsip setia pada muslim dan berlepas diri dari non muslim. Bentuk berlepas diri adalah tidak mendukung simbol mereka. Allah Ta’ala berfirman,

لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah: 22).

Prinsip ini pun telah diajarkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sebagaimana disebutkan dalam ayat Al Qur’an,

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah.” (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS. Al Mumtahanah: 4). Itulah prinsip seorang muslim berlepas diri dari agama non muslim, bentuknya adalah tidak mendukung syiar non muslim.

Bayangkan saja bagaimana jika ada muslim yang memakai baju bertuliskan Yesus, bertuliskan Budha, atau memiliki simbol salib, tentu saja kita sebagai seorang muslim khawatir pada keislamannya. Jangan-jangan kita tidak yakin dia itu muslim.
Coba lihat contoh bagaimanakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyikapi sahabatnya yang masih menggunakan salib (simbol agama Nashrani).

‘Adi bin Hatim pernah berkata bahwa beliau pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan memakai salib dari emas di lehernya. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

يَا عَدِىُّ اطْرَحْ عَنْكَ هَذَا الْوَثَنَ

Wahai ‘Adi buang berhala yang ada di lehermu.” (HR. Tirmidzi no. 3095, hasan menurut Syaikh Al Albani)

Memakai Atribut Bertuliskan Nike

Tadi sudah dijelaskan bahwa Nike adalah di antara nama Dewi atau Dewa dari kalangan Yunani. Artinya, posisinya sama saja dengan Yesus dan Budha yang disembah selain Allah. Kalau dengan Yesus tidak boleh seorang muslim mengenakan tulisan tersebut pada kaosnya atau bajunya, maka ini berlaku juga untuk nama dewi Yunani tersebut.

Inilah yang diingatkan oleh para ulama Robbani, supaya kita berhati-hati pada tulisan tersebut jika ada di baju, sepatu atau kaos kita.

Ingat, ini adalah kalam ulama, bukan kalam dari kami yang masih kurang ilmunya dan masih jauh dari kewara’an.
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid berkata, “Perusahaan Nike sudah sangat jelas mengambil nama Nike dari nama dewi Nike. Karenanya tidak boleh menyebarkan syi’ar semacam itu dengan mengenakan kaos, sepatu atau lainnya yang bertuliskan Nike. Tidaklah kita katakan jika dikenakan berarti kita bermaksud menghinakan tulisan tersebut yang ada pada sepatu. Yang jelas, mengenakan kaos atau sepatu bermerk Nike karena begitu bangga dengan merk yang sudah terkenal tersebut. Jika nama atau lambang Nike itu dihilangkan, barulah tak masalah dikenakan.” (Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 178846, juga lihat fatwa no. 114631)

Syaikh Muhammad Ali Farkus –seorang ulama Al Jazair- ditanya mengenai produk cokelat yang diberi merk Jupiter, yang merupakan nama dewa Yunani, apakah makanan tersebut boleh diperjualbelikan.

Jawab beliau, “Ketahuilah bahwa kaedah umum yang perlu diperhatikan bahwa barang-barang yang punya merk dagang perlu dibedakan. Merk tersebut kadang cuma sekedar merk, kadang sebagai syiar ajaran tertentu seperti syiar suatu agama, hizb atau kelompok. Kalau itu cuma merk dagang untuk membedakan dengan produk lainnya, maka tidaklah masalah insya Allah membeli atau menjual barang tersebut.

Adapun jika itu sebagai syiar atau pemikiran yang bertolak belakang dengan prinsip Islam, di mana itu adalah prinsip atau akidah agama tertentu, seperti syiar dari Syi’ah, syiar Yahudi, Syiar Nashrani dengan symbol salib, maka tentu ketika itu barulah terlarang, baik itu ada pada makanan, minuman, pakaian. Karena dengan adanya simbol syiar agama seperti itu berarti tanda setuju secara lahiriah dengan pemikiran menyimpang, walaupun dari sisi hati tidak mendukung atau menyatakan setia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melarang dari pakaian orang kafir jika itu adalah ciri khas mereka. Lebih-lebih jika mengandung syiar dan pemikiran yang rusak.

Berdasarkan itu, tulisan atau simbol seperti Jupiter dan Nike, itu asalnya adalah nama dewa Yunani. Itu dianggap sebagai syiar dan akidah, bukan hanya sekedar merk dagang. Jadi tetap terlarang.

