?ِ?ْ?ِ ????ِ ???َّ?ْ??ِ ???َّ?ِ??ِ
Hadyu adalah hewan yang disembelih sebagai kewajiban haji tamattu’ dan
qiron. Apa yang kita bahas kali ini adalah yang terjadi pada
sebagian jama’ah haji kita. Mereka menunaikan hadyu lebih awal.
Setelah selesai menunaikan umroh dan sambil menunggu hari tarwiyah,
mereka sudah menunaikan hadyu meski jauh hari sebelum masuk bulan
Dzulhijjah. Sepertinya ini pun jadi sindikat bisnis oleh orang-orang
Indo yang ada di Mekkah.
Karena jika hadyu diambil sebelum hari Idul
Adha, pasti harganya jatuh murah. Jadinya sebagian orang ini
menjadikan hal ini sebagai bisnis biar cepat mengais rizki padahal
tidak mengetahui akan hukumnya.
Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
‘Abdillah bin Baz -semoga Allah merahmati beliau- ditanya,
“Kami berihram dan kami mengambil manasik tamattu’.
Kami telah
menunaikan umrah dan kami pun telah bertahallul. Sebagian ada yang
menyarankan untuk segera menunaikan hadyu dan segera disebar di
Mekkah, jadinya berarti kita sudah melakukan sembelihan di Mekkah.
Kemudian kami ketahui setelah itu bahwa penyembelihan hadyu itu sah
setelah melempar jumroh ‘aqobah. Aku sebenarnya telah mengetahui hal
tersebut sebelumnya.
Aku pun katakan pada mereka untuk menunda
penyembelihan hingga hari Nahr (Idul Adha) atau setelah itu (pada
hari tasyriq). Namun ada yang menyarankan untuk segera menunaikan
sembelihan hadyu ketika kami sampai dan telah menunaikan umroh.
Setelah satu hari dari umroh, kami pun menunaikan hadyu.
Apa hukum
masalah ini? Apa kewajiban kami dalam kondisi seperti ini?”
Syaikh rahimahullah menjawab,
“Barangsiapa yang menyembelih hadyu sebagai damm tamattu’ sebelum
hari ‘ied, hadyunya tidaklah sah. Karena Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam dan
para sahabatnya tidaklah pernah menyembelih hadyu kecuali telah
masuk hari Nahr (Idul Adha).
Mereka pernah tiba untuk menunaikan
haji dan mereka mengambil manasik tamattu’ pada hari keempat
Dzulhijjah. Mereka membawa hewan ternak dan unta, hewan-hewan
tersebut tetap masih bersama mereka dan mereka baru menyembelihnya
setelah datang hari Nahr (Idul Adha).
Jika penyembelihan hadyu dibolehkan sebelum Idul Adha, maka tentu
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan
para sahabat segera melakukannya pada hari keempat Dzulhijjah (ketika
mereka tiba) sebelum mereka bertolak menuju ‘Arofah.
Karena manusia
sudah butuh untuk menyantap daging saat itu.
Jika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan
para sahabat tidak menunaikannya saat itu namun baru menunaikan
ketika datang hari Idul Adha, ini menunjukkan tidak
sahnya.
Sehingga yang menyembelih sebelum hari Idul Adha,
maka ia telah menyelisihi ajaran Nabi -shallallahu ‘alaihi wa
sallam-.
Jika kita melakukan syari’at baru, maka tentu tidak
sah sebagaimana orang yang shalat atau puasa sebelum waktunya. Tidak
puasa Ramadhan yang dilakukan sebelum waktunya. Tidak sah pula
shalat yang dikerjakan sebelum waktunya, dan semacam itu.
Intinya, ibadah yang dilakukan sebelum waktunya tidaklah sah. Ia
punya kewajiban untuk mengulangi sembelihan tersebut jika ia mampu.
Jika tidak mampu, maka ia bisa memilih puasa selama tiga hari pada
hari haji dan tujuh hari ketika kembali ke negerinya. Jadinya,
total puasa tersebut adalah sepuluh hari sebagai ganti dari
sembelihan tadi. Karena Allah Ta’ala berfirman,
فَمَن
تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ
الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
“Bagi siapa yang ingin melakukan haji tamattu’ (mengerjakan
‘umrah sebelum haji di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih)
korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang
korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa
haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah
sepuluh (hari) yang sempurna.” (QS. Al Baqarah: 196).”
[Fatawa
Tata’allaq bi Ahkamil Hajj wal ‘Umroh waz Ziyaroh, hal. 83. Link
fatwa]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath Thorifiy -semoga Allah memberkahi
umur beliau- berkata, “Tidak boleh menyembelih hadyu sebelum
hari nahr (Idul Adha). Demikian pendapat jumhur (mayoritas) ulama, berbeda
dengan pendapat Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i menilai bolehnya
menunaikan hadyu setelah seseorang masuk berihram untuk menunaikan
haji. Perkataan beliau -rahimahullah- telah menyelisihi praktek Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan tidak diketahui dari para sahabat
menyelisihi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam
hal ini untuk melepas kewajiban.” (Shifat Hajjatin Nabi -shallallahu
‘alaihi wa sallam-, hal. 192)
Wallahu waliyyut taufiq.
@ Jami’ah Malik Su’ud Riyadh-KSA, 3/12/1433 H
Sumber Penulis: Muhammad
Abduh Tuasikal dan Sumber Artikel Muslim.Or.Id
??ْ?َ?ْ?ُ ?ِ?َّ?ِ ?َ?ِّ
??ْ?َٰ?َ?ِ??
author;
Rachmat Machmud. Flimban
Posting Komentar