?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
RUKUN HAJI
Rukun pertama: Ihram
Yang dimaksud dengan ihram adalah niatan untuk masuk dalam manasik haji. Siapa yang meninggalkan niat ini, hajinya tidak sah. Dalilnya
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Wajib ihram mencakup:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ.لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ
لَكَ لَبَّيْكَ.إِنَّ الحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ
وَالمُلْكُ.لاَ شَرِيْكَ لَكَ
“Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syariika laka labbaik. Innalhamda wan ni’mata, laka wal mulk, laa syariika lak”. (Aku
menjawab panggilan-Mu ya Allah, aku menjawab
panggilan-Mu, aku menjawab panggilan-Mu, tiada sekutu
bagi-Mu, aku menjawab panggilan-Mu. Sesungguhnya segala
pujian, kenikmatan dan kekuasaan hanya milik-Mu, tiada
sekutu bagi-Mu). Ketika bertalbiyah, laki-laki
disunnahkan mengeraskan suara.
Rukun kedua: Wukuf di Arafah
Wukuf di Arafah adalah rukun haji
yang paling penting. Siapa yang luput dari wukuf di
Arafah, hajinya tidak sah. Ibnu Rusyd berkata, “Para
ulama sepakat bahwa wukuf di Arafah adalah bagian dari
rukun haji dan siapa yang luput, maka harus ada haji
pengganti (di tahun yang lain).” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
(HR. An Nasai no. 3016, Tirmidzi no. 889, Ibnu Majah no.
3015. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih).
Yang dimaksud wukuf adalah hadir
dan berada di daerah mana saja di Arafah, walaupun dalam
keadaan tidur, sadar, berkendaraan, duduk, berbaring
atau berjalan, baik pula dalam keadaan suci atau tidak
suci (seperti haidh, nifas atau junub) (Fiqih Sunnah, 1:
494). Waktu dikatakan wukuf di Arafah adalah waktu mulai
dari matahari tergelincir (waktu zawal) pada hari Arafah
(9 Dzulhijjah) hingga waktu terbit fajar Shubuh (masuk
waktu Shubuh) pada hari nahr (10 Dzulhijjah). Jika
seseorang wukuf di Arafah selain waktu tersebut,
wukufnya tidak sah berdasarkan kesepakatan para ulama
(Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 17: 49-50).
Jika seseorang wukuf di waktu mana
saja dari waktu tadi, baik di sebagian siang atau malam,
maka itu sudah cukup. Namun jika ia wukuf di siang hari,
maka ia wajib wukuf hingga matahari telah tenggelam.
Jika ia wukuf di malam hari, ia tidak punya keharusan
apa-apa. Madzab Imam Syafi’i berpendapat bahwa wukuf di
Arafah hingga malam adalah sunnah (Fiqih Sunnah, 1:
494).
Sayid Sabiq mengatakan, “Naik ke
Jabal Rahmah dan meyakini wukuf di situ afdhol
(lebih utama), itu keliru, itu bukan termasuk ajaran
Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (Fiqih
Sunnah, 1: 495)
Rukun ketiga: Thowaf Ifadhoh (Thowaf Ziyaroh)
Thowaf adalah mengitari Ka’bah
sebanyak tujuh kali. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“Dan hendaklah mereka
melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu
(Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29)
Syarat-syarat thowaf:
thowaf, yaitu:
Rukun keempat: Sa’i
Sa’i adalah berjalan antara Shofa
dan Marwah dalam rangka ibadah. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
mewajibkan kepada kalian untuk melakukannya.” (HR.
Ahmad 6: 421. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
hadits tersebut
hasan).
Syarat sa’i:
sa’i:
Abduh Tuasikal
Sumber Artikel Oleh : www.muslim.or.id
- Ihram
- Thowaf ifadhoh
- Sa’i
- Wukuf di Arafah
Rukun pertama: Ihram
Yang dimaksud dengan ihram adalah niatan untuk masuk dalam manasik haji. Siapa yang meninggalkan niat ini, hajinya tidak sah. Dalilnya
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ
مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ
مَا نَوَى
Wajib ihram mencakup:
- Ihram dari miqot.
- Tidak memakai pakaian berjahit (yang menunjukkan lekuk badan atau anggota tubuh). Laki-laki tidak diperkenankan memakai baju, jubah, mantel, imamah, penutup kepala, khuf atau sepatu (kecuali jika tidak mendapati khuf).
Wanita tidak diperkenankan memakai niqob (penutup wajah) dan sarung tangan. - Bertalbiyah.
- Mandi.
- Memakai wewangian di badan.
- Memotong bulu kemaluan, bulu ketiak, memendekkan kumis, memotong kuku sehingga dalam keadaan ihram tidak perlu membersihkan hal-hal tadi, apalagi itu terlarang saat ihram.
- Memakai izar (sarung) dan rida’ (kain atasan) yang berwarna putih bersih dan memakai sandal. Sedangkan
wanita memakai pakaian apa saja yang ia sukai, tidak mesti warna tertentu, asalkan tidak menyerupai pakaian pria dan tidak menimbulkan fitnah. - Berniat ihram setelah shalat.
- Memperbanyak bacaan talbiyah.
Mengucapkan niat haji atau umroh atau kedua-duanya, sebaiknya dilakukan setelah shalat, setelah berniat untuk manasik. Namun jika berniat ketika
telah naik kendaraan, maka itu juga boleh sebelum sampai di miqot. Jika telah sampai miqot namun belum berniat, berarti dianggap telah melewati miqot tanpa berihram.
Lafazh talbiyah: telah naik kendaraan, maka itu juga boleh sebelum sampai di miqot. Jika telah sampai miqot namun belum berniat, berarti dianggap telah melewati miqot tanpa berihram.
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ.لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ
لَكَ لَبَّيْكَ.إِنَّ الحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ
وَالمُلْكُ.لاَ شَرِيْكَ لَكَ
menjawab panggilan-Mu ya Allah, aku menjawab
panggilan-Mu, aku menjawab panggilan-Mu, tiada sekutu
bagi-Mu, aku menjawab panggilan-Mu. Sesungguhnya segala
pujian, kenikmatan dan kekuasaan hanya milik-Mu, tiada
sekutu bagi-Mu). Ketika bertalbiyah, laki-laki
disunnahkan mengeraskan suara.
Rukun kedua: Wukuf di Arafah
Wukuf di Arafah adalah rukun haji
yang paling penting. Siapa yang luput dari wukuf di
Arafah, hajinya tidak sah. Ibnu Rusyd berkata, “Para
ulama sepakat bahwa wukuf di Arafah adalah bagian dari
rukun haji dan siapa yang luput, maka harus ada haji
pengganti (di tahun yang lain).” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحَجُّ
عَرَفَةُ
“Haji adalah wukuf di Arafah.” عَرَفَةُ
(HR. An Nasai no. 3016, Tirmidzi no. 889, Ibnu Majah no.
3015. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih).
Yang dimaksud wukuf adalah hadir
dan berada di daerah mana saja di Arafah, walaupun dalam
keadaan tidur, sadar, berkendaraan, duduk, berbaring
atau berjalan, baik pula dalam keadaan suci atau tidak
suci (seperti haidh, nifas atau junub) (Fiqih Sunnah, 1:
494). Waktu dikatakan wukuf di Arafah adalah waktu mulai
dari matahari tergelincir (waktu zawal) pada hari Arafah
(9 Dzulhijjah) hingga waktu terbit fajar Shubuh (masuk
waktu Shubuh) pada hari nahr (10 Dzulhijjah). Jika
seseorang wukuf di Arafah selain waktu tersebut,
wukufnya tidak sah berdasarkan kesepakatan para ulama
(Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 17: 49-50).
Jika seseorang wukuf di waktu mana
saja dari waktu tadi, baik di sebagian siang atau malam,
maka itu sudah cukup. Namun jika ia wukuf di siang hari,
maka ia wajib wukuf hingga matahari telah tenggelam.
Jika ia wukuf di malam hari, ia tidak punya keharusan
apa-apa. Madzab Imam Syafi’i berpendapat bahwa wukuf di
Arafah hingga malam adalah sunnah (Fiqih Sunnah, 1:
494).
Sayid Sabiq mengatakan, “Naik ke
Jabal Rahmah dan meyakini wukuf di situ afdhol
(lebih utama), itu keliru, itu bukan termasuk ajaran
Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (Fiqih
Sunnah, 1: 495)
Rukun ketiga: Thowaf Ifadhoh (Thowaf Ziyaroh)
Thowaf adalah mengitari Ka’bah
sebanyak tujuh kali. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu
(Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29)
Syarat-syarat thowaf:
- Berniat ketika melakukan
thowaf. - Suci dari hadats (menurut
pendapat mayoritas ulama). - Menutup aurat karena thowaf
itu seperti shalat. - Thowaf dilakukan di dalam
masjid walau jauh dari Ka’bah. - Ka’bah berada di sebelah kiri
orang yang berthowaf. - Thowaf dilakukan sebanyak
tujuh kali putaran. - Thowaf dilakukan
berturut-turut tanpa ada selang jika tidak ada hajat. - Memulai thowaf dari Hajar
Aswad.
thowaf, yaitu:
- Ketika memulai putaran
pertama mengucapkan, “Bismillah, wallahu akbar.
Allahumma iimaanan bika, wa tashdiiqon bi kitaabika,
wa wafaa-an bi’ahdika, wat tibaa’an li sunnati
nabiyyika Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Dan setiap putaran bertakbir ketika bertemu Hajar
Aswad bertakbir “Allahu akbar”. - Menghadap Hajar Aswad ketika
memulai thowaf dan mengangkat tangan sambil
bertakbir ketika menghadap Hajar Aswad. - Memulai thowaf dari dekat
dengan Hajar Aswad dari arah rukun Yamani. Memulai
thowaf dari Hajar Aswad itu wajib. Namun memulainya
dengan seluruh badan dari Hajar Aswad tidaklah wajib. - Istilam (mengusap)
dan mencium Hajar Aswad ketika memulai thowaf dan
pada setiap putaran. Cara istilam adalah
meletakkan tangan pada Hajar Aswad dan menempelkan
mulut pada tangannya dan menciumnya. - Roml, yaitu berjalan
cepat dengan langkah kaki yang pendek. Roml ini
disunnahkan bagi laki-laki, tidak bagi perempuan.
Roml dilakukan ketika thowaf qudum (kedatangan) atau
thowaf umroh pada tiga putaran pertama. - Idh-tibaa’, yaitu
membuka pundak sebelah kanan. Hal ini dilakukan pada
thowaf qudum (kedatangan) atau thowaf umroh dan
dilakukan oleh laki-laki saja, tidak pada perempuan. - Istilam (mengusap)
rukun Yamani. Rukun Yamani tidak perlu dicium dan
tidak perlu sujud di hadapannya. Adapun selain Hajar
Aswad dan Rukun Yamani, maka tidak disunnahkan untuk
diusap. - Berdo’a di antara Hajar Aswad
dan Rukun Yamani. Dari ‘Abdullah bin As Saaib, ia
berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata di antara dua
rukun: Robbanaa aatina fid dunya hasanah wa fil
aakhirooti hasanah, wa qinaa ‘adzaban naar (Ya Rabb
kami, anugerahkanlah kepada kami kebaikan di dunia
dan di akhirat, serta selamatkanlah kami dari adzab
neraka).” (HR. Abu Daud no. 1892. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) - Berjalan mendekati Ka’bah
bagi laki-laki dan menjauh dari Ka’bah bagi
perempuan. - Menjaga pandangan dari
berbagai hal yang melalaikan. - Berdzikir dan berdo’a secara
siir (lirih). - Membaca Al Qur’an ketika
thowaf tanpa mengeraskan suara. - Beriltizam pada Multazam. Ini
dilakukan dalam rangka mencontoh Nabi shallalahu
‘alaihi wa sallam di mana beliau beriltizam dengan
cara menempelkan dadanya dan pipinya yang kanan,
kemudian pula kedua tangan dan telapak tangan
membentang pada dinding tersebut. Ini semua dalam
rangka merendahkan diri pada pemilik rumah tersebut
yaitu Allah Ta’ala. Multazam juga di antara tempat
terkabulnya do’a berdasarkan
hadits
yang derajatnya hasan. Kata Syaikh As
Sadlan (Taisirul
Fiqih,
347-348), “Berdo’a di multazam disunnahkan setelah
selesai thowaf dan multazam terletak antara pintu
Ka’bah dan Hajar Aswad.” - Melaksanakan shalat dua
raka’at setelah thowaf di belakang maqom Ibrahim.
Ketika itu setelah membaca Al Fatihah pada raka’at
pertama, disunnahkan membaca surat Al Kafirun dan
rakaat kedua, disunnahkan membaca surat Al Ikhlas.
Ketika melaksanakan shalat ini, pundak tidak lagi
dalam keadaan idh-tibaa’. - Minum air zam-zam dan
menuangkannya di atas kepala setelah melaksanakan
shalat
dua raka’at sesudah thowaf. - Kembali mengusap Hajar Aswad
sebelum menuju ke tempat sa’i.
- Ulama Syafi’iyah berkata,
“Jika idh-tibaa’ dan roml dilakukan saat thowaf
qudum kemudian melakukan sa’i setelah itu, maka
idh-tibaa’ dan roml tidak perlu diulangi lagi dalam
thowaf ifadhoh. Namun jika sa’i (haji)
diakhirkan hingga thowaf ifadhoh, maka disunnahkan
melakukan idh-tibaa’ dan roml ketika itu (Fiqih
Sunnah, 1: 480). - Tidak ada bacaan dzikir atau
do’a tertentu untuk setiap putaran saat thowaf.
Sebagian jama’ah menganjurkan demikian, namun tidak
ada dalil pendukung dalam hal ini, bahkan sering
memberatkan.
Rukun keempat: Sa’i
Sa’i adalah berjalan antara Shofa
dan Marwah dalam rangka ibadah. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
اسْعَوْا
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْىَ
“Lakukanlah sa’i karena Allah إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْىَ
mewajibkan kepada kalian untuk melakukannya.” (HR.
Ahmad 6: 421. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
hadits tersebut
hasan).
Syarat sa’i:
- Niat.
- Berurutan antara thowaf, lalu
sa’i. - Dilakukan berturut-turut
antara setiap putaran. Namun jika ada sela waktu
sebentar antara putaran, maka tidak mengapa, apalagi
jika benar-benar butuh. - Menyempurnakan hingga tujuh
kali putaran. - Dilakukan setelah melakukan
thowaf yang shahih.
sa’i:
- Ketika mendekati Shofa,
mengucapkan, “Innash shofaa wal marwata min
sya’airillah. Abda-u bimaa badaa-allahu bih.” - Berhenti sejenak di antara
Shafa untuk berdo’a. Menghadap kiblat lalu
mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu
akbar. Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah,
lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in
qodiir. Laa ilaha illallahu wahdah, shodaqo wa’dah
wa nashoro ‘abdah wa hazamal ahzaaba wahdah.” Ketika
di Marwah melakukan hal yang sama. - Berlari kencang antara dua
lampu hijau bagi laki-laki yang mampu. - Berdo’a dengan do’a apa saja
di setiap putaran, tanpa dikhususkan dengan do’a,
dzikir
atau bacaan tertentu. - Berturut-turut sa’i dilakukan
setelah thowaf, tidak dilakukan dengan selang waktu
yang lama kecuali jika ada uzur yang dibenarkan.
Bersambung Klik:
Fikih Haji 4
Penulis: Muhammad Fikih Haji 4
Abduh Tuasikal
Sumber Artikel Oleh : www.muslim.or.id
Daftar Artikel
??ْ?َ?ْ?ُ ?ِ?َّ?ِ ?َ?ِّ
??ْ?َٰ?َ?ِ??
author;
Rachmat Machmud. Flimban
Posting Komentar