Namun penjelasan di atas kembali pada kaedah umum yang sudah disebutkan. Perlu ada penelitian lebih jauh, apakah simbol tersebut syiar agama ataukah bukan. Wal ‘ilmu indallah.” (Diringkas dari Wahyain.Com)

Masih dari Wahyain.Com ada di situ fatwa dari Syaikh ‘Ali Ridha, beliau ditanya, bolehkah membeli baju yang bertuliskan Nike dan diketahui bahwa Nike adalah nama sesembahan selain Allah, walau sekarang tidak jadi sesembahan. Jawaban beliau, kalau memang realitanya seperti yang disebutkan dalam soal, maka sudah barang tentu pakaian tersebut tidak boleh dibeli dan tidak boleh dikenakan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin pun dalam keterangan beliau menyatakan, jika tertulis di baju, “Saya Nashrani”, “Saya Yahudi”, “Saya Kristiani”, …. atau tertulis pula nama dewi dari kalangan Yunani, … maka perlu diketahui bahwa kita itu muslim, maka wajib bagi kita tidak mengenakan pakaian semacam itu. (Ini disebut dalam Majles.Alukah)

Kalau itu Masih Syubhat (Samar)

Kalau perkara di atas jadi syubhat, maksudnya jadi samar bagi kita, maka sikap seorang muslim adalah meninggalkan perkara syubhat. Karena dengan meninggalkannya, ia akan menyelamatkan diri dan kehormatannya. Dari hadits An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ

Siapa yang menjauhi syubhat (masih samar antara halal dan haram), maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Siapa yang terjatuh dalam syubhat, maka ia akan terjatuh pada yang haram” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Ibnu Rajab Al Hambali berkata mengenai maksud terjatuh pada yang haram dengan dua tafsiran, yaitu pelan-pelan ia akan terjatuh pada yang haram, atau ia terjatuh pada perkara yang realitanya haram. Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 205.
Saatnya Lepas dan Hapus Simbol Nike Karena Allah

Karena Nike bukanlah sekedar trend atau merk, namun adalah syi’ar agama, maka hendaklah tulisan tersebut tidak ada pada pakaian yang kita kenakan.

Syaikh Shalih Al Munajjid di atas mengemukakan, “Jika nama atau lambang Nike itu dihilangkan, barulah tak masalah dikenakan.

Syaikh Mahir Al Qahthani berpendapat, “Jika kenyataan baju nike itu seperti yang dikemukakan itu benar adanya, maka hendaklah jual beli baju semacam itu ditinggalkan, karena hal itu mengantar pada syirik akbar. Kalau mau nama dewi tersebut dihapus ataukah tidak namanya dirubah dari nike menjadi nlkedan simbolnya juga dihapus. Lalu setelah dihapus, hendaklah ia jual walau dengan harga yang lebih murah dari harga sebenarnya. Karena siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka akan diganti dengan yang lebih baik.” (Diambil dari Wahyain.Com)

Sebagian ulama seperti yang kami dengar dari –guru kami- Syaikh Ubaid Al Jabiri hafizhahullah di Youtube, membolehkan tulisan Nike tetap ada, namun dalam keadaan statusnya dihinakan, seperti diinjak di sepatu, tidak pada penutup kepala, kaos atau baju. Namun kami sendiri lebih memilih pendapat yang menyatakan dihapus sama sekali, atau tidak dikenakan sama sekali.

Ingat sekali lagi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disebutkan oleh salah seorang sahabat,

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad 5: 363. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali berkata bahwa sanad hadits ini shahih. Adapun tidak disebutnya nama sahabat tetap tidak mencacati hadits tersebut karena seluruh sahabat itu ‘udul yaitu baik)

Wallahu a’lam bish showab.

Kami pun berdoa kepada diri kami dan setiap yang membaca tulisan ini, supaya mendapatkan hidayah. Kami hanyalah hamba yang dhoif yang bisa jadi salah dalam berfatwa sebelumnya dan kami ingin rujuk pada kebenaran. Semoga Allah memaafkan dosa dan kesalahan kami.

اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِى لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِى مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Ya Allah, Rabb Jibril, Mikail dan Israfil, pencipta langit dan bumi, yang mengetahui yang ghaib dan nampak, sesungguhnya engkau yang menghukumi di antara hamba-Mu ketika mereka berselisih. Tunjukilah aku kepada kebenaran dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkaulah yang memberi petunjuk pada siapa saja yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.

Kebenaran tetaplah dikatakan, walau terasa pahit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati Abu Dzar,

وَأَمَرَنِى أَنْ أَقُولَ بِالْحَقِّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا

Beliau memerintahkan untuk mengatakan yang benar walau itu pahit.” (HR. Ahmad 5: 159. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih, namun sanad hadits ini hasan karena adanya Salaam Abul Mundzir)

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.




Article : Blog Al-Islam


Back to Top
?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ

Sejarah, Kemungkaran-kemungkaran dalam maulid nabi (1/2)

Category : Sejarah,Tarikh,Aqidah,Manhaj Source article: Abunamirah.Wordpress.com Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ...

Translate

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. BLOG AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